Kamis, 26 Maret 2015

Misteri Gajah Mada



Gajah Mada adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih. Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton.Ia menyatakan tidak akan memakan palapa atau hidup senang sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial. Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme dan persatuan Nusantara.
Menurut beberapa sumber yang kami dapatkan, menjelaskan bahwa Gajah Mada mati terbunuh saat dia merealisasikan sumpahnya yaitu sumpah palapa diwilayah Aceh. Berikut akan kami paparkan beberapa pendapat yang menjelaskan kematian Gajah Mada diwilayah Aceh:
1.     Menurut Hikayat Raja Pasai
"Hikayat Raja-Raja Pasai" menceritakan pula psristiwa anak laki-laki yang kedua itu, Tun Abdul Jalil karena ganteng (manis), digilai oleh puteri Raja Majapahit, Atas izin ayahnya Raja Majapahit, datanglah putsri itu ke Pasai, tapi tatkala tiba disini raja Pasai (Ahmad Permadala Fermala) menggilai siputeri pula, lalu Ahmad membunuh anaknya Jalil, Ferbuatan ini berakibat sang puteri patah hati, dia dan kapalnya karam. Raja Majapahit marah lalu mengirimkan angkatan parang menyerang Fasai sampai kalah, Sultan Ahmad menyingkir
dan kasudahannya tidak diketahui, Tapi dalam sementara itu dicsritakan dalam "Hikayat Raja-Raja Pasai" bahwa negsri itu dipartahankan berbulan-bulan lamanya, Setsrusnya disebut: "terlalu banyak mereka itu berolEh rampasan dan tawanan",

2.      Menurut Negara Kertagama
"Nagarakartagama", olah panyair Prapanca, penyerangan dimaksud tidak seberapa beda dengan tahun masa Gajah Mada jadi Perdana Manteri telah dapat dicatat yaitu antara tahun 1331 dan 1364, Jadi penyarangan ka Pasai paling lambat telah berlangsung sebelum tahun 1364.

           









           

Kematian Gajah Mada di Tamiang

            Pada masa pemerintahan adiknya Sultan Ahmad Malikuzzahir (Raja Muhammad) yang merupakan raja Samudra Pasai ke Empat. Kerajaan Samudra Pasai diserang oleh Tentara Majapahit (1350 M) dan kemudian Majapahit kalah mundur beralih menyerang Tamiang sampai tahun 1352. Dimasa pemerintahan Raja Muda Sedia mulai maju dalam bentuk dan susunannya. Pemerintahan bersifat kerajaan yang berbalai. Raja Muda Sedia dengan “Puteri Poe Tuan Suri Meuru Meligai” dari Keurutoe Pasai, yaitu anak dari Sultan Ahmad Malikuzzahir.
Hasil perkawinan dengan Puteri Zubaidah binti Sultan Mahmudsyah dari Keudah dan juga memiliki anak yang lain yaitu “Puteri Cermin” yang ditawan oleh Tentara Majapahit ketika menyerang Samudra Pasai, dikuburkan di Leran Jawa Timur, saudara lain dari Putri Potuan Suri Meuru Meligai adalah Sultan Zainal Abidin Malikuzzahir yaitu raja Samudra Pasai ke Lima. Hasil perkawinan Raja Muda Sedia tersebut melahirkan seorang putri yang diberi nama “Potuan Putri Meuga Gema” yang konon ceritanya sangat cantik, karena kecantikannya tersebut diberi gelar “Putri Bungsu Lindung Bulan” sehingga Patih Gajah Mada berhasrat untuk mempersuntingkannya.
            Setelah Kota Benua, jaya dan makmur Tentara Majapahit pun datang untuk menaklukkannya. Pada awal mulanya tahun 1350 M. Tentara Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada melakukan penyerangan kekerajaan Samudra Pasaiyang ketika itu dibawah pimpinan Sultan Ahmad Malikuzzahir, Namun menemui kegagalan karena tidak memiliki cukup kekuatan sehingga Tentara Majapahit mundur. Meskipun telah kalah dan mundur mereka tidakn ingin kembali ke pulau Jawa, dan berusaha mencari tempat yang berdekatan yaitu Kerjaan Tamiang, karena mereka ingin menaklukkannya, dan didapatilah tempat didaerah Manyak Payed (yang berasal dari nama Majapahit).
            Gajah Mada menguasai beberapa daerah taklukkannya yaitu Telaga Tujuh (Langsa), Aramiah, Bayeun, Damar Tutung (Rantau Panjang) sehingga kekuasaanya menjadi solid. Suatu adat kebiasaan adat di kerajaan Jawa bahwa seluruh rakyat harus memperhambakan dirinya kepada raja sehingga setiap kali menghadap raja haruslah merangkak dan tunduk, hal tersebut sangatlah bertentangan dengan adat dan kebiasaan di Aceh dan Tamiang yang lebih terikat dengan kekuatan agama. Hal yang menjadi kendala bagi pemerintahan Majapahit sehingga banyak rakyat yang lari mengungsi ke hulu sungai Bayeun, akibatnya daerah itu menjadi sunyi, kekuasaan Majapahit pada waktu itu bagaikan kekuasaan tanpa rakyat.
            Kemudian karena situasi yang tidak menguntungkan mereka memiliki hasrat untuk menaklukkan kerajaan Tamiang semakin besar, maka diutuslah pengawal-pengawal raja untuk menyiasati kerajaan Tamiang dikota Benua dengan menyamar sebagai pedagang guna untuk mengetahui kekuatan Tentara Tamiang disana. Setelah mereka mengetahui situasi kota Benua dan tentang kecantikan Putri Meuga Gama semakin berhasratlah Patih Gajah Mada untuk menguasai kerajaan Tamiang dan membayar upeti kepadanya dan tidak lagi membayar kepada pemerintahan kerajaan Samudra Pasai serta menawan Putri Meuga Gema untuk dipersembahkan kepada Hayam Wuruk yang menjadi Raja Majapahit pada saat itu.
            Kemudian diutuslah pengawal untuk berlayar da mengibarkan bendera perdamaian kepada Raja Muda Sedia dan bermaksud untuk melamar Putri Meuga Gema, dan akan dibawa ke Majapahit untuk dinikahkan disana. Tetapi Raja Muda Sedia tidak memberi jawaban dan bertangguh selama satu hari untuk bermusyawarah dengan pembesar istana. Sesuai janji utusan Majapahit datang kembali dengan penuh harapan. Semua tamu dibawa keruang makan yang telah disediakan, Namun pada hidangan-hidangan tersebut bukan berisi makanan melainkan permata-permata pualam. Para utusan merasa sangat tersinggung dengan perlakuan Raja Muda Sedia yang merupakan suatu pelecehan terhadap Patih Gajah Mada dