Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Januari 2018

PNI Baru (Partai Nasional Indonesia Baru)

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Segala perasaan yang berabad-abad tidur dalam hati rakyat itu, dan telah dihidup-hidupkan lagi dari jauh oleh Perhimpunan Indonesia, dari dekat oleh PNI sampai jadi kehidupan yang insaf, segala perasaan itu telah bernyala-nyala dengan hebat, bukan saja semasa hidupnya partai itu, tetapi juga sesudah partai itu bubar, tinggal tetap meliputi seluruh lapangan pergerakan. Cita-cita untuk mendapat persatuan dan cita-cita untuk mendapat kemerdekaan Indonesia (keduanya itu merupakan usaha menuju Indonesia merdeka, Indonesia mulia atau Indonesia Raya) terdapat dimana-mana saja.

Pada dasarnya lahirnya PNI Baru adalah usaha untuk menghilangkan ketidakpuasan atas pembubaran PNI dan berdirinya Partindo. golongan yang tidak puas itu berhimpun dalam kelompok Golongan merdeka yang ada di kota-kota besar di Jawa dan Sumatra. Kelompok itu menyebutkan dirinya klub pendidikan Nasional Indonesia yang menekankan pembinaan anggota-anggotanya yang terdidik baik dan berkesadaran politik yang tinggi.

Organisasi persatuan yang bernama Pendidikan Nasional Indonesia ini lahir pada tahun 1933 di Yogya merupakan organisasi yang berdasarkan nasionalisme dan demokrasi. Ia berpendapat, bahwa suatu Tanah Air yang merdeka akan tercapai dengan jalan mendidik Rakyat, menyiapkannya dan menganjurkannya dalam hal kebatinan dan keorganisasian hingga bisa diadakan suatu aksi rakyat  umum berdasarkan demokrasi untuk memperoleh kemerdekaan itu.           










BAB II
PEMBAHASAN



A.  Lahirnya PNI Baru

      Tidak adanya lagi aksi dari PNI (Partai Nasional Indonesia) selama waktu pemeriksaan perkaranya oleh hakim menimbulkan rasa kecewa pada pemimpin-pemimpin rendahan dan anggota-anggotanya yang aktif. Sartono yang pandangannya yang legalistic segera menginstruksikan agar semua kegiatan cabang sementara waktu dihentikan. Bahkan berusaha untk membubarkan PNI serta kemudian mendirikan partai baru. Tindakannya itu dimaksudkan agar dengan identitas baru organisasi baru tidaak menjadi sasaran dan buronan penguasa. Sikap seperti itu dikritik secara pedas oleh Moh. Hatta yang mengatakan bahwa PNI telah bunuh diri sebelum berhadapan benar-benar dengan lawannya.

      Ada sekelompok anggota PNI yang tidak mau mengikuti haluan Sartono, mereka mendirikan studieclub dibeberapa tempat antar lain di Batavia, Bandung, Surabaya, Semarang, Malang dan Palembang. Kemudian mereka mendirikan sendiri Golongan Merdeka, yang kemudian lebih terkenal sebagai PNI Baru.

      Menurut pandangan Moh. Hatta kesimpangsiuran dan kekacauan di kalangan kaum nasionalis adalah adanya manifestasi krisis ideology. Sesungguhnya meskipun gayanya berbeda-beda, isi perjuangan kaum nasionais seharusnya sama, sehingga banyak konflik dapat diatasi. Disinilah sebenarnya letak persatuan dan tidak seperti yang dikonsepsikan Soekarno tentang hakikat organisasi PPPKI. Seperti apa yang kemudian dirumuskan oleh Golongan Merdeka yang kemudian yang terhimpun dengan nama PNI Baru atau Pendidikan Nasional Indonesia ialah bahwa ideology politik harus berdasarkan Kebangsaan dan Kerakyatan (nasionalisme dan demokarasi).     

      Intervensi pemerintah  HB menimbulkan kejutan dikalangan anggota PNI dan banyak menyadari arti kritik yang dilancarkan oleh Moh. Hatta, antara lain politik agitasi lebih mudah dijalankan daripada menyusun organisasi yang baik dan melatih anggotanya untuk menjadi kader politik yang baik. Pidato-pidato yang bekobar-kobar adalah hal yang dangkal dan tidak mempunyai pengaruh mendalam. Pertumbuhan partai lewat partai lewat kaderisasi lebih mantap daripada lewat mobilisasi dan demagogi. Kegiatan kelompok-kelompok kecil lebih terarah pada aktvitas untuk meningkatkan kesejahteraan sosial rakyat, antara lain koperasi, kursus-kursus, dan lain sebagainya. Besarlah kekecewaan dikalangan PNI akan peristiwa intervensi  gubernurmen. Mereka yang tidak ikut ajakan Sartono mulai bergabung dengan nama Golongan Merdeka, antara lain dibawah pimpinan Soejadi. Kemudian terjadi ploriferasi dan di berbagai tempat didirikan perkumpulan-perkumpulan yang akhirnya dapat dihimpun dalam PNI Baru. 


B. Perkembangan
           
            Pada bulan Agustus 1932 Hatta pulang ke Tanah Air setelah sebelas tahun lamanya belajar di Belanda, ia mencoba memepengaruhi gerakan nasionalis dari jauh dan akhirnya ia terjun sendiri dalam gerakan yang diinginkannya. Hatta kemudian memegang pimpinan PNI Baru dan tidak lama kemudian jumlah anggotanya meningkat terutama di Jawa Barat dan di Jawa Timur. Ia membuat kursus kader yang didasarkan pada pamphlet yang ditulisnya sendiri bejudul kearah Indonesia merdeka yang mengambil tekanan pada kedaulatan Rakyat dan Kebangsaan. Ia tidak menghendaki pemerintahan yang di pimpin oleh ninggrat dan cendikiawan yang hanya menyokong dan mengurus kepentingan sendiri, tetapi menghendaki pemerintahan rakyat. Individualisme Barat dipertentangkannya dengan kolektivisme pedesaan. Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah yang ddukung oleh depresi ekonomi menyebabkan PNI Baru banyak mendapat pengikut di Indramayu, Cirebon dan Klaten. Organisasi itu akan membantu rakyat dan menjadi pelindungnya dalam menghadapi ketidakadilan pemerintah.

