Gajah Mada terkenal
dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di
dalam Pararaton.Ia menyatakan tidak
akan memakan palapa atau hidup senang sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah
salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang
ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini
masih kontroversial. Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan
Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme dan persatuan
Nusantara.
Menurut beberapa
sumber yang kami dapatkan, menjelaskan bahwa Gajah Mada mati terbunuh saat dia
merealisasikan sumpahnya yaitu sumpah palapa
diwilayah Aceh. Berikut akan kami paparkan beberapa pendapat yang
menjelaskan kematian Gajah Mada diwilayah Aceh:
1.
Menurut
Hikayat Raja Pasai
"Hikayat
Raja-Raja Pasai" menceritakan pula psristiwa anak laki-laki yang kedua
itu, Tun Abdul Jalil karena ganteng (manis), digilai oleh puteri Raja
Majapahit, Atas izin ayahnya Raja Majapahit, datanglah putsri itu ke Pasai,
tapi tatkala tiba disini raja Pasai (Ahmad Permadala Fermala) menggilai
siputeri pula, lalu Ahmad membunuh anaknya Jalil, Ferbuatan ini berakibat sang
puteri patah hati, dia dan kapalnya karam. Raja Majapahit marah lalu
mengirimkan angkatan parang menyerang Fasai sampai kalah, Sultan Ahmad
menyingkir
dan
kasudahannya tidak diketahui, Tapi dalam sementara itu dicsritakan dalam
"Hikayat Raja-Raja Pasai" bahwa negsri itu dipartahankan
berbulan-bulan lamanya, Setsrusnya disebut: "terlalu banyak mereka itu
berolEh rampasan dan tawanan",
2.
Menurut
Negara Kertagama
"Nagarakartagama", olah panyair
Prapanca, penyerangan dimaksud tidak seberapa beda dengan tahun masa Gajah Mada
jadi Perdana Manteri telah dapat dicatat yaitu antara tahun 1331 dan 1364, Jadi
penyarangan ka Pasai paling lambat telah berlangsung sebelum tahun 1364.
Kematian
Gajah Mada di Tamiang
Pada masa pemerintahan adiknya
Sultan Ahmad Malikuzzahir (Raja Muhammad) yang merupakan raja Samudra Pasai ke
Empat. Kerajaan Samudra Pasai diserang oleh Tentara Majapahit (1350 M) dan
kemudian Majapahit kalah mundur beralih menyerang Tamiang sampai tahun 1352.
Dimasa pemerintahan Raja Muda Sedia mulai maju dalam bentuk dan susunannya.
Pemerintahan bersifat kerajaan yang berbalai. Raja Muda Sedia dengan “Puteri Poe Tuan Suri Meuru Meligai” dari
Keurutoe Pasai, yaitu anak dari Sultan Ahmad Malikuzzahir.
Hasil
perkawinan dengan Puteri Zubaidah binti Sultan Mahmudsyah dari Keudah dan juga
memiliki anak yang lain yaitu “Puteri Cermin” yang ditawan oleh Tentara
Majapahit ketika menyerang Samudra Pasai, dikuburkan di Leran Jawa Timur,
saudara lain dari Putri Potuan Suri Meuru Meligai adalah Sultan Zainal Abidin
Malikuzzahir yaitu raja Samudra Pasai ke Lima. Hasil perkawinan Raja Muda Sedia
tersebut melahirkan seorang putri yang diberi nama “Potuan Putri Meuga Gema”
yang konon ceritanya sangat cantik, karena kecantikannya tersebut diberi gelar
“Putri Bungsu Lindung Bulan” sehingga Patih Gajah Mada berhasrat untuk
mempersuntingkannya.
Setelah Kota Benua, jaya dan makmur
Tentara Majapahit pun datang untuk menaklukkannya. Pada awal mulanya tahun 1350
M. Tentara Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada melakukan penyerangan
kekerajaan Samudra Pasaiyang ketika itu dibawah pimpinan Sultan Ahmad
Malikuzzahir, Namun menemui kegagalan karena tidak memiliki cukup kekuatan
sehingga Tentara Majapahit mundur. Meskipun telah kalah dan mundur mereka
tidakn ingin kembali ke pulau Jawa, dan berusaha mencari tempat yang berdekatan
yaitu Kerjaan Tamiang, karena mereka ingin menaklukkannya, dan didapatilah
tempat didaerah Manyak Payed (yang berasal dari nama Majapahit).
Gajah Mada menguasai beberapa daerah
taklukkannya yaitu Telaga Tujuh (Langsa), Aramiah, Bayeun, Damar Tutung (Rantau
Panjang) sehingga kekuasaanya menjadi solid. Suatu adat kebiasaan adat di
kerajaan Jawa bahwa seluruh rakyat harus memperhambakan dirinya kepada raja
sehingga setiap kali menghadap raja haruslah merangkak dan tunduk, hal tersebut
sangatlah bertentangan dengan adat dan kebiasaan di Aceh dan Tamiang yang lebih
terikat dengan kekuatan agama. Hal yang menjadi kendala bagi pemerintahan
Majapahit sehingga banyak rakyat yang lari mengungsi ke hulu sungai Bayeun,
akibatnya daerah itu menjadi sunyi, kekuasaan Majapahit pada waktu itu bagaikan
kekuasaan tanpa rakyat.
Kemudian karena situasi yang tidak
menguntungkan mereka memiliki hasrat untuk menaklukkan kerajaan Tamiang semakin
besar, maka diutuslah pengawal-pengawal raja untuk menyiasati kerajaan Tamiang
dikota Benua dengan menyamar sebagai pedagang guna untuk mengetahui kekuatan
Tentara Tamiang disana. Setelah mereka mengetahui situasi kota Benua dan
tentang kecantikan Putri Meuga Gama semakin berhasratlah Patih Gajah Mada untuk
menguasai kerajaan Tamiang dan membayar upeti kepadanya dan tidak lagi membayar
kepada pemerintahan kerajaan Samudra Pasai serta menawan Putri Meuga Gema untuk
dipersembahkan kepada Hayam Wuruk yang menjadi Raja Majapahit pada saat itu.
Kemudian diutuslah pengawal untuk
berlayar da mengibarkan bendera perdamaian kepada Raja Muda Sedia dan bermaksud
untuk melamar Putri Meuga Gema, dan akan dibawa ke Majapahit untuk dinikahkan
disana. Tetapi Raja Muda Sedia tidak memberi jawaban dan bertangguh selama satu
hari untuk bermusyawarah dengan pembesar istana. Sesuai janji utusan Majapahit
datang kembali dengan penuh harapan. Semua tamu dibawa keruang makan yang telah
disediakan, Namun pada hidangan-hidangan tersebut bukan berisi makanan
melainkan permata-permata pualam. Para utusan merasa sangat tersinggung dengan
perlakuan Raja Muda Sedia yang merupakan suatu pelecehan terhadap Patih Gajah
Mada dan Maja pahit. Patih Gajah Mada sangat marah dan memerintahkan untuk
menyerang raja Taming dan menjadikan abu Kota Benua.
Laksaman Kantommana bergelar “Hantom
Manoe” karena tidak pernah mandi dan memiliki ilmu yang tinggi dan kuat segera
memerintah prajuritnya untuk menyerang. Pada pertempuran keduanya berhadapan
langsung antara kapal Patih Gajah Mada dengan kapal Laksaman Kantommana dalam
pertempuran ini Raja Muda Sedia dibantu oleh sultan Samudra Pasai, akhirnya
pasukan Majapahit mulai melemah dan mereka mndur berlayar sampai keteluk Haru
(pangkalan susu).
Kemudian Tentara Majapahit menyusun
kekuatan baru diteluk Haru, mengetahui rencana Majapahit, Raja Muda Sedia
memerintahkan rakyat istana untuk membuat kapal perang (bahtera) yang besar dan
menemukan sepohon kayu medang ara yang besar, raja memerintahkan untuk menebang
pohon tersebut dengan syarat menyembelih seekor kerbau tetapi selama tujuh hari
tidak bisa ditebang oleh kapak dan beliung konon ada seorang datuk mentri yang
berkemah ditempat itu bermimpi didatangi seseorang yang tua dan berjenggot putih
dan mengatakan “Janganlah kamu menebang pohon tersebut karena pohon ini adalah
pelindung Negeri Tamiang dan apabila ditebang niscaya kerajaan Tamiang akan
sengsara dan dilanggar musuh dari luar serta Kota Benua yang jaya akan menjadi
abu rata dengan tanah”.
Meskipun mimpi tersebut telah
disampaikan kepada raja, tetapi raja tidak memperdulikannya. Ternyata mimpi
datuk tersebut menjadi kenyataan, pada suatu malam jumat datanglah angin
sepoi-sepoi dengan rintik hujan serta semerbak harum wewangian yang membuat
orang yang menciumnya tertidur pulas. Dalam kesepian tersebut kayu medang ara
tumbang perlahan-lahan dan menuju kelaut. Kayu tersebut hanyut dan terdampar
ditempat Gajah Mada berkemah. Konon, Gajah Mada bermimpi dan diperintahkan agar
membuat bahtera perang dari kayu tersebut lalu menyerang Tamiang.
Setelah sampai disungai Kampung
Durian kira-kira tiga kilometer lagi dari Kota Benua mereka melakukan
penyerangan darat sampai ke Kampung Landoh yang merupakan pintu gerbang Kota
Benua. Panglima Lela Kaum yang berjaga disitu melaporkan kepada raja yang
sedang bermain catur dan tidak memberi tanggapan karena dianggap sebagai suatu
hal yang mustahil, Namun sebelum tiba dimarkas Panglima Lela sudah berhadapan
langsung dengan Tentara Majapahit yang telah memasuki komplek istana dengan
memanjat tembok dengan menggunakan tangga (sige). Ketika Pasukan Majapahit
tembok istana, maka terjadilah peperangan yang dasyat, Panglima Lela beserta
prajurit lainnya tewas. Melihat kejadian tersebut Raja Muda Sedia beserta ratu
dan anaknya menjadi panik dan raja pun melemparkan anak catur dan papan catur
yang terbuat dari emas serta uang emas kehalaman istana. Kemudian ketika
Tentara Majapahit sibuk berebut mas tersebut raja beserta ratu dan beberapa
orang pengawal lari melewati pintu belakang dan tiba di Kota Lintang sementara
putrinya bersembunyi dibalik gong yang besar terletak diistana. Raja terus
berangkat kehulu Sungai Simpang Kanan, raja memerintahkan Datuk Cendana untuk
melihat “Ketike” (Nujum) guna mengetahui keadaan Putri Mega Geuma.
Kemudian raja melanjutkan
perjalanannya dan melewati kampung-kampung, lalu menceritakan tentang
penyerangan Tentara Majapahit di Kota Benua yang telah membakar habis kota dan
menawan Putri Mega Geuma. Raja beserta rombongan akhitnya tiba di Sungai Tampur
untuk bertapa guna mencari ridha Allah SWT agar kelak dapat melawan musuh
kembali. Seluruh rakyat bergotong royong membendung Sungai Tampur untuk menjaga
raja dan keluarga dari serangan musuh. Sementara itu disaat raja bertapa ia
dinyatakan telah raip sementara permainsuri ada yang berpendapat kembali dan
meninggal didaerah Sungai Simpang Kiri, cerita yang lain mengatakan permaisuri
kembali ke Kreuto Pasai Aceh. Tentara Majapahit menerobos istana dan masuk
kedalam memeriksa seluruh isi istana maka didapatilah Putri Mega Geuma tersebut
dan disandra. Kota Benua tersebut dibakar ingga menjadi abu.
Pada tahun 1352 M, ketika Raja Muda
Sedia hilang ghaib (dianggap mangkat) sehingga pucuk kepemimpinan digantikan
oleh Raja Muda Sedinu (anak dari Raja Po Temo). Raja tersebut menyusun kembali
sisa-sisaa tentara kerajaan lalu melakukan pengejaran dan serangan terhadap
Tentara Majapahit yang tinggal didarat. Patih Gajah Mada beserta rombongan dan
Putri Mega Gema pergi berlayar meninggalkan kota tersebut. Tuanku Ampon Tuan
merupakan tunangan dari ttuanku Putri Mega Gema. Tuanku Ampon yang telah menyusun pemerintahan
dan kekuatan bersama dengan Mangku Bumi Raja Sedinu, dibatu bedulang tersebut
membawa pasukannya untuk melakukan perlawanan terhadap Patih Gajah Mada guna
membebaskan Putri Mega Gema bersama tawanan lainnya. Usaha tersebut berhasil
ketika pasukan Ampon Tuan tiba ditempat perkemahan Gajah Mada ia membuat semua
rombongan Gajah Mada tertidur pulas dan membawa Putri Mega Gema.
Dengan perasaan kecewa rombongan
Majapahit berlayarterus melewati Benteng Arun yang masih dijaga oleh Laksamana
Kantommana beserta tentaranya. Laksamana segera melakukan perlawanan terhadap
Tentara Majapahit tersebut. Selang beberapa lama kemudian setelah peperangan
selesai datanglah bala tentara dari Samudra Pasai berenca hendak membantu
Kerajaan Tamiang. Mereka terkejut ketika melihat Benua telah musnah menjadi
abu. Tentara Samudra membuat markas dipulau Kampai untuk bergabung dengan
Tentara Tamiang yang masih tersisa. Pasukan Majapahit mendatangkan bantuan
tentara dari Jawa untuk melawan Tentara Tamiang yang kekuatannya telah
bertambah. Setelah Tentara Samudra bergabung barulah dilakukan serangan
terhadap pasukan Majapahit. Peperangan ini terjadi sangat seru dan dahsyar, banyak
korban yang berjatuhan, karena banyaknya korban sehingga tidak sanggup
dikuburkan lagi maka ditumpuk layaknya menyusun kayu dalam pertempuran ini
Patih Gajah Mada tewas, dimana badannya dibawa kembali ke Jawa sementara
kepalanya tinggal sebagai bukti bagi rakyat Tamiang yang telah menaklukkannya,
jasadnyalah yang dibawa kembali ke Majapahit dan raib berdasarkan kepercayaan
orang Jawa.