A.
Latar Belakang
Perang
Onin merupakan perang dalam negeri atau perang saudara yang menyebabkan makin
berkurangnya kekuasaan Ashikaga serta suatu keadaan desentralisasi dalam sistem
feodal Jepang. Oleh karena itu, muncullah apa yang dinamakan daimyo, yaitu pemimpin daerah militer
indepanden. Dengan munculnya daimyo, gebernur-gebernur militer yang tadinya
diangkat oleh shogun dan masih tergantung pada bantuan shogun serta wibawa
istana Tenno, lambat laun menghilang.
Daerah
yang dikuasai daimyo lebih kecil dari provinsi sebelumnya, tetapi
diorganisasikan lebih kompak dan daimyonya berkuasa penuh didalam. Di dalam
daerah itu seluruh tanah menjadi miilik daimyo dan samurai yang hidup disitu
tunduk kepada daimyo. Di antara keluarga daimyo, yang menonjol adalah keluarga
Hojo di daerah Kanto, Imagawa di Tohoku, Ouchi di Kansei dan Otonomo serta
Shimazu di Kyushu. Peristiwa penting lain yang terjadi sejak munculnya daimyo
adalah masuknya agama Kristen ke Jepang pada taun 1543 melalui pedagang
Portugal dan kaum misssionaris Jesut. Melalui para daimyo memasukkan agama
Kristen, rakyat Jepang makin banyak menganut agama itu. Tetapi di kemudian
hari, setelah Jepang bersatu kembali dalam kekuasaan Tokugawa, kaum missionaris
ini diusir dari Jepang dan agama Kristen dilarang.
Pada
bagian terakhir abad ke-16 ada daimyo-daimyo yang ingin merebut kekuasaanuntuk
menguasai Jepang secara nasional lagi. Seperti masa lalu hal ini harus melalui
jalan penaklukan lawan-lawan militernya dan memperoleh legitiminasi dari Tenno
dengan cara mempengaruhi atau menguasainya. Kita melihat timbulnya daimyo Oda
Nobunaga (1534-1582) yang menguasai Kyoto pada tahun 1568. Sampai saatnya
meninngal, karena penghianatan dan pembunuhan, ia telah menguasai sepertiga
jaumlah daimyo yang tinggal di pusat strategis Jepang. Yang menggantikannya
adalah jenderalnya bernama Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), seorang pemimpin
samurai yang berasal dari keluarga petani dan naik sampai menjadi jenderal
berkat kecakapan dan kesetiaannya kepada Oda Nobunaga.
Toyotomi
Hideyoshi memindahkan markasnya ke Osaka dari mana ia mulai menaklukkan
daimyo-daimyo yang belum tunduk. Dalam usahanya itu ia dibantu oleh Tokugawa
Ieyasu dan berhasil, sehinggan Tokugawa Ieyasu kemudian memperoleh tanah luas
di daerah Kanto, diman ia mendirikan markasnya di Edo (daerah Tokyo sekarang).
Setelah kemenangannya di Jepang, Toyotomi Hideyoshi mengerahkan kekuatannya ke
Korea, dan selanjutnya ke Cina. Kekuatan militer Jepang saat itu sampai ke
sungai Yalu, yaitu perbatasan antar Cina dan Korea (Manchuria). Tetapi karena
masalah logistik, Jepang akhirnya terpaksa mundur.
Karena
agar dapat diakui sebagai shogun, seorang harus dikenal mempunyai garis
keturunan Kamakura atau Minamoto, maka Tiyotomi Hideyoshi yang berasal dari
petani, tidak pernah mengangkat dirinya menjadi shogun. Ia bersandar sepenuhnya
pada prestise Tenno yang mendukungnya. Namun ia memperoleh sebutan kompuka setelah berhasil mengadaptasi
dalam keluarga Fujikara. Selama kekuasaannya, Toyotomi Hideyoshi menegakkan
penentuan kelas dalam masyarakat Jepang, yaitu pemisahan yang tegas antara
samurai, petani, tukang dan pedagang. Selain itu, usaha Oda Nobunaga untuk
menjadikan Jepang suatu pasaran bebas dengan mematahkan kekuasaan ekonomi dari
para gilde dilanjutkan kembali. Untuk berfungsinya pasaran bebas. Ia menciptakan
mata uang emas. Kemudian ia juga mengadakan pengetatan hak penguasa atas tanah
dan merampas semua senjata milik petani. Meninggalnya Toyotomi Hideyoshi
menimbulkan persaingan antara para daimyo, mengenai siapa yang akan
menggantikannya. Toyomi Hideyosyi sebenarnya menginginkan anaknya yang masih
kecil dapat menggantikannya. Tetapi tampuk kekuasaan akhirnya diperebutkan
antara Tokugawa Ieyasu dan Mori Terumoto, dimana masing-masing dibantu oleh
daimyo yang memihak mereka. Pertempuran hebat di Sekigahara pada tahun 1600
memberikan kemenangan pada Tokugawa Ieyasu. Tiga tahun kemudian (1600), ia
diangkat oleh Tenno Heika menjadi Shogun dan bermarkas di Edo yang kemudian
menjadi pusat kekuasaan politik dan militer Jepang.
Masa
Tokugawa yang berlangsung hingga tahun 1867 telah memberikan landasan kepada
jepang untuk dalam membentuk Jepang modern dewasa ini. Tokugawa mengakui
supremasi Tennosebagai lambang kelangsungan Jepang. Ia menyediakan tanah untuk
keluarga Tenno dan keluarga-keluarga aristokrat di sekeliling Tenno. Tetapi
Tenno dan keluarga-keluarga di sekelilingya tidak boleh meninggalkan Kyoto dan
dilarang mencampuri urusan pemerintahan serta berhubungan dengan para daimyo.
Untuk itu ditampatkan seorang shoshidai
atau gebernur-jenderal dengan pasukan besar bertempat di sebelah istana Tenno
Kyoto. Selama masa shogun Tokugawa, ada 15 orang keluarga Tokugawa yang telah
diangkat menjadi shogun, yaitu:
1. Ieyasu
Tokugawa (1543-1616) masa berkuasa 1603-1605
2. Hidetada
Tokugawa (1579-1632) masa berkuasa 1605-1623
3. Iemitsu
Tokugawa (1604-1651) masa berkuasa 1623-1651
4. Ietsuna
Tokugawa (1641-1680) masa berkuasa 1651-1680
5. Tsunayoshi
Tokugawa (1646-1709) masa berkuasa 1680-1709
6. Ienobu
Tokugawa (1662-1712) masa berkuasa 1709-1712
7. Ietsogu
Tokugawa (1709-1716) masa berkuasa 1713-1716
8. Yoshimune
Tokugawa (1684-1751) masa berkuasa 1716-1745
9. Ieshige
Tokugawa (1712-1786) masa berkuasa 1745-1760
10. Ieharu
Tokugawa (1737-1786) masa berkuasa 1760-1786
11. Ienari
Tokugawa (1739-1841)masa berkuasa 1787-1837
12. Ieyoshi
Tokugawa (1739-1853) masa berkuasa 1837-1853
13. Iesada
Tokugawa (1824-1858) masa berkuasa 1854-1858
14. Iemochi
Tokugawa (1846-1866) masa berkuasa 1858-1866
15. Yoshinobu
Tokugawa (1837-1913) masa berkuasa 1866-1868
B. Masa Pemerintahan Shogun Tokugawa
Pada
zaman Edo, pemerintahan Negara Jepang berada di bawah kendali Shogun Tokugawa.
Akan tetapi, pimpinan tertinggi di jepangbukan Shogun tokugawa, melainkan
Kaisar. Tetapi, dikarenakan tugas dominan Kaisar hanya berupa acara seremonial,
kendali kepemimpinan dipegang oleh Shogun Tokugawa. Tugas Shogun Tokugawa
adalah memegang erat dan menjaga semboyan Kaisar “Sonno Joi” yang artinya
Hormati Kaisar dan usir kaum barbar.Di bawah pemerintahan Shogun Tokugawa
Bakufu menciptakan berbagai peraturan yang menguntungkan baik untuk pihak
bakufu maupun Negara Jepang. Dan peraturan yang dominan dipegang oleh Shogun
adalah Sakoku. Sakoku adalah sebuah kebijaksanaan dimana Negara Jepang menutup
diri dari pengaruh dunia luar. Ciri dari seorang Shogun adalah selain dengan
nama keluarga “Tokugawa” dan menggunakan lambang 3 helai daun Aoi (Mitsuba
Aoi).
Pada
Zaman Edo yang berkisar pada tahun 1603-1868 ada lima belas Shogun Tokugawa
menjabat pada masa itu. Dalam menjabat kelima belas Shogun tersebut memiliki
karakteristik masing-masing dalam memerintah. Ieyasu Tokugawa Shogun pertama
memiliki pribadi yang halus, cermat dan tegas tetapi sangat diktator dalam
memerintah. Shogun kedua Hidetada Tokugawa memiliki jiwa yang diktator dalam
memerintah. Shogun ketiga Iemitsu Tokugawa sangat religius dalam
pemerintahannya. Shogun keempat Ietsuna Tokugawa memiliki jiwa yang demokratis
dalam memimpin. Shogun kelima Tsunayoshi Tokugawa sangat otoriter dan religius
dalam menjalankan tugasnya. Shogun keenam Ienobu Tokugawa sangat rajin, mau
belajar dalam segala hal dan adil dalam memerintah. Shogun ketujuh, Ietsugu
Tokugawa karena masih berumur 3 tahun saat menjabat Shogun, karakternya nakal
sebagaimana anak kecil lainnya. Shogun kedelapan Yoshimune Tokugawa menyukai
kemajuan, kecanggihan dan budaya barat. Shogun kesembilan Ieshige Tokugawa
tidak percaya diri dan sulit berkata serius serta tidak tegas dalam menyikapi
masalah. Shogun
kesepuluh
Ieharu Tokugawa tidak tegas dalam memerintah. Shogun kesebelas Ienari Tokugawa
sangat demokratis, jujur, dan tegas. Shogun keduabelas Ieyoshi Tokugawa sangat
cermat dalam menilik suatu masalah. Shogun ketiga belas Iesada tidak tegas
dalam memerintah. Shogunkeempat belas Iemochi Tokugawa mudah terpengaruh dan
kekanakkanakan.Shogun kelima belas Yoshinobu Tokugawa cerdik dalam
menyikapi
suatu masalah. Yoshinobu Tokugawa Shogun kelima belas lahir pada tahun 1837
dengan
ayah yang bernama Nariaki seorang Daimyo dari Han Mito. Yoshinobu Tokugawa
dididik keras oleh ayahnya dengan maksud untuk menjadikannya Shogun Tokugawa.
Pada tahun 1847 Yoshinobu menjadi anak angkat Ieyoshi Tokugawa. Pada bulan
Januari 1853 Yoshinobu diperkenalkan sebagai ahli waris Shogun Ieyoshi. Hal itu
mengejutkan para kolega Ieyoshi dikarenakan Ieyoshi mempunyai anak kandung yang
bernama Iesada.
Pada
tanggal 8 Juli 1853 Ieyoshi diberi ultimatum oleh Komodor Mattew Perry untuk
membuka Jepang (menghapuskan Sakoku). Apabila Ieyoshi menolak maka Amerika akan
mengadakan perang dengan jepang. Mengetahui akan kecanggihan alat perang Negara
Amerika, Ieyoshi mengadakan perundingan terlebih dahulu tetapi, sebelum
perundingan mencapai mufakat Ieyoshi meninggal dunia. Meski Yoshinobu
dinyatakan sebagai ahli waris oleh Ieyoshi, tetapi dikarenakan tidak ada mandat
resmi dari Ieyoshi Tokugawa jabatan Shogun digantikan oleh Iesada Tokugawa.
Ketidakpuasan istana atas pemerintahan yang dipegang Iesada Tokugawa membuat
Bakufu terpecah-belah. Terjadi kampanye diam-diam untuk menjadikan Yoshinobu
sebagai Shogun berikutnya. Kampanye yang menonjol saat itu adalah dengan
mengumpulkan catatan harian Keiki yang dibukukan dengan judul Riwayat Perkataan
dan Kegiatan Hitotsubashi Keiki (nama kecil Yoshinobu Tokugawa). Mengetahui
adanya kampanye tersebut Yoshinobu menolak mentah mentah maksud dari tujuan
kampanye tersebut. Setelah Iesada meninggal dunia Shogun dijabat oleh Iemochi.
Tanpa sepengetahuan Iemochi seorang penasehat setianya Ii Naosuke
menandatangani perjanjian Harris dengan Konsulat Amerika Towsend Harris.
Kemudian, Ii Naosuke mengeluarkan surat pengasingan diri untuk Yoshinobu dengan
tuduhan ingin menggulingkan Kaisar. Tetapi, dikarenakan serangan keluarga Mito
Ii Naosuke meninggal dunia dan Yoshinobu pun dibebaskan.
Setelah
Iemochi meninggal dunia demi melindungi jepang Yoshinobu menyetujui
pengangkatan dirinya sebagai Shogun. Kekosongan tahta Kaisar membuat Yoshinobu
menggantikan kekuasaan Kaisar. Selain itu, adanya perjanjian Harris sebelumnya
sekaligus untuk menghindari perang dan proses tarik ulur yang begitu lama
menyebabkan Yoshinobu tidak membuka seluruh Jepang melainkan hanya membuka
pelabuhan Hyogo. Dikarenakan kekosongan tahta Kaisar pembukaan pelabuhan Hyogo
tersebut dilakukan tanpa persetujuan Kaisar. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya pemberontak dari wilayah Chosu dan Satsuma yang menganggap bahwasanya
Yoshinobu telah menginjak harga diri Kaisar. Wilayah Chosu dan Satsuma meminta
agar Yoshinobu turun tahta dan mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar. Tetapi,
pihak Yoshinobu tidak melakukan tuntutan tersebut. Maka, perang antara pro-
Yoshinobu
Tokugawa dengan gabungan pemberontak Chosu dan Satsuma pun tidak dapat
dihindari (perang ini dikenal sebagai perang Boshin). Pihak Yoshinobu kalah
dalam perang dan mengharuskan Yoshinobu turun dari Shogun dan mengembalikan
semua fasilitas yang dipunyai yaitu dua belas kapal perang dan puluhan ribu
tentara infanteri. Kemudian, Shogun dihapuskan sampai keakar-akarnya.
Pemerintahan dikembalikan kepada Kaisar Taisei Hokan dan dimulai zaman Meiji.
Pada tanggal 21 November 1913 Yoshinobu meninggal dunia dan dianugerahi sebagai
Shogun terakhir.
Adapun beberapa hal yang perlu kita
perhatikan pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa, diantaranya:
1.
Kelas Penguaasa
Tidak diragukan lagi bahwa keluarga
Tokugawa telah menguasai Jepang seluruhnya setelah tahun 1603, tetapi dari sisi
kekuasaan resmi istana raja lebih tinggi dari pada Bakufu milik Shogun.
Diantara tuan tanah feodal, hanya Shogun yang berhasil mencapai status
tertinggi di Kyoto. Vasal-vasal senior Shogun, seperti halnya daimyo lainnya,
memiliki status tidaklebih dari status kelas menengah lainnya di istana raja.
Seorang tuan tanah feodal, agar dapat memperoleh gelar daimyo, harus memiliki
tanah sebagai vasal-kepala yang menghasilkan setidak-tidaknya 10.000 koku. Jika kita pakai rumus yang
digunakan, bahwa satu koku padi dapat
menghidupkan orang selama satu tahun, maka angka 10.000 koku membuat tuan tanah feodal penguasa atas kelompok orang yang
tidak kecil.
Semua tuan tanah memiliki samurai sebagai anak buah, sebagian
kecil dari mereka itu memiliki tanah dan karena itu mereka juga merupakan vasal
kelas rendah (baishin). Setiap
daimyo, jika wilayahnya cukup luas, mengelola wilayahnya melaui struktur yang
banyak persamaannya dengan struktur yang digunakan Shogun di Edo, tetapi dengan
ukuran lebih kecil. Samurai, di Edo
dan dikota benteng, menjalankan kewajiban melayani tuan tanah feodal
masing-masing dengan dua cara. Pertama menunaikan tugas keprajuritan pada masa
damai: menjaga benteng daimyo, mengawal daimyo ketika ia pergi ke Edo dan
pulang dari Edo, dan menyediakan pasukan yang dapat digunakan daimyo untuk
menjaga tanahnya. Tokugawa berhasil mewujudkan ketertiban Jepang pada abad ke
17 sebagian besar tugas ini menjadi tugas sehari-hari. Samurai jarang harus menggunakan senjata setelah tahun 1650.
Akibatnya adalah menurunnya ikatan
sosial dalam masyarakat Edo. Perubahan-perubahan yang terjadi mau tidak mau
melahirkan rasa tidak puas, yang ditunjukkan kepada orang-orang biasa yang
berhasil memperoleh status sosial lebih tinggi dan kepada orang-orang yang
dapat dengan satu dan lain cara dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab
atas terjadinya masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
2.
Desa dan Kota
Perburuan pedang yang dilakukan
Hideyoshi, memperkuat kebijakan Tokugawa, karena mmastikan bahwa desa-desa
Jepang berada dibawah kendali hukum tuan tanah mereka. Pada tahun 1721, ketika
diadakan sensus resmi, Jepang memiliki lima kota besar dengan penduduk diatas
100.000. Kota terbesar adalah Edo, kota kecil benteng wilayah dan keluarga
Tokugawa dan kantor pusat Bakufu.
Karena kewajiban mendamping secara bergilir, separuh dari penduduk Edo
seluruhnya diperkirakan satu juga orang pada abad ke-18 adalah samurai. Sebuah kota lainnya yang juga
memiliki fungsi politik, wlau lebih kecil adalah Kyoto.
Setidak-tidaknya ada 16 kota kecil
berpenduduk 30.000 atau lebih. Bahkan pada abad ke 19, jumlah penduduk kota di
Jepang di kota-kota tertentu sekurang-kurangnya 10.000 jiwa mencapai sekitar
seper enam dari jumlah total penduduk.
3.
Kesusasteraan dan Seni
Pada akhir abad ke 17, masyarakat
kota sudah berkembang luas, beragam, dan setidak-tidaknya sebagai anggotanya
kaya. Banyak pedagang yang cukup kaya sehingga mampu mengunjungi teater dan
rumah hiburan yang tumbuh seperti jamur dimusim hujan wilayah kota khusus untuk
hiburan, dan membanggakan diri sebagai orang pemilik selera tinggi, sambil juga
menikmati hiburan yang tidak terlalu baik yang ditawarkan di teater melodrama
dan pertunjukan cabul. Pihak penguasa membiarkan mereka sampai batas-bats
tertentu, meski sebenarnya ada sensor, karena hal-hal yang disenangi para
pedagang itu tidak menyentuh garis batas politik. Penulis, penerbit dan pemilik
gedung sanjiwara melihat para pedagang kaya sebagai pelanggan yang berharga.
Ada tiga nama terkemuka dalam kesusasteraan
Jepang pada tahun-tahun ini, Ihara Saikaku (1642-1693), Matsuo Baho
(1644-1694), dan Chikamatsu Monzaemon (1653-1725). Mereka berturut-turut adalah
penulis novel, dan penulis cerita sandiwara.
4.
Kedatangan Bangsa Barat
Kadang-kadang dalam sejarah suatu
negeri ada masa ketika sejumlah perubahan sosial dan politik mencapai tahap
kritis bersama-sama. Ini adalah tanda untuk suatu “revolusi” dalam arti
seluas-luasnya. Bagi Jepang, pertengahan abad ke 19 adalah titik balik semacam
itu. Titik balik itu ditandai oleh masuknya Jepang ke dalam hubungan bersegi
banyak dengan Barat; pilihan antar model kelembagaan Eropa dan Amerika. Dan
bukan lagi kelembagaan Cina; langkah pertama menuju perkenalan dengan industri
kapitalis. Semua perkembangan ini terjadi bersama kuran lebih dengan tumbangnya
Bakufu Tokugawa, yang kemudian
diganti oleh bentuk pemerintah yang berpusat pada raja. Akibatnya, kehidupan
nasional Jepang berubah, sama seperti perubahan sebelumnya terjadi pada periode
Asuka dan periode Nara.
Pemicu peristiwa-peristiwa ini
adalah tindakan yang diambil orang barat untuk membuka pelabuhan-pelabuhan
Jepang untuk perdagangan luar negeri, yang merupakan bagian dari proses lebih
luas ekspansi imperialis di India dan di pantai Cina. Proses ini kembali
membawa Jepang kedalam hubungan politik dan dagang yang erat dengan Cina, kali
ini dibawah naungan Barat, yang bertindak melalui “perjanjian tidak adil”.
Dalam pandangan orang Jepang, ketika
mereka mngetahui mengenai sistem perjanjian pelabuhan itu, perjanjian itu
merupakan ancaman. Sikap ini memastikan bahwa sistem perjanjian pelabuhan itu
pada akhirnya dipaksakan kepada Jepang tanpa disesuaikan dengan keadaan di
Jepang. Pada tahun 1844 Belanda, takut hak mereka di Deshima pada masa depan
terganggu oleh situasi internasional yang timbul akibat perang Candu, mendekati Bakufu Edo untuk memohon agar
undang-undang pengasingan dilonggarkan. Permintaan itu ditolak. Dalam beberapa
tahun berikutnya, kapal-kapal perang dari Inggris, Perancis, dan Amerika kadang-kadang
muncul dan merapat di Ryukyu dan Nagasaki, tetapi tidak ada dari kunjungan ini
yang diikuti kemudian dengan tindakan lebih lanjut.
Kejadian-kejadian di Amerika-lah
yang pada akhirnya membawa upaya yang lebih sungguh untuk “membuka” Jepang. Pada
tahun 1852 luas diketahui bahwa sebuah ekspedisi angkatan laut Amerika tengah
disiapkan untuk mengadakan perundingan dengan Jepang. Komandannya, Laksamana
Matthew Perry, tegas mengatakan bahwa ia tidak bersedia menerima siapa pun
untuk bertemu dengan dia kecuali pejabat Jepang dengan pangkat setingkat dengan
pangkat dia, sesuai dengan janjinya Perry kembali dengan delapan kapal pada
awal tahun 1854. Dalam selang waktu itu para penentu kebujakan di Edo telah
mengatakan musyawarah dengan para penguasa feodal Jepang. Hasilnya tidak banyak
membantu. Dengan juru bicara Nariaki Tokugawa dari Mito, kepala dari cabagng
senior keluarga Shogun, mengatakan bahwa tuntunan membina iti mutlak harus
ditolak, jika perlu dengan perang.
Dihadapkan pada keadaan yang tidak menentu,
Abe Masahiro, anggota senior dewan Tokugawa, memutuskan untuk menerima sebagian
besar dari unsur Perry, bila upaya-upaya lain gagal. Sebagian besar unsur itu
diterima. Dalam perundingan di Yokuhama dibawah bayang-bayang meriam
kapal-kapal Amerika, Perry menunjukkan bahwa dia tidak mau berkompromi. Pada
bulan maret 1854 ditanda tangani sebuah konvensi. Berdasarkan konvensi itu,
Shimoda dari Hakodate dibuka sebagai pelabuhan penyelamatan, cara
memperlakuakan anak kapal yang terdampar diatur dan pengangkatan konsul Amerika
di Shimoda disepakati. Tidak ada pasal mengenai hak berdagang dalam konvensi
itu; inilah satu-satunya kemenangan diplomatik Edo.
