Kamis, 26 Maret 2015

JEPANG DI BAWAH PEMERINTAHAN SHOGUN TOKUGAWA


A. Latar Belakang

Perang Onin merupakan perang dalam negeri atau perang saudara yang menyebabkan makin berkurangnya kekuasaan Ashikaga serta suatu keadaan desentralisasi dalam sistem feodal Jepang. Oleh karena itu, muncullah apa yang dinamakan daimyo, yaitu pemimpin daerah militer indepanden. Dengan munculnya daimyo, gebernur-gebernur militer yang tadinya diangkat oleh shogun dan masih tergantung pada bantuan shogun serta wibawa istana Tenno, lambat laun menghilang.
Daerah yang dikuasai daimyo lebih kecil dari provinsi sebelumnya, tetapi diorganisasikan lebih kompak dan daimyonya berkuasa penuh didalam. Di dalam daerah itu seluruh tanah menjadi miilik daimyo dan samurai yang hidup disitu tunduk kepada daimyo. Di antara keluarga daimyo, yang menonjol adalah keluarga Hojo di daerah Kanto, Imagawa di Tohoku, Ouchi di Kansei dan Otonomo serta Shimazu di Kyushu. Peristiwa penting lain yang terjadi sejak munculnya daimyo adalah masuknya agama Kristen ke Jepang pada taun 1543 melalui pedagang Portugal dan kaum misssionaris Jesut. Melalui para daimyo memasukkan agama Kristen, rakyat Jepang makin banyak menganut agama itu. Tetapi di kemudian hari, setelah Jepang bersatu kembali dalam kekuasaan Tokugawa, kaum missionaris ini diusir dari Jepang dan agama Kristen dilarang.
Pada bagian terakhir abad ke-16 ada daimyo-daimyo yang ingin merebut kekuasaanuntuk menguasai Jepang secara nasional lagi. Seperti masa lalu hal ini harus melalui jalan penaklukan lawan-lawan militernya dan memperoleh legitiminasi dari Tenno dengan cara mempengaruhi atau menguasainya. Kita melihat timbulnya daimyo Oda Nobunaga (1534-1582) yang menguasai Kyoto pada tahun 1568. Sampai saatnya meninngal, karena penghianatan dan pembunuhan, ia telah menguasai sepertiga jaumlah daimyo yang tinggal di pusat strategis Jepang. Yang menggantikannya adalah jenderalnya bernama Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), seorang pemimpin samurai yang berasal dari keluarga petani dan naik sampai menjadi jenderal berkat kecakapan dan kesetiaannya kepada Oda Nobunaga.
Toyotomi Hideyoshi memindahkan markasnya ke Osaka dari mana ia mulai menaklukkan daimyo-daimyo yang belum tunduk. Dalam usahanya itu ia dibantu oleh Tokugawa Ieyasu dan berhasil, sehinggan Tokugawa Ieyasu kemudian memperoleh tanah luas di daerah Kanto, diman ia mendirikan markasnya di Edo (daerah Tokyo sekarang). Setelah kemenangannya di Jepang, Toyotomi Hideyoshi mengerahkan kekuatannya ke Korea, dan selanjutnya ke Cina. Kekuatan militer Jepang saat itu sampai ke sungai Yalu, yaitu perbatasan antar Cina dan Korea (Manchuria). Tetapi karena masalah logistik, Jepang akhirnya terpaksa mundur.
Karena agar dapat diakui sebagai shogun, seorang harus dikenal mempunyai garis keturunan Kamakura atau Minamoto, maka Tiyotomi Hideyoshi yang berasal dari petani, tidak pernah mengangkat dirinya menjadi shogun. Ia bersandar sepenuhnya pada prestise Tenno yang mendukungnya. Namun ia memperoleh sebutan kompuka setelah berhasil mengadaptasi dalam keluarga Fujikara. Selama kekuasaannya, Toyotomi Hideyoshi menegakkan penentuan kelas dalam masyarakat Jepang, yaitu pemisahan yang tegas antara samurai, petani, tukang dan pedagang. Selain itu, usaha Oda Nobunaga untuk menjadikan Jepang suatu pasaran bebas dengan mematahkan kekuasaan ekonomi dari para gilde dilanjutkan kembali. Untuk berfungsinya pasaran bebas. Ia menciptakan mata uang emas. Kemudian ia juga mengadakan pengetatan hak penguasa atas tanah dan merampas semua senjata milik petani. Meninggalnya Toyotomi Hideyoshi menimbulkan persaingan antara para daimyo, mengenai siapa yang akan menggantikannya. Toyomi Hideyosyi sebenarnya menginginkan anaknya yang masih kecil dapat menggantikannya. Tetapi tampuk kekuasaan akhirnya diperebutkan antara Tokugawa Ieyasu dan Mori Terumoto, dimana masing-masing dibantu oleh daimyo yang memihak mereka. Pertempuran hebat di Sekigahara pada tahun 1600 memberikan kemenangan pada Tokugawa Ieyasu. Tiga tahun kemudian (1600), ia diangkat oleh Tenno Heika menjadi Shogun dan bermarkas di Edo yang kemudian menjadi pusat kekuasaan politik dan militer Jepang.
Masa Tokugawa yang berlangsung hingga tahun 1867 telah memberikan landasan kepada jepang untuk dalam membentuk Jepang modern dewasa ini. Tokugawa mengakui supremasi Tennosebagai lambang kelangsungan Jepang. Ia menyediakan tanah untuk keluarga Tenno dan keluarga-keluarga aristokrat di sekeliling Tenno. Tetapi Tenno dan keluarga-keluarga di sekelilingya tidak boleh meninggalkan Kyoto dan dilarang mencampuri urusan pemerintahan serta berhubungan dengan para daimyo. Untuk itu ditampatkan seorang shoshidai atau gebernur-jenderal dengan pasukan besar bertempat di sebelah istana Tenno Kyoto. Selama masa shogun Tokugawa, ada 15 orang keluarga Tokugawa yang telah diangkat menjadi shogun, yaitu:
1.      Ieyasu Tokugawa (1543-1616) masa berkuasa 1603-1605
2.      Hidetada Tokugawa (1579-1632) masa berkuasa 1605-1623
3.      Iemitsu Tokugawa (1604-1651) masa berkuasa 1623-1651
4.      Ietsuna Tokugawa (1641-1680) masa berkuasa 1651-1680
5.      Tsunayoshi Tokugawa (1646-1709) masa berkuasa 1680-1709
6.      Ienobu Tokugawa (1662-1712) masa berkuasa 1709-1712
7.      Ietsogu Tokugawa (1709-1716) masa berkuasa 1713-1716
8.      Yoshimune Tokugawa (1684-1751) masa berkuasa 1716-1745
9.      Ieshige Tokugawa (1712-1786) masa berkuasa 1745-1760
10.  Ieharu Tokugawa (1737-1786) masa berkuasa 1760-1786
11.  Ienari Tokugawa (1739-1841)masa berkuasa 1787-1837
12.  Ieyoshi Tokugawa (1739-1853) masa berkuasa 1837-1853
13.  Iesada Tokugawa (1824-1858) masa berkuasa 1854-1858
14.  Iemochi Tokugawa (1846-1866) masa berkuasa 1858-1866
15.  Yoshinobu Tokugawa (1837-1913) masa berkuasa 1866-1868

B. Masa Pemerintahan Shogun Tokugawa
           
Pada zaman Edo, pemerintahan Negara Jepang berada di bawah kendali Shogun Tokugawa. Akan tetapi, pimpinan tertinggi di jepangbukan Shogun tokugawa, melainkan Kaisar. Tetapi, dikarenakan tugas dominan Kaisar hanya berupa acara seremonial, kendali kepemimpinan dipegang oleh Shogun Tokugawa. Tugas Shogun Tokugawa adalah memegang erat dan menjaga semboyan Kaisar “Sonno Joi” yang artinya Hormati Kaisar dan usir kaum barbar.Di bawah pemerintahan Shogun Tokugawa Bakufu menciptakan berbagai peraturan yang menguntungkan baik untuk pihak bakufu maupun Negara Jepang. Dan peraturan yang dominan dipegang oleh Shogun adalah Sakoku. Sakoku adalah sebuah kebijaksanaan dimana Negara Jepang menutup diri dari pengaruh dunia luar. Ciri dari seorang Shogun adalah selain dengan nama keluarga “Tokugawa” dan menggunakan lambang 3 helai daun Aoi (Mitsuba Aoi).
Pada Zaman Edo yang berkisar pada tahun 1603-1868 ada lima belas Shogun Tokugawa menjabat pada masa itu. Dalam menjabat kelima belas Shogun tersebut memiliki karakteristik masing-masing dalam memerintah. Ieyasu Tokugawa Shogun pertama memiliki pribadi yang halus, cermat dan tegas tetapi sangat diktator dalam memerintah. Shogun kedua Hidetada Tokugawa memiliki jiwa yang diktator dalam memerintah. Shogun ketiga Iemitsu Tokugawa sangat religius dalam pemerintahannya. Shogun keempat Ietsuna Tokugawa memiliki jiwa yang demokratis dalam memimpin. Shogun kelima Tsunayoshi Tokugawa sangat otoriter dan religius dalam menjalankan tugasnya. Shogun keenam Ienobu Tokugawa sangat rajin, mau belajar dalam segala hal dan adil dalam memerintah. Shogun ketujuh, Ietsugu Tokugawa karena masih berumur 3 tahun saat menjabat Shogun, karakternya nakal sebagaimana anak kecil lainnya. Shogun kedelapan Yoshimune Tokugawa menyukai kemajuan, kecanggihan dan budaya barat. Shogun kesembilan Ieshige Tokugawa tidak percaya diri dan sulit berkata serius serta tidak tegas dalam menyikapi masalah. Shogun
kesepuluh Ieharu Tokugawa tidak tegas dalam memerintah. Shogun kesebelas Ienari Tokugawa sangat demokratis, jujur, dan tegas. Shogun keduabelas Ieyoshi Tokugawa sangat cermat dalam menilik suatu masalah. Shogun ketiga belas Iesada tidak tegas dalam memerintah. Shogunkeempat belas Iemochi Tokugawa mudah terpengaruh dan kekanakkanakan.Shogun kelima belas Yoshinobu Tokugawa cerdik dalam
menyikapi suatu masalah. Yoshinobu Tokugawa Shogun kelima belas lahir pada tahun 1837
dengan ayah yang bernama Nariaki seorang Daimyo dari Han Mito. Yoshinobu Tokugawa dididik keras oleh ayahnya dengan maksud untuk menjadikannya Shogun Tokugawa. Pada tahun 1847 Yoshinobu menjadi anak angkat Ieyoshi Tokugawa. Pada bulan Januari 1853 Yoshinobu diperkenalkan sebagai ahli waris Shogun Ieyoshi. Hal itu mengejutkan para kolega Ieyoshi dikarenakan Ieyoshi mempunyai anak kandung yang bernama Iesada.
Pada tanggal 8 Juli 1853 Ieyoshi diberi ultimatum oleh Komodor Mattew Perry untuk membuka Jepang (menghapuskan Sakoku). Apabila Ieyoshi menolak maka Amerika akan mengadakan perang dengan jepang. Mengetahui akan kecanggihan alat perang Negara Amerika, Ieyoshi mengadakan perundingan terlebih dahulu tetapi, sebelum perundingan mencapai mufakat Ieyoshi meninggal dunia. Meski Yoshinobu dinyatakan sebagai ahli waris oleh Ieyoshi, tetapi dikarenakan tidak ada mandat resmi dari Ieyoshi Tokugawa jabatan Shogun digantikan oleh Iesada Tokugawa. Ketidakpuasan istana atas pemerintahan yang dipegang Iesada Tokugawa membuat Bakufu terpecah-belah. Terjadi kampanye diam-diam untuk menjadikan Yoshinobu sebagai Shogun berikutnya. Kampanye yang menonjol saat itu adalah dengan mengumpulkan catatan harian Keiki yang dibukukan dengan judul Riwayat Perkataan dan Kegiatan Hitotsubashi Keiki (nama kecil Yoshinobu Tokugawa). Mengetahui adanya kampanye tersebut Yoshinobu menolak mentah mentah maksud dari tujuan kampanye tersebut. Setelah Iesada meninggal dunia Shogun dijabat oleh Iemochi. Tanpa sepengetahuan Iemochi seorang penasehat setianya Ii Naosuke menandatangani perjanjian Harris dengan Konsulat Amerika Towsend Harris. Kemudian, Ii Naosuke mengeluarkan surat pengasingan diri untuk Yoshinobu dengan tuduhan ingin menggulingkan Kaisar. Tetapi, dikarenakan serangan keluarga Mito Ii Naosuke meninggal dunia dan Yoshinobu pun dibebaskan.
Setelah Iemochi meninggal dunia demi melindungi jepang Yoshinobu menyetujui pengangkatan dirinya sebagai Shogun. Kekosongan tahta Kaisar membuat Yoshinobu menggantikan kekuasaan Kaisar. Selain itu, adanya perjanjian Harris sebelumnya sekaligus untuk menghindari perang dan proses tarik ulur yang begitu lama menyebabkan Yoshinobu tidak membuka seluruh Jepang melainkan hanya membuka pelabuhan Hyogo. Dikarenakan kekosongan tahta Kaisar pembukaan pelabuhan Hyogo tersebut dilakukan tanpa persetujuan Kaisar. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pemberontak dari wilayah Chosu dan Satsuma yang menganggap bahwasanya Yoshinobu telah menginjak harga diri Kaisar. Wilayah Chosu dan Satsuma meminta agar Yoshinobu turun tahta dan mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar. Tetapi, pihak Yoshinobu tidak melakukan tuntutan tersebut. Maka, perang antara pro-
Yoshinobu Tokugawa dengan gabungan pemberontak Chosu dan Satsuma pun tidak dapat dihindari (perang ini dikenal sebagai perang Boshin). Pihak Yoshinobu kalah dalam perang dan mengharuskan Yoshinobu turun dari Shogun dan mengembalikan semua fasilitas yang dipunyai yaitu dua belas kapal perang dan puluhan ribu tentara infanteri. Kemudian, Shogun dihapuskan sampai keakar-akarnya. Pemerintahan dikembalikan kepada Kaisar Taisei Hokan dan dimulai zaman Meiji. Pada tanggal 21 November 1913 Yoshinobu meninggal dunia dan dianugerahi sebagai Shogun terakhir.
            Adapun beberapa hal yang perlu kita perhatikan pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa, diantaranya:

1. Kelas Penguaasa
            Tidak diragukan lagi bahwa keluarga Tokugawa telah menguasai Jepang seluruhnya setelah tahun 1603, tetapi dari sisi kekuasaan resmi istana raja lebih tinggi dari pada Bakufu milik Shogun. Diantara tuan tanah feodal, hanya Shogun yang berhasil mencapai status tertinggi di Kyoto. Vasal-vasal senior Shogun, seperti halnya daimyo lainnya, memiliki status tidaklebih dari status kelas menengah lainnya di istana raja. Seorang tuan tanah feodal, agar dapat memperoleh gelar daimyo, harus memiliki tanah sebagai vasal-kepala yang menghasilkan setidak-tidaknya 10.000 koku. Jika kita pakai rumus yang digunakan, bahwa satu koku padi dapat menghidupkan orang selama satu tahun, maka angka 10.000 koku membuat tuan tanah feodal penguasa atas kelompok orang yang tidak kecil.
            Semua tuan tanah memiliki samurai sebagai anak buah, sebagian kecil dari mereka itu memiliki tanah dan karena itu mereka juga merupakan vasal kelas rendah (baishin). Setiap daimyo, jika wilayahnya cukup luas, mengelola wilayahnya melaui struktur yang banyak persamaannya dengan struktur yang digunakan Shogun di Edo, tetapi dengan ukuran lebih kecil. Samurai, di Edo dan dikota benteng, menjalankan kewajiban melayani tuan tanah feodal masing-masing dengan dua cara. Pertama menunaikan tugas keprajuritan pada masa damai: menjaga benteng daimyo, mengawal daimyo ketika ia pergi ke Edo dan pulang dari Edo, dan menyediakan pasukan yang dapat digunakan daimyo untuk menjaga tanahnya. Tokugawa berhasil mewujudkan ketertiban Jepang pada abad ke 17 sebagian besar tugas ini menjadi tugas sehari-hari. Samurai jarang harus menggunakan senjata setelah tahun 1650.
            Akibatnya adalah menurunnya ikatan sosial dalam masyarakat Edo. Perubahan-perubahan yang terjadi mau tidak mau melahirkan rasa tidak puas, yang ditunjukkan kepada orang-orang biasa yang berhasil memperoleh status sosial lebih tinggi dan kepada orang-orang yang dapat dengan satu dan lain cara dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

2. Desa dan Kota
            Perburuan pedang yang dilakukan Hideyoshi, memperkuat kebijakan Tokugawa, karena mmastikan bahwa desa-desa Jepang berada dibawah kendali hukum tuan tanah mereka. Pada tahun 1721, ketika diadakan sensus resmi, Jepang memiliki lima kota besar dengan penduduk diatas 100.000. Kota terbesar adalah Edo, kota kecil benteng wilayah dan keluarga Tokugawa dan kantor pusat Bakufu. Karena kewajiban mendamping secara bergilir, separuh dari penduduk Edo seluruhnya diperkirakan satu juga orang pada abad ke-18 adalah samurai. Sebuah kota lainnya yang juga memiliki fungsi politik, wlau lebih kecil adalah Kyoto.
            Setidak-tidaknya ada 16 kota kecil berpenduduk 30.000 atau lebih. Bahkan pada abad ke 19, jumlah penduduk kota di Jepang di kota-kota tertentu sekurang-kurangnya 10.000 jiwa mencapai sekitar seper enam dari jumlah total penduduk.

3. Kesusasteraan dan Seni
            Pada akhir abad ke 17, masyarakat kota sudah berkembang luas, beragam, dan setidak-tidaknya sebagai anggotanya kaya. Banyak pedagang yang cukup kaya sehingga mampu mengunjungi teater dan rumah hiburan yang tumbuh seperti jamur dimusim hujan wilayah kota khusus untuk hiburan, dan membanggakan diri sebagai orang pemilik selera tinggi, sambil juga menikmati hiburan yang tidak terlalu baik yang ditawarkan di teater melodrama dan pertunjukan cabul. Pihak penguasa membiarkan mereka sampai batas-bats tertentu, meski sebenarnya ada sensor, karena hal-hal yang disenangi para pedagang itu tidak menyentuh garis batas politik. Penulis, penerbit dan pemilik gedung sanjiwara melihat para pedagang kaya sebagai pelanggan yang berharga.
            Ada tiga nama terkemuka dalam kesusasteraan Jepang pada tahun-tahun ini, Ihara Saikaku (1642-1693), Matsuo Baho (1644-1694), dan Chikamatsu Monzaemon (1653-1725). Mereka berturut-turut adalah penulis novel, dan penulis cerita sandiwara.

4. Kedatangan Bangsa Barat
            Kadang-kadang dalam sejarah suatu negeri ada masa ketika sejumlah perubahan sosial dan politik mencapai tahap kritis bersama-sama. Ini adalah tanda untuk suatu “revolusi” dalam arti seluas-luasnya. Bagi Jepang, pertengahan abad ke 19 adalah titik balik semacam itu. Titik balik itu ditandai oleh masuknya Jepang ke dalam hubungan bersegi banyak dengan Barat; pilihan antar model kelembagaan Eropa dan Amerika. Dan bukan lagi kelembagaan Cina; langkah pertama menuju perkenalan dengan industri kapitalis. Semua perkembangan ini terjadi bersama kuran lebih dengan tumbangnya Bakufu Tokugawa, yang kemudian diganti oleh bentuk pemerintah yang berpusat pada raja. Akibatnya, kehidupan nasional Jepang berubah, sama seperti perubahan sebelumnya terjadi pada periode Asuka dan periode Nara.
            Pemicu peristiwa-peristiwa ini adalah tindakan yang diambil orang barat untuk membuka pelabuhan-pelabuhan Jepang untuk perdagangan luar negeri, yang merupakan bagian dari proses lebih luas ekspansi imperialis di India dan di pantai Cina. Proses ini kembali membawa Jepang kedalam hubungan politik dan dagang yang erat dengan Cina, kali ini dibawah naungan Barat, yang bertindak melalui “perjanjian tidak adil”.
            Dalam pandangan orang Jepang, ketika mereka mngetahui mengenai sistem perjanjian pelabuhan itu, perjanjian itu merupakan ancaman. Sikap ini memastikan bahwa sistem perjanjian pelabuhan itu pada akhirnya dipaksakan kepada Jepang tanpa disesuaikan dengan keadaan di Jepang. Pada tahun 1844 Belanda, takut hak mereka di Deshima pada masa depan terganggu oleh situasi internasional yang timbul akibat perang Candu, mendekati Bakufu Edo untuk memohon agar undang-undang pengasingan dilonggarkan. Permintaan itu ditolak. Dalam beberapa tahun berikutnya, kapal-kapal perang dari Inggris, Perancis, dan Amerika kadang-kadang muncul dan merapat di Ryukyu dan Nagasaki, tetapi tidak ada dari kunjungan ini yang diikuti kemudian dengan tindakan lebih lanjut.
            Kejadian-kejadian di Amerika-lah yang pada akhirnya membawa upaya yang lebih sungguh untuk “membuka” Jepang. Pada tahun 1852 luas diketahui bahwa sebuah ekspedisi angkatan laut Amerika tengah disiapkan untuk mengadakan perundingan dengan Jepang. Komandannya, Laksamana Matthew Perry, tegas mengatakan bahwa ia tidak bersedia menerima siapa pun untuk bertemu dengan dia kecuali pejabat Jepang dengan pangkat setingkat dengan pangkat dia, sesuai dengan janjinya Perry kembali dengan delapan kapal pada awal tahun 1854. Dalam selang waktu itu para penentu kebujakan di Edo telah mengatakan musyawarah dengan para penguasa feodal Jepang. Hasilnya tidak banyak membantu. Dengan juru bicara Nariaki Tokugawa dari Mito, kepala dari cabagng senior keluarga Shogun, mengatakan bahwa tuntunan membina iti mutlak harus ditolak, jika perlu dengan perang.
            Dihadapkan pada keadaan yang tidak menentu, Abe Masahiro, anggota senior dewan Tokugawa, memutuskan untuk menerima sebagian besar dari unsur Perry, bila upaya-upaya lain gagal. Sebagian besar unsur itu diterima. Dalam perundingan di Yokuhama dibawah bayang-bayang meriam kapal-kapal Amerika, Perry menunjukkan bahwa dia tidak mau berkompromi. Pada bulan maret 1854 ditanda tangani sebuah konvensi. Berdasarkan konvensi itu, Shimoda dari Hakodate dibuka sebagai pelabuhan penyelamatan, cara memperlakuakan anak kapal yang terdampar diatur dan pengangkatan konsul Amerika di Shimoda disepakati. Tidak ada pasal mengenai hak berdagang dalam konvensi itu; inilah satu-satunya kemenangan diplomatik Edo.
            Ketika rancangan perjanjian itu diserahkan pada penguas feodal untuk mendapat pandangan mereka, argumen untuk menentangnya sama dengan argumen yang dikemukakan pada tahun 1854. Lebih berbahaya lagi, persoalan perjanjian ini bercampur aduk dengan politik pergantian kekuasaan. Salah satu putra Nariaki Tokugawa, Yoshinobu, yang sudah dewasa yang dikenal cerda, mendapat dukungan luas sebagai calon pengganti Shogun yang sakit-sakitan, Iesada Ii Naosuke, yang sudah lama berselisih dengan Nariaki mengenai politik luar negeri, lebih memilih orang lain, seorang kanak-kanak, tetapi lebih dari sisi keturunan dengan Iesada. Tidak lam kemudian perjanjian ditanda tangani dengan Perancis, Rusia, dan Belanda, sehingga seluruhnya ini ada lima negara perjanjian pelabuhan. Negara-negara itu memasukkan Jepang ke dalam sistem perjanjian pelabuhan “made in China”.

5. Nasionalisme dan Politik
            Kejadian-kejadian pada musim panas tahun 1858 menandai awal dari nasionalisme modern di Jepang. Setidak-tidaknya diantara samurai, sudah ada benih kesadaran nasional, yang disebabkan oleh pengalaman berhubungan dengan anak-anak benua Cina di masa lalu, tetapi keharusan karena terpaksa menerima perjanjian-perjanjian dengan kekuasaan asing menimbulkan kesadaran akan ancaman-ancaman pihak asing terhadap sesuatu yang lebih besar dari pada desa atau wilayah milik tuan tanah, yang dilihat sebagian besar orang Jepang sebagai “negeri”. Lagi pula, perjanjian-perjanjian itu berlaku untuk semua orang; dan meniru barat, Jepang menetapkan sebuah benera nasional Hi no Maru, matahari merah dengan latar belakang putih yang menggantikan, untuk ucapan-ucapan resmi bendera-bendera sendiri Shogun dan penguasa feodal. Kesadaran akan persatuan politik perlahan-lahan meluas, pertama dari kota-kota utam ke provinsi-provinsi dan kemudian dari samurai ke lapisan-lapisan masyarakat yang lain. Persatuan politik itu mendapat fokus dalam simbolnya “hormat kepada raja”.
            Reaksi terhadap krisi politik luar negeri itu sangat emosional, melampui batas-batas perilaku yang dapat diterima. Orang Jepang marah; marah kepada orang asing, yang telah merendahkan martabat Jepang karena isi dan cara tuntunan-tuntuna dikemukakan; marah kepada shogun dan penguasa feodal yang telah gagal menunaikan tugas mereka untuk mencegah penghinaan itu. Jika sikap ini tidak semuanya dirasakan diseluruh Jepang, tetapi begitu pelabuhan-pelabuhan dibuka pada tahun 1859, ada beberapa orang disebut shishi, atau “orang bersemangat tinggi” yang bersedia mengambil tindakan nyata. Bagi mereka tidak hanya cukup berkeluh kesah mengenai nasib-nasib Jepang.

C. Kesimpulan
            Dapat kita lihat pada masa awal pemerintahan Shogun Tokugawa di Jepang, mereka menerapkan sistem pemerintahan yang teratur dan mereka mengisolasi Jepang guna menghindari pengaruh asing yang dianggap buruk dan dapat mengganggu kekuasaan Tokugawa, kecuali bagi orang Belanda. Namun pada akhir masa Tokugawa di Jepang mereka tidak dapat menghindari tekanan bangsa asing yang datang ke Jepang, sehingga menyebabkan masyarakat hilang rasa percaya kepada Shogun Tokugawa yang tidak mampu menjaga kehormatan bangsa Jepang, yang nantinya berkhir dengan keruntuhan pemerintahan yang dipimpin oleh Shogun di Jepang beralih ke tangan raja atau kaisar.

           








Daftar Pustaka
W.G. Beasley. (2003) . Pengalaman Jepang, Yayasan Obor Ondonesia, Jakarta
Sayidiman Suryohadiprojo. (1982) . Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan
            Hidup, Pustaka Bradjaguna, Universitas Indonesia














Tidak ada komentar:

Posting Komentar