            Orang sering menyebut bahwa Partindo adalah partainya Soekarno dan PNI Baru partainya Hatta dan Syahrir. Rupanya hal ini dapat dibenarkan karena yang mendominasi partai-partai itu adalah soekarno di satu pihak dan Hatta Syahrir dipihak lain. Soekarno berpendidikan barat dan ia bukan satu-satunya yang berpengaru di Partindo tetapi ada pemimpin lain seperti Ali sastroamijoyo, Sartono, Iskaq, Sayudi, dll. Hatta dan Syahrir jelas berpendidikan barat dan penganut sosialisme dan demokrasi. Dilihat dari golongan social didalam masyarakat maka pemimpin Partindo berasal dari keluarga priyayi dan pemimpin PNI Baru berasal dari perangkat desa dan pegawai rendahan.

1.      Ideologi Politik

Dalam menjalankan sosialisasi politik para pemimpin partai nasionalis sebagai elite modern menghadapi masalah bagaimna mencapai dan memobilisasi massa, mengingat bahwa mereka terpisah oleh jarak sosial dari rakyat. Partindo atau PNI Baru sebagai organisasi nasionalis sekuler membutuhkan ideologi politik yang non religius. Soekarno banyak menyumbangkan konsepsi-konsepsi politik, antara lain konsep marchaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasinya.

Menurut Soekarno jalan untuk menghadapi kolonialisme dengan kapitalismenya tidak lain ialah dengan menggerakkan massa yang paling menderita sebagai korban sistem kolonial itu. Justru dalam hal ini PNI Baru mempunyai strategi yang berlawanan dengan Soekarno. Menurutnya kaderisasi dan pemantapan organisasi merupakan cara yang lebih tepat untuk meningkatkan proses politisasi itu. Strategi ini terbukti efektif sehingga membuat pengikut massa tidak berdaya sedikitpun. Setelah Soekarno dibebaskan tahun 1931, dia kembali terjun kembali ke gelanggang politik menggunakan paham lamanya.

Kekuasaan Partindo berbatas hanya di daerah Jawa saja, khususnya Jawa Barat dan Batavia. Di Jawa Timur sulit untuk dimasuki karena pengaruh PBI lebih besar disana.

Soekarno tampak mengadaptasi ideologi-ideologi Barat dan menerapkannya di Indonesia. Berbeda dengan ideologi sosialisme Hatta dan Sjahrir, menurut mereka perjuangan kaum nasionalis tida berbatas pada perjuangan melawan koloniaslisme Barat tapi juga menentang kaum Feodal dan Borjuis yang bekerjasama dengan kolonial. Perbedaan isi ideologi kedua belah pihak sebenarnya tidak terlalu nampak, tapi yang paling mencolok adalah gaya dan jiwa perjuangannya. Namun kalau diukur dalam jangka pendek, kepemimpinan Soekarno dapat menarik simpati rakyat apalagi anggota PPPKI mempercayakannya memegang peranan di lembaga itu.
Organisasi nonkooperasi masih terbatas perannya di kota-kota di daerah Jawa. Mereka adalah golongan elite antara lain kaum priyayi dan pamong praja (BB) yang sulit menerapkan pengaruhnya di pedesaan. Dipandang dari perspektif sosial, kaum inteligensia yang merupakan kaum elite priyayi dan pamong praja (BB) sulit menyatukan kekuatan untuk melawan kolonial karena perbedaan status sosial.

2.      Masalah Persatuan

Salah satu isu yang sangat berpengaruh terhadap penggalangan persatuan di antara organisasi-organisasi pergerakan nasional pada tahun tiga puluhan ialah sekitar soal konsepsi persatuan itu sendiri. Dalam hal ini yang menonjol ialah perdebatan dan pertentangan pendapar antara Partindo dan PNI Baru atau seperti yang umum digambarkan sebagai pertentangan antara golongan Soekarno dan Hatta seperti yang telah diterangkan di atas. Isu tersebut di atas mulai hangat lagi pada tahun 1932 dan 1933 sewaktu timbul gagasan untuk mempersatukan lagi Partindo dan PNI Baru. Kecuali pertentangan pandangan politik tersebut ketidakserasian hubungan antara pemimpin kedua partai itu merupakan faktor penghambat persatuan. Sjahrir yang sudah ada di Indonesia sejak awal 1932 berusaha keras menjajagi situasi politik untuk dapat mengarahkan PNI Baru.


C.    BERAKHIRNYA MASA NONKOOPERASI

Bagi PNI Baru, akhir yang tragis dari politik agitasi memang dalam kritiknya selalu dibayangkan akan terjadi; maka kejadian-kejadian itu memberi pembenaran bagi strateginya. Meskipun demikian, politik ketat sejak 1 Agustus itu tidak memberi ruang bergerak lagi kepada PNI Baru.

Politik Gubernur Jenderal de Jonge tidak bersifat setengah-setengah; maka dalam bulan Desember 1933 PNI Baru yang menjadi sasaran: Moh. Hatta dan Sjahrir, ditangkap dan PNI Baru dilarang. Dengan tangan besi Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan di HB, dan baginya dibayangkan bahwa dalam masa 300 tahun berikutnya pemerintah itu akan masih tetap tegak berdiri. Politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik nonkooperasi sama sekali.

Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno-menurut dokumen-dokumen arsip kolonial-telah menulis surat kepada pemerintah HB sapai empat kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang kesemuanya memuat pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi, bahkan selanjutnya tidak lagi akan melakukan kegiatan politik. Sudah barang tentu itu menggemparkan kalangan kaum nasionalis serta menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada yang penuh keheranan atau kekecewaan, adapula yang merasa jengkel atas perubahan sikap yang terbalik 180 derajat itu.

Terlepas dari berbagai tafsiran itu rupanya aliran nonkooperasi tidak berdaya lagi, lebih-lebih karena salah seorang perintis dan pelopornya telah mengingkari sendiri siap politik itu.
Pembuangan Soekarno ke Digul diperkirakan membawa risiko karena dapat mempengaruhi bekas anggota PKI yang dalam jumlah besar ada di sana. Akhirnya dipilih Flores sebagai tempat pembuangannya. Soekarno diberangkatkan pada Februari 1934.

Meskipun PNI Baru tidak menjalankan politik agitasi dan aksi massa, namun hubungannya dengan golongan komunis di Belanda dipakai sebagai alasan untuk menahan Hatta, Sjahrir, dan anggota Badan Pekerja PNI Baru dalam bulan Desember.





BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Hanyalah dengan usaha-tenaga rakyat sendiri kemerdekaan akan dapat direbut, maka itu juga untuk kepentingan rakyat itusendirilah kemerdekaan akan tercapai. Jika aksi rakyat umum yang bersifat kebangsaan dan demokrasi itu sudah mematahkan kekuasaan imperialism dan kapitalisme, akan dibangunkan demokrasi (politik) berdasarkan kedaulatan rakyat untuk menggantikan kekuasaan itu dan selain daripada itu akan ditimbulkan demokrasi ekonomi, saling kerja sama dan persamaan hak semua (colectivisme) untuk menggantikan kapitalisme yang sirna itu dan dengan jalan itu akan mestilah kesentosan didapat oleh rakyat.

Kelas-kelas manusia haruslah lenyap dan alat-alt untuk menghasilkan barang-barang (perusahaan-perusahaan produksi) haruslah digenggam oleh Negara. Perjuangan kemerdekaan itu bersifat perjuangan bangsa-bangsa (politik) serta perjuangan kelas-kelas (ekonomi) bersama-sama.













DAFTAR PUSTAKA





Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional.    
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Pringgodigdo, A.K.  1986.  Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.  Jakarta: Dian Rakyat.

Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Belajar.


KONFRONTASI INDONESIA-MALAYSIA

A.    Latar Belakang
Dalam periode ini Indonesia menentang pembentukan Malaysia, karena sebagai akibat pengaruh PKI Presiden Soekarno menganggap bahwa Malaysia adalah proyek neo-kolonialisme Inggris, yang ‘’Membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai”. Karena itu Malaysia harus dicegah berdirinya dan setelah tetap  dipaksakan berdirinya, harus dihancurkan.
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.



BAB II
Pembahasan

A.    Konfrontasi Terhadap Pembentukan Negara Federasi Malaysia
Konfrontasi merupakan kebijakan politik pemerintah Indonesia terhadap penolakan rencana pembentukan negara federasi Malaysia yang diyakini Soekarno sebagai proyek new-imperialism. Konfrontasi sebagai aksi politik, hal tersebut diungkapkan oleh Menlu Subandrio secara resmi pada tanggal 20 Januari 1963.
Konfrontasi menurut Ensiklopedia 1978 ialah suatu pola dalam hubungan internasional berupa konflik antara dua negara atau lebih mengenai masalah yang dipertentangkan. Segi-segi yang dapat dilihat dari konfrontasi; yaitu, tujuan dan kondisi. Dari segi  kondisi, konfrontasi sebagai  suasana dua negara atau  lebih mempunyai kepentinngan yang berbeda dan tidak dapat diakomodasi.  Sedangkan konfrontasi sebagai tujuan ialah suatu sarana untuk mencapai tujuan masing-masing negara.
Secara goegrafis, Malaya menginginkan Singapura masuk ke dalam federasi karena kota pulau tersebut dapat dijadikan pelabuhan setrategis. Penggabungan dengan Singapura banyak menuai kontra dari berbagai kalangan di Malaya atau Singapura itu sendiri, mengingat Singapura merupakan wilayah mayoritas etnis cina. Orang Melayu khawatir akan tergeser oleh etnis Cina, sementara pada waktu itu isu komunis masih merembak di kawasan Asia Tenggara. Sebagai solusi bagi orang Melayu di Malaya, Inggris menawarkan agar federasi juga mengikutsertakan koloni Inggris di utara Bornio, yaitu, Serawak, Sabah dan Brunei. Awalnya Indonesia tidak keberatan dengan rencana tersebut.
Situasi bermusuhan terlihat ketika secara resmi politik konfrontasi Indonesia terhadap rencana Federasi Malaysia diumumkan oleh Subandrio pada tanggal 20 Januari 1963. Perubahan sikap Indonesia disambut “mendidih” oleh Tengku Abdul Rahman, maka saat itu Indonesia bermusuhan dengan Malaysia. Soekarno telah dianggap mencampuri urusan dalam negeri Malaya.
Protes tidak hanya dilancarkan Indonesia, pada tanggal 22 Juli 1962 Presiden Fhilipina Macapagal  menyatakan keberatan atas rencana Federasi Malaysia dan menuntut hak kedaulatan Sabah. Tuntutan tersebut didasarkan pada Kesultanan Sulu pimpinan Mohammad Jamalul Alam yang bersal dari Fhilipina menyewakan Sabah kepada Baron Von Overbeck dan Alfred Dent (atas nama Britis Nort Borneo Company) dengan sewa 5.000 dolar Malaya per tahun  pada 22  Januari 1878.
Beberapa kali negosiasi antara Malaya, Indonesia dan Fhilipina dilakukan untuk meredam keadaan. Pada akhirnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Manila menghasilkan kesepakatan untuk menentukan nasib Sabah dan Serawak melalui jajak pendapat di bawah naungan PBB. Atas tekanan AS, Inggris menerima rencana jajak pendapat tersebut dan atas tekanan AS juga Inggris dengan “setengah hati” bersedia berkompromi dengan Indonesia dan Fhilipina. Pada pertengahan Agustus dikirimlah misi untuk melakukan jajak pendapat yang disebut “Misi Michelmore”  tiba di Kalimantan dan bekerja sejak 26 Agustus 1963,. Nama Michelmore diambil dari ketua misi, yaitu, Michelmore, seorang diplomat AS.
Pada tanggal 14 September 1963 Sekjen PBB mengumumkan hasil jajak pendapat tersebut. Hasilnya, Sabah dan Serawak menginginkan bergabung bersama Federasi Malaya, kemudian U-Thant menyampaikan perlunya merumuskan kembali kapan pengumuman kemerdekaan Federasi Malaysia. Sebelum rumusan tersebut dihasilkan, telah berlangsung pertemuan antara wakil-wakil Malaya, Singapura, Serawak, Sabah dan Inggris (tanpa Brunei) di London tanggal 9 Juli 1963 dan memutuskan bahwa kemerdekaan Malaya akan dideklarasikan pada 31 Agustus 1963,. Pertemuan dan pengumuman pencapaian kesepakatan hari kemerdekaan Malaysia tersebut membuat Soekarno marah karena menganggap Malaya melanggar kesepakatan yang telah dicapai di Manila.

B.     Ganyang Malaysia
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
1.      Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
2.      Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Baratdan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, danRPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsurTNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap diJohor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara Kalimantan.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan denganResimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary. Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.

C.     Indonesia Keluar Dari PBB
Berhubung dengan masuknya Malaysia menjadi anggota dewan keamanan PBB presiden Soekarno mengulangi lagi pidato membangun dunia kembali yaitu PBB sekarang adalah pencerminan dari keadaan dunia tahun 1945, sewaktu masih belum banyak terdapat Negara-negara di Asia konstilasi dunia komposisi dunia telah berubah tetapi PBB tidak berubah, PBB tetap tinggal seperti PBB 1945, itulah sebabnya maka PBB perlu dirombak. Oleh karenanya jikalau PBB sekarang PBB yang belum berubah, yang tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota dewan keamanan kita Indonesia akan keluar, kita akan meninggalkan PBB sekarang.
Inilah taktik terakhir di forum PBB untuk memencirkan Malaysia, yang hasilnya malahan Indonesia yang keluar dari PBB, karena pada tanggal 7 Januari 1965 Malaysia diterima menjadi anggota dewan keamanan, sedang Malaysia yang menjadi sasaran politik konfrontasi Dwikoral Indonesia. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1965 Indonesia keluar dari PBB.

D.    Akhir Konfrontasi
Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
Politik luar negeri Indonesia terkait dengan rencana Malaya bersama Inggris ingin membentuk Negara Federasi Malaysia, yang mencakup Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei adalah menolak.  Hal ini dapat diketahui dari pidato resmi Menlu Subandrio tanggal 20 Januari 1963 yang berisikan tentang pengambilan sikap konfrontatasi terhadap rencana tersebut. Dan dukungan Indonesia terhadap pembrontakan Azhari di Sabah dan Serawak.

Politik konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia dilatar belakangi oleh kekhawatiran Soekarno terhadap kontrol Inggris di Asia Tenggara akan meluas jika Negara Federasi Malaysia terbentuk dan ini dapat mengancam keberlangsungan revolusi Indonesia. Selain itu Soekarno juga beranggapan Negara Federasi Malaysia adalah proyek new imperilsme dan new kolonialisme (Nekolim). Sedangkan sebab langsung konfrontasi dalam artian perang adalah pelanggaran Malaya terhadap hasil KTT Manila dan mengumumkan  secara sepihak berdirinya Negara Federasi Malaysia.

Kamis, 25 Januari 2018

SEMINAR PERANTAUAN BUGIS-MAKASSAR DI NUSANTARA

SEMINAR PERANTAUAN BUGIS-MAKASSAR DI NUSANTARA
Oleh
Dr. Suriadi Mappangara M, Hum


            Seminar pada Selasa, 21 Maret 2017 memberikan penerangan lebih jauh mengenai masyarakat Bugis, secara khususnya ketika para pedagang dan penjajah Eropa datang untuk menguasai daerah Sulawesi Selatan. Penduduk Bugis merupakan kumpulan orang-orang pesisir dengan semangat hidup yang tinggi dan berwatak keras, hal ini pasti tidak terlepas dari pengaruh geografis Sulawesi Selatan.
            Masuknya agama Islam juga memberikan dampak besar masyarakat, dengan masuknya ajaran Islam di Sulawesi Selatan berdampak pada perubahan kehidupan sosial ekonomi mereka yang secara drastis berubah dan lebih maju, pernyataan ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Goa dan Tallo. Dua kerajaan kecil ini masih mencari jati dirinya hingga terjadi penyatuan menjadi Kerajaan Makassar dengan menggabungkan beberapa kerajaan-kerajaan kecil.
            Wilayah Sulawesi Selatan identik dengan pesisir dan perairan tenangnya, sehingga penduduk Bugis merupakan seorang ahli dalam perairan dan maritim. Sebagaimana dijelaskan oleh Suriadi dalam seminarnya sudah sejak dulu orang-orang Bugis handal di perairan dan menyebar keseluruh Nusantara, dimana tempat yang dia suka, dimana tempat yang dia anggap dapat ditinggali dan mencari penghidupan baru.
            Orang-orang Bugis memiliki semangat rantau atau berkelana tinggi, ini dapat dibuktikan sekarang dengan tersebarnya penduduk bugis ke berbagai penjuru Nusantara, seperti Jawa, Sumatra, Malaysia, Singapura dan di daerah lain. Menjadi pertanyaan dalam seminar tersebut apa yang membuat orang-orang Bugis meninggalkan kampung halamannya.
            Suriadi dalam seminarnya membagi proses terjadinya migrasi penduduk Bugis dari sebelum penjajahan dan sesudah penjajahan atau ketika Makassar takluk dari VOC, sebagai berikut:
a.       Sebelum Kedatangan Penjajah
            Pada umumnya ketika wilayah Sulawesi Selatan masih dikuasai oleh penduduk asli Bugis, migrasi yang terjadi lebih didominasi oleh para pedagang yang berkeliling ke suluruh Nusantara untuk mencari keuntungan dagang, dan sangat sedikit para bangsawan yang melalukan migrasi, walaupun tetap ada konflik antar sesama bangsawan pribumi, sehingga pada masa ini tidak begitu banyak penduduk Bugis melakukan migrasi.

b.      Sesudah Kedatangan Penjajah

            Pada masa ini ditandai dengan takluknya Makassar dari VOC dengan perjanjian Bongaya yang sangat merugikan kerajaan dan rakyat, akibatnya memuncaknya migrasi baik bangsawan, pedagang, dan penduduk biasa ke berbagai wilayah dan menetap di sana hingga akhir hidupnya. Pada umumnya para bagsawan dan pedagang melakukan migrasi pada masa ini karena kepentingan dan kekuatan mereka di negeri sendiri telah hilang dan mereka dipaksa untuk tunduk pada kolonial dengan berbagai pajak yang memberatkan mereka, banyak dari para bangsawa dan pedagang yang merantau ke wilayah Nusantara mendirikan komunitas mereka sendiri, seperti terjadi di Malaysia dengan adanya kampung Bugis dan Aceh dengan adanya Dinasti Bugis pada raja-raja Aceh. Sedangkan penduduk asli di sini juga ikut keluar dari wilayah Makassar, ini terjadi karena kesetiaan mereka pada bangsawan mereka dan tidak mau tunduk selain kepada raja mereka yaitu raja Makassar.

Rabu, 24 Januari 2018

RESUME SEMINAR AWAL MASUKNYA ISLAM KE ACEH, ANALISIS ARKEOLOGI DAN SUMBANGANNYA KEPADA NUSANTARA

RESUME SEMINAR AWAL MASUKNYA ISLAM KE ACEH, ANALISIS ARKEOLOGI DAN SUMBANGANNYA KEPADA NUSANTARA

            Seminar yang diselenggarakan oleh Prodi Sejarah FKIP UNSYIAH bertujuan untuk memaparkan hasil dari  penelitian Dr. Husaini Ibrahim, dan beliau merupakan seorang dosen di Prodi Sejarah, dalam pemaparan ini, atas dasar bukti arkeologis maka Dr. Husaini tiba pada kesimpulan bahwa Islam pertama sekali masuk bukan pada Abad-13. Namun Islam masuk ke Nusantara sekitaran Abad-7. Hal ini membuat Dr. Husaini membantah teori sebelumnya yang telah disepakati pada seminar di Medan. Seminar yang dimotori oleh Drs. Mawardi M,Hum. MA mengundang beberapa tokoh akademisi sejarah dan peminat sejarah, berikut ringkasannya:
·         Pendapat Prof. Dr. M. Hasbi Amirudin, MA
            Dalam mengemukakan pendapatnya Prof. Hasbi pertama sekali memberikan pujian terhadap hasil karya putra Aceh yang berpatokan atas hasil arkeolog, menurutnya sangat sedikit putera Aceh yang menulis sejarahnya sendiri terutama pada masa sekarang. Di samping itu juga mengingatkan bahwa sudah keharusan bagi kita untuk menggunakan sumber sejarah kita berasal dari masyarakat kita sendiri karena sumber yang ditulis oleh orang-orang asing terutama Belanda sangat sarat dengan kepentingan Belanda itu sendiri.
            “Kita harus merubah bagwa segala sumber itu tidak mesti dari Barat” inilah kalimat yang terekam dari penulis ketika Prof. Hasbi berbicara, ditambahkan dengan penekanan bahwa walaupun kesimpulan Dr. Husaini menyatakan Islam masuk ke Nusantara bukan pada Abad ke-13 melainkan Abad ke-7, namun masih dibutuhkan bukti yang konkrit untuk mengungkapkan sejarah ini, dalam artian tidak mengacu pada bukti arkeologis saja.


·         Pendapat Drs. Rusdi Sufi
            Drs. Rusdi Sufi merupakan salah seorang dosen di Prodi Sejarah dan juga rekan kerja Dr. Husaini, Drs. Rusdi Sufi merupakan sejarawan Aceh yang paling dikenal untuk saat ini, dan beliau juga merupakan salah satu dari sejarawan yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada Abad ke-13, walaupun demikian pada saat mengemukakan pendapatnya beliau mengatakan “Tidak ada suatu karya sejarah yang sempurna” maksudnya bahwa setiap segala sesuatu yang dituliskan oleh manusia dalam bentuk sejarah tidak hilang dari unsur manusiawinya.
            Kemudian beliau juga nyaris sama dengan Prof. Hasbi ketika mengatakan bukti atau sumber Aceh dan menekankan bahwa bukti sejarah Aceh sangat banyak dan hebat, sehingga perlu kajian yang lebih lanjut dan perlu ketekunan bagi Dr. Husaini dalam mempertahankan pendapatnya.

·         Pendapat Drs. Nab Bahany A.S
            Drs. Nab Bahany A.S setahu penulis merupakan peminat sejarah Aceh, walaupun demikian kemampuannya untuk memahami sejarah telah mendapat pengakuan dari kalangan luas. Pendapatnya dalam seminar juga tidak jauh berbeda dengan dua tokoh sebelumnya yaitu memuji dan menekankan pentingnya bukti yang betul-betul komprehensif dalam sejarah, sehingga melahirkan sejarah yang mengecilkan nilai subjektif.

·         Kesimpulan
            Dari pemaparan para tamu yang diundang dalam seminar ini dapat kita cirikan pokok penekanan diantaranya:
1.      Hasil penelitian Dr. Husaini Ibrahim merupakan sesuatu yang patut dipuji dan di contoh khususnya bagi putera-puteri Aceh.
2.      Perlunya pemakaian sumber yang komprehensif dalam penulisan sejarah terutama Aceh yang sangat kaya akan sumber, di samping itu juga sudah saatnya sejarawan memakai sumber dari masyarakatnya sendiri.

3.      Sikap ketekunan dan keseriusan dari Dr. Husaini untuk mempertahankan hasil penelitiannya dari kritik dan bantahan sejarawan lain.

Politik Jepang Terhadap Umat Islam 1942-1945

BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
     Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan masa sulit bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan diri dari tekanan Jepang. Menjadi pertanyaan bagi kita sebagai manusia yang sadar akan sejarah bangsa; Jepang berhasil menguasai Indonesia kurang dari 100 hari, sebelumnya  Belanda butuh bertahun-tahun untuk menaklukkan bangsa ini.
     Sebelumnya tentara Hindia Belanda telah dipersiapkan untuk menyambut invasi Jepang, namun dengan mudah Jepang mengusir pasukan ini. Jepang merupakan bangsa yang bangkit dari ketertinggalan. Politik Isolasi telah menutup Jepang lebih dari 200 tahun, namun ketika Comodor Mathiu Perry datang memaksa Jepang mengakhiri Politik Isolasinya barulah lahir pembaharuan atau lebih dikenal dengan “Restorasi Meiji”, karena pada masa ini beralihnya kekuasaan dari Shogun ke Kaisar, dan terbentuklah struktur masyarakat baru Jepang.
     Jepang mulai bangkit dan mulai menunjukkan taringnya di mata dunia ketika mengalahkan Rusia sebagai kekuatan hebat dunia dalam perebutan Pulau Sakalin, Amerika datang sebagai penengah, diakhiri dengan perjanjian Portsmoth. Mendekati pecahnya perang dunia, Jepang mulai kesulitan untuk mengendalikan komposisi penduduknya yang bertambah banyak, selain itu Jepang juga semakin banyak membutuhkan bahan baku alam guna produksi industri.
     Ajaran Hakko Ichiu memandang Jepang sebagai pemimpin di antara bangsa Asia lainnya dengan delapan penjuru mata angin, inilah hakikat dari keinginan Jepang menduduki wilayah Asia Pasifik, walaupun secara implisit terdapat motif ekonomi dan pandangan fasisme. Hal ini membawa Jepang masuk ke dalam blok poros di perang dunia.
     Usaha Jepang untuk menarik simpati masyarakat dunia khususnya Asia telah dilakukan dari tahun 1930an, ketika Jepang melakukan pendekatan terhadap agama Islam. Jepang memandang pentingnya pendekatan terhadap agama Islam karena penduduk di Asia khususnya Indonesia merupakan penduduk dengan komposisi mayoritas muslim.
     Jepang mengungkapkan bahwa bangsanya merupakan bangsa pelindung bagi bangsa Asia lainnya dan juga bangsa penyelamat agama Islam yang tergusur atas kebijakan pemerintah kolonial. Menarik untuk dikaji, bahwa pemimpin di Indonesia mulai mempersiapkan diri terhadap kedatangan Jepang, karena sudah dapat diramalkan kekalahan Hindia Belanda. Tidak terkecuali bagi golongan Islam, baik di pulau Jawa maupun di pulau lain.
     Jepang telah banyak belajar tentang pemerintahan kolonila, sehingga Jepang berharap mampu mengendalikan rakyat dengan mudah. Perlunya pendekatan kepada suatu golongan yang dianggap setia oleh Jepang, agar mampu memuluskan jalan mereka dalam perang.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1            Menarik Simpati Masyarakat Islam
     Pada 7 Desember 1942, Jepang melakukan pengeboman terhadap pelabuhan Amerika Serikat di Hawai yaitu Pearl Harbor. Pengeboman ini dilakukan karena kebijakan Amerika untuk mengembargo seluruh hasil alam kepada Jepang. Pada 8 Desember 1942 secara resmi dan dipimpin oleh Amerika, bahwa negara-negara penjajah di Asia menyatakan perang terhadap Jepang.
     Pada 10 Januari 1942, Jepang memasuki Kalimantan, dilanjutkan dengan Palembang pada Februari. Pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang dalam waktu yang sangat singkat.(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:3). Akhir dari usaha Jepang untuk mendapat seluruh Indonesia ialah ketika menyerahnya Hindia Belanda kepada Jepang dengan Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942.
     Jepang langsung bergerak cepat ketika secara de jure seluruh kekuasaan didapatkan. Karena sadar bahwa perang akan berlangsung lama, sistem pemerintahan baru di Indonesia mulai terbentuk di bawah pimpinan militer. Sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia, Jepang telah mengkaji komposisi penduduk Indonesia dan pergerakan tokoh politik Indonesia.
     Ketika Belanda menjajah Indonesia, para bangsawan mendapat tempat yang istimewa dibandingkan dengan pribumi biasa, sehingga muncullah kecemburuan sosial. Di samping itu, bagi tokoh agama, Belanda mengesampingkan mereka, karena dianggap bukan kunci perlawanan terhadap kedudukan Belanda di Indonesia. Di sinilah Jepang mulai memutar balik kebijakan dengan melakukan pendekatan terhadap tokoh Islam di Indonesia.
     Dalam rangka melukiskan kehidupan politik pada jaman pandudukan Jepang, perlu golongan nasionalis Islam memperolah sorotan khusus karena telah memperoleh perhatian istimewa dari pemerintah pendudukan Jepang.(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:25)
     Benda menjelaskan bahwa sejak awal di Indonesia, Jepang telah menjadikan urusan keIslaman sebagai prioritas untuk ditangani. Bahkan sebelum barisan propagandanya bergerak, sudah ada beberapa prajurit Jepang berseragam mengikuti shalat Jum’at di sebuah Masjid di Jakarta, yang mengejutkan lagi adalah Kolonel Horie berpidato di Masjid Kwitang dengan didampingi Muhammad Abdul Muniam Inada, seorang Jepang beragama Islam.(Haris, 2012:141).
     Jepang menganggap pendekatan kepada kaum nasionalis agama lebih berhasil dari pada melakukan pendekatan kepada kaum nasionalis sekuler, di karenakan kebencian kaum nasionalis agama dilatar belakangi oleh ideologi agama yaitu agama Islam yang menentang kekuasaan kafir atau anti Barat.
     Pendukakan Jepang di Indonesia memberikan kebebasan kepada kaum agama untuk melakukan kegiatan namun tidak dalam hal politik. Jepang belajar banyak dari Belanda ketika mengizinkan rakyat untuk berpolitik maka situasi keamanan tidak kondusif.
     Di Aceh kedudukan Belanda menjelang masuknya Jepang sudah sangat kecil, sehingga rakyat lebih leluasa untuk bergerak. Jepang melakukan pendekatan terhadap ulama Aceh di bawah Fujiwara, dia mengundang ulama Aceh untuk berunding, dan kedatangan Jepang ke Aceh disambut dengan sangat baik oleh seluruh masyarakat. Ulama Aceh turut membantu Jepang untuk mengejar sisa dari pasukan kolonial di Aceh.
     Di Pulau Jawa respon terhadap eksistensi Jepang membuat tokoh agama Islam terutama petinggi NU menjunjung bangsa Jepang sebagai bangsa Asia yang maju. Hal ini sesuai dengan kutipan dari Berita Nahdatul Ulama (dalam Mawardi, 2008); Kekaguman masyarakat dan kia-kiai NU terhadap Jepang sudah muncul sejak tahun 1936, Jepang disanjung-sanjung sebagai bangsa yang mempunyai jiwa kuat dan bersifat gagah berani sehingga mampu dengan mudah menguasai Tiongkok. Kolonel Horie sebagai pejabat yang manangani masalah-masalah keagamaan terus untuk menggarap kyahi yang berada di daerah Jawa Barat.(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:25).
     Agitasi yang dilakukan oleh Jepang terhadap dunia Islam betul-betul memesonakan umat Islam Indonesia, terutama masyarakat NU dalam tahun 1930-an, setelah K.H. Machfudz Siddiq pulang dari Jepang dengan membawa pengalaman yang luar biasa mengenai perkembangan industri Jepang terutama industri militer, maka masyarakat NU semakin meyakini bahwahanya kekuatan Jepang-lah yang mampu membebaskan umat Islam Indonesia dari penjajahan Belanda. (Mawardi, 2008). Tidak sampai di situ bahkan petinggi-petinggi NU menyerukan agar masyarakat bersiap-siap dengan kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia. Ini merupakan keberhasilan bangsa Jepang dalam melakukan pendekatan terhadap rakyat.
     Dalam rangka memberikan keistimewaan kepada golongan Islam, pemerintah militer Jepang mengizinkan untuk tetap berdirinya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dengan alasan bahwa MIAI merupakan pusat dari propaganda Jepang terhadap rakyat. Kedudukan tokoh agama di pedesaan dianggap sangat strategis karena merekalah yang mampu mencapai akar rumput masyarakat.
     Mawardi menyatakan, kiai kampung pada masa pendudukan Jepang mempunyai peran sangat penting dalam fungsinya sebagai jembatan untuk melakukan komunkasi politik antara pemerintah pendudukan dengan rakyat. Dalam konteks pemerintah, kiai kampung diharapkan mampu menjadi propagandais dalam rangka untuk meningkatkan produksi dan kerjasama untuk dan kerjasama untuk kepentingan perang sedangkan bagi rakyat kiai kampung adalah panutan dan pelindung yang sangat diharapkan mampu menghindarkan mereka dari kebijakan keras Jepang.
     Ketika MIAI berkembang dengan sangat pesat terdapat dua penafsiran dari kebanyakan penulis sejarah Indonesia yaitu, pertama; MIAI dianggap tidak efektif sebagai sebuah organisasi propaganda dan Jepang mulai mengarahkan pendekatan politiknya kepada tokoh agama perkotaan terutam petinggi NU, hampir semua dari masyarakat NU terhindar dari Romusha Jepang, kedua; MIAI berkembang dengan sangat pesat dalam masyarakat Jawa, ditakutkan akan terjadi perlawanan massa yang dilakukan oleh MIAI maka MIAI dibubarkan, selanjutnya digantikan oleh Masyumi.
     Ketua Masyumi, K.H. Asyari diangkat menjadi penasehat Gunseikan, dan di dalam badan-badan seperti Cuo Sangi In maupun Syu Sangikai banyak tokoh Islam yang duduk sebagai anggota. Bila dalam masa pemerintahan Belanda, dalam badan legislatif yang terdiri dari 60 orang anggota, golongan Islam hanya diwakili oleh seorang wakil, di jaman Jepang dalam  Cuo Sangi In yang beranggotaka 43 orang, golongan Islam diwakili oleh 6 orang tokoh-tokoh Islam, yakni di antaranya K.H.A. Halim, ulama dari Cirebon, K.H. Wahid Hasyim, ketua Nahdatul Ulama, dan K.H. Fachuffachman pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur.(Poesponegora dan Notosusanto, 1993:26)
     Hary menjelaskan;selama awal tahun 1943 Shumubu banyak menghabiskan waktu untuk melakukan pendekatan kepada kiai-kiai dan ulama pedesaan untuk dijadikan propagandais Jepang. Usaha ini secara serius dilaksanakan setelah Gunseikan mengalihkan kebijakan dengan pengakuan pemerintah militer Jepang terhadap kiai-kiai dan ulama pedesaan sebagai faktor penting dalam masyarakat Indonesia.(Mawardi, 2008).
     Hal ini tidak hanya terbatas di Pulau Jawa, tetapi sama halnya dengan kepulauan lain di Indonesia. Sehingga ini merupakan suatu kebijakan yang meninggalkan permasalahan internal rakyat Indonesia ketika Jepang angkat kaki. Seperti yang terjadi di Aceh yaitu Perang Cumbok, bahkan hal ini berdampak pada ideologi dasar negara yaitu Islam atau Pancasila, karena dianggap Islam sangat berperan bagi kemerdekaan bangsa ini.

2.2            Respon Kelompok Islam Terhadap Kebijakan Jepang
     Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, kehidupan masyarakat sangat sulit. Mereka terpaksa bekerja demi kepentingan Jepang. Bahkan pada masa ini bahan untuk pembuatan baju pakai tidak cukup ditambah lagi dengan ketidakmampuan rakyat untuk membelinya.
     Pada awal mula masuknya Jepang ke Indonesia, rakyat seakan sangat senang karena menganggap Jepang akan membawa Indonesia ke arah kemajuan seperti bangsa lain. Ditambah pula dengan pendekatan Jepang melalui pernyataan;Jepang sebagai saudara tua bangsa Indonesia, dan Jepang bermaksud untuk mengangkat martabat bangsa Asia.
     Bagi golongan Islam Indonesia tidak jauh berbeda sikapnya terhadap Jepang saat awal mula pendudukan, hal ini terutama karena penyataan Kolonel Horie, yaitu akan tetap menghormati sekaligus menjaga agama Islam, namun hanya terbatas di bidang agama tidak untuk berpolitik, pernyataan ini terealisasikan dengan pembentukan birokrasi bagian pengajaran dan kebudayaan.
     Sikap istimewa Jepang kepada Islam ternyata dimanfaatkan dengan sebaik mungkin oleh para tokoh Islam. Hal ini dikarenakan para tokoh Islam ingin menaikkan status sosialnya dalam masyarakat, karena pada masa kolonial tokoh agama hanya dipandang sebelah mata. Golongan Islam memanfaatkan kesempatan ini dengan bekerja sama dengan Jepang, walaupun secara implisit mereka memiliki tujuan sendiri.
     Aboebakar menjelaskan, kolaborasi dalam bentuk kerja sama itu kemudian memunculkan sikap manis muka, kemahiran bersandiwara politik umat Islam sangat baik, di saat pemerintah militer membutuhkan dukungan rakyat maka setiap kegiatan yang dilakukan untuk menyelamatkan keberagamaan umat Islam dan kehancuran kehidupan rakyat dikatakan sebagai usaha dalam rangka menuju kemenangan Asia Timur Raya.(Mawardi, 2008)
     Menarik dilihat bahwa Nahdatul Ulama dapat dikatakan golongan Islam yang sangat erat dengan pemerintah pendudukan. Zuhri menyatakan Sikap kolaborasi dengan Jepang ini dibangun dari sebuah kesadaran bahwa akan lebih baik apabila memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh Jepang untuk memperkuat posisi NU dan menyelematkan warga akar rumput NU. (Mawardi, 2008).
     Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemaksaan kebudayaan Jepang terhadap para golongan Islam telah menodai idelogi Islam, yaitu kegiatan yang wajib dilakukan oleh rakyat untuk menghormati kaisar Jepang sebagai titisan dewa matahari atau seikere. Kegiatan wajib ini bertentangan dengan Islam karena dianggap seperti menyembah kaisar. Akibat penetrasi kebudayaan yang bertentangan dengan agama, usaha-usaha untuk menentang kebijakan Jepang dilakukan, terutama para ulama NU, dengan langsung mengeluarkan fatwa haram terhadap kegiatan seikere. Bahkan hal ini berujung kepada penangkapan tokoh NU.
     Penentangan yang lebih keras dilakukan oleh K.H. Zainal Mustofa di Tasikmalaya dan di Cot Pling dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil. Keadaan yang semakin berbahaya membuat Jepang kewalahan dalam merespon perlawanan rakyat. Ditambah pula dengan kekalahan-kekalahan pada perang pasifik membuat Jepang harus lebih lunak kepada kaum agama. Pernyataan maaf langsung diutarakan oleh pemerintah yang berdalih bahwa bangsa Jepang belum sepenuhnya paham tentang Islam dan diterima oleh rakyat.
     Kemenangan yang sangat nyata diperoleh kaum agama ketika K.H. Mas Mansur dimasukkan ke dalam organisasi Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan digabungkan bersama Ir. Seokarno, Moh. Hatta, dan Suwardi Suyaningrat dengan julukan “Empat Serangkai”. Sebelumnya golongan Islam hampir tidak pernah mendapatkan jabatan strategis pada masa kolonial.
    
    


BAB III
KESIMPULAN

3.1            Kesimpulan
     Sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia, Jepang telah mempersiapkan pendekatan mantap untuk melakukan pendekatan kepada tokoh pemimpin bangsa Indonesia agar mau mendukung Jepang dalam perang. Selain itu Jepang juga berhasil membuat golongan nasionalis agama yaitu agama Islam untuk mau bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Struktur sosial pada masa Kolonial yang mementingkan golongan bangsawan dan mengesampingkan golongan agama segera diubah oleh Jepang dengan memberikan keleluasaan kepada golongan agama dibandingkan dengan golongan bangsawan.
     Seikere merupakan penyebab dari perlawanan golongan agama secara reaksioner kepada pemerintah pendudukan Jepang karena bertentangan dengan ideologi agama Islam. Permintaan maaf dari pihak Jepang direspon dengan baik oleh tokoh agama terutama di pulau Jawa. Golongan agama memanfaatkan kesempatan rasa simpati Jepang secara maksimal hingga melahirkan Masyumi sebagai salah satu organisasi politik terbesar pasca kemerdekaan Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. SEJARAH          NASIONAL INDONESIA IV. Cet,VII. Jakarta: Balai Pustaka.
Haris, Munawir. 2012. Potret Partisipasi Politik NU Dalam Lintasan Sejarah.   Sorong: Jurnal Review Politik. Vol. 2, No.2:135-152.

Mawardi, Khalid. 2008. Komunikasi Politik Kiai NU Pada Masa Pendudukan            Jepang. Purwokerto: Jurnal Komunika. Vol. 2, No. 2:233-249.