Ketika rancangan perjanjian itu
diserahkan pada penguas feodal untuk mendapat pandangan mereka, argumen untuk
menentangnya sama dengan argumen yang dikemukakan pada tahun 1854. Lebih
berbahaya lagi, persoalan perjanjian ini bercampur aduk dengan politik
pergantian kekuasaan. Salah satu putra Nariaki Tokugawa, Yoshinobu, yang sudah
dewasa yang dikenal cerda, mendapat dukungan luas sebagai calon pengganti
Shogun yang sakit-sakitan, Iesada Ii Naosuke, yang sudah lama berselisih dengan
Nariaki mengenai politik luar negeri, lebih memilih orang lain, seorang
kanak-kanak, tetapi lebih dari sisi keturunan dengan Iesada. Tidak lam kemudian
perjanjian ditanda tangani dengan Perancis, Rusia, dan Belanda, sehingga
seluruhnya ini ada lima negara perjanjian pelabuhan. Negara-negara itu
memasukkan Jepang ke dalam sistem perjanjian pelabuhan “made in China”.
5.
Nasionalisme dan Politik
Kejadian-kejadian pada musim panas
tahun 1858 menandai awal dari nasionalisme modern di Jepang. Setidak-tidaknya
diantara samurai, sudah ada benih kesadaran nasional, yang disebabkan oleh
pengalaman berhubungan dengan anak-anak benua Cina di masa lalu, tetapi
keharusan karena terpaksa menerima perjanjian-perjanjian dengan kekuasaan asing
menimbulkan kesadaran akan ancaman-ancaman pihak asing terhadap sesuatu yang
lebih besar dari pada desa atau wilayah milik tuan tanah, yang dilihat sebagian
besar orang Jepang sebagai “negeri”. Lagi pula, perjanjian-perjanjian itu
berlaku untuk semua orang; dan meniru barat, Jepang menetapkan sebuah benera
nasional Hi no Maru, matahari merah dengan latar belakang putih yang
menggantikan, untuk ucapan-ucapan resmi bendera-bendera sendiri Shogun dan
penguasa feodal. Kesadaran akan persatuan politik perlahan-lahan meluas,
pertama dari kota-kota utam ke provinsi-provinsi dan kemudian dari samurai ke
lapisan-lapisan masyarakat yang lain. Persatuan politik itu mendapat fokus
dalam simbolnya “hormat kepada raja”.
Reaksi terhadap krisi politik luar
negeri itu sangat emosional, melampui batas-batas perilaku yang dapat diterima.
Orang Jepang marah; marah kepada orang asing, yang telah merendahkan martabat
Jepang karena isi dan cara tuntunan-tuntuna dikemukakan; marah kepada shogun
dan penguasa feodal yang telah gagal menunaikan tugas mereka untuk mencegah
penghinaan itu. Jika sikap ini tidak semuanya dirasakan diseluruh Jepang,
tetapi begitu pelabuhan-pelabuhan dibuka pada tahun 1859, ada beberapa orang
disebut shishi, atau “orang bersemangat tinggi” yang bersedia mengambil
tindakan nyata. Bagi mereka tidak hanya cukup berkeluh kesah mengenai
nasib-nasib Jepang.
C. Kesimpulan
Dapat kita lihat pada masa awal pemerintahan
Shogun Tokugawa di Jepang, mereka menerapkan sistem pemerintahan yang teratur
dan mereka mengisolasi Jepang guna menghindari pengaruh asing yang dianggap
buruk dan dapat mengganggu kekuasaan Tokugawa, kecuali bagi orang Belanda.
Namun pada akhir masa Tokugawa di Jepang mereka tidak dapat menghindari tekanan
bangsa asing yang datang ke Jepang, sehingga menyebabkan masyarakat hilang rasa
percaya kepada Shogun Tokugawa yang tidak mampu menjaga kehormatan bangsa
Jepang, yang nantinya berkhir dengan keruntuhan pemerintahan yang dipimpin oleh
Shogun di Jepang beralih ke tangan raja atau kaisar.
Daftar Pustaka
W.G. Beasley. (2003) . Pengalaman Jepang, Yayasan Obor
Ondonesia, Jakarta
Sayidiman
Suryohadiprojo. (1982) . Manusia dan
Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan
Hidup, Pustaka
Bradjaguna, Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar