Jumat, 26 Januari 2018

KONFRONTASI INDONESIA-MALAYSIA

A.    Latar Belakang
Dalam periode ini Indonesia menentang pembentukan Malaysia, karena sebagai akibat pengaruh PKI Presiden Soekarno menganggap bahwa Malaysia adalah proyek neo-kolonialisme Inggris, yang ‘’Membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai”. Karena itu Malaysia harus dicegah berdirinya dan setelah tetap  dipaksakan berdirinya, harus dihancurkan.
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.



BAB II
Pembahasan

A.    Konfrontasi Terhadap Pembentukan Negara Federasi Malaysia
Konfrontasi merupakan kebijakan politik pemerintah Indonesia terhadap penolakan rencana pembentukan negara federasi Malaysia yang diyakini Soekarno sebagai proyek new-imperialism. Konfrontasi sebagai aksi politik, hal tersebut diungkapkan oleh Menlu Subandrio secara resmi pada tanggal 20 Januari 1963.
Konfrontasi menurut Ensiklopedia 1978 ialah suatu pola dalam hubungan internasional berupa konflik antara dua negara atau lebih mengenai masalah yang dipertentangkan. Segi-segi yang dapat dilihat dari konfrontasi; yaitu, tujuan dan kondisi. Dari segi  kondisi, konfrontasi sebagai  suasana dua negara atau  lebih mempunyai kepentinngan yang berbeda dan tidak dapat diakomodasi.  Sedangkan konfrontasi sebagai tujuan ialah suatu sarana untuk mencapai tujuan masing-masing negara.
Secara goegrafis, Malaya menginginkan Singapura masuk ke dalam federasi karena kota pulau tersebut dapat dijadikan pelabuhan setrategis. Penggabungan dengan Singapura banyak menuai kontra dari berbagai kalangan di Malaya atau Singapura itu sendiri, mengingat Singapura merupakan wilayah mayoritas etnis cina. Orang Melayu khawatir akan tergeser oleh etnis Cina, sementara pada waktu itu isu komunis masih merembak di kawasan Asia Tenggara. Sebagai solusi bagi orang Melayu di Malaya, Inggris menawarkan agar federasi juga mengikutsertakan koloni Inggris di utara Bornio, yaitu, Serawak, Sabah dan Brunei. Awalnya Indonesia tidak keberatan dengan rencana tersebut.
Situasi bermusuhan terlihat ketika secara resmi politik konfrontasi Indonesia terhadap rencana Federasi Malaysia diumumkan oleh Subandrio pada tanggal 20 Januari 1963. Perubahan sikap Indonesia disambut “mendidih” oleh Tengku Abdul Rahman, maka saat itu Indonesia bermusuhan dengan Malaysia. Soekarno telah dianggap mencampuri urusan dalam negeri Malaya.
Protes tidak hanya dilancarkan Indonesia, pada tanggal 22 Juli 1962 Presiden Fhilipina Macapagal  menyatakan keberatan atas rencana Federasi Malaysia dan menuntut hak kedaulatan Sabah. Tuntutan tersebut didasarkan pada Kesultanan Sulu pimpinan Mohammad Jamalul Alam yang bersal dari Fhilipina menyewakan Sabah kepada Baron Von Overbeck dan Alfred Dent (atas nama Britis Nort Borneo Company) dengan sewa 5.000 dolar Malaya per tahun  pada 22  Januari 1878.
Beberapa kali negosiasi antara Malaya, Indonesia dan Fhilipina dilakukan untuk meredam keadaan. Pada akhirnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Manila menghasilkan kesepakatan untuk menentukan nasib Sabah dan Serawak melalui jajak pendapat di bawah naungan PBB. Atas tekanan AS, Inggris menerima rencana jajak pendapat tersebut dan atas tekanan AS juga Inggris dengan “setengah hati” bersedia berkompromi dengan Indonesia dan Fhilipina. Pada pertengahan Agustus dikirimlah misi untuk melakukan jajak pendapat yang disebut “Misi Michelmore”  tiba di Kalimantan dan bekerja sejak 26 Agustus 1963,. Nama Michelmore diambil dari ketua misi, yaitu, Michelmore, seorang diplomat AS.
Pada tanggal 14 September 1963 Sekjen PBB mengumumkan hasil jajak pendapat tersebut. Hasilnya, Sabah dan Serawak menginginkan bergabung bersama Federasi Malaya, kemudian U-Thant menyampaikan perlunya merumuskan kembali kapan pengumuman kemerdekaan Federasi Malaysia. Sebelum rumusan tersebut dihasilkan, telah berlangsung pertemuan antara wakil-wakil Malaya, Singapura, Serawak, Sabah dan Inggris (tanpa Brunei) di London tanggal 9 Juli 1963 dan memutuskan bahwa kemerdekaan Malaya akan dideklarasikan pada 31 Agustus 1963,. Pertemuan dan pengumuman pencapaian kesepakatan hari kemerdekaan Malaysia tersebut membuat Soekarno marah karena menganggap Malaya melanggar kesepakatan yang telah dicapai di Manila.

B.     Ganyang Malaysia
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
1.      Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
2.      Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Baratdan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, danRPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsurTNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap diJohor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara Kalimantan.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan denganResimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary. Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.

C.     Indonesia Keluar Dari PBB
Berhubung dengan masuknya Malaysia menjadi anggota dewan keamanan PBB presiden Soekarno mengulangi lagi pidato membangun dunia kembali yaitu PBB sekarang adalah pencerminan dari keadaan dunia tahun 1945, sewaktu masih belum banyak terdapat Negara-negara di Asia konstilasi dunia komposisi dunia telah berubah tetapi PBB tidak berubah, PBB tetap tinggal seperti PBB 1945, itulah sebabnya maka PBB perlu dirombak. Oleh karenanya jikalau PBB sekarang PBB yang belum berubah, yang tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota dewan keamanan kita Indonesia akan keluar, kita akan meninggalkan PBB sekarang.
Inilah taktik terakhir di forum PBB untuk memencirkan Malaysia, yang hasilnya malahan Indonesia yang keluar dari PBB, karena pada tanggal 7 Januari 1965 Malaysia diterima menjadi anggota dewan keamanan, sedang Malaysia yang menjadi sasaran politik konfrontasi Dwikoral Indonesia. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1965 Indonesia keluar dari PBB.

D.    Akhir Konfrontasi
Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
Politik luar negeri Indonesia terkait dengan rencana Malaya bersama Inggris ingin membentuk Negara Federasi Malaysia, yang mencakup Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei adalah menolak.  Hal ini dapat diketahui dari pidato resmi Menlu Subandrio tanggal 20 Januari 1963 yang berisikan tentang pengambilan sikap konfrontatasi terhadap rencana tersebut. Dan dukungan Indonesia terhadap pembrontakan Azhari di Sabah dan Serawak.

Politik konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia dilatar belakangi oleh kekhawatiran Soekarno terhadap kontrol Inggris di Asia Tenggara akan meluas jika Negara Federasi Malaysia terbentuk dan ini dapat mengancam keberlangsungan revolusi Indonesia. Selain itu Soekarno juga beranggapan Negara Federasi Malaysia adalah proyek new imperilsme dan new kolonialisme (Nekolim). Sedangkan sebab langsung konfrontasi dalam artian perang adalah pelanggaran Malaya terhadap hasil KTT Manila dan mengumumkan  secara sepihak berdirinya Negara Federasi Malaysia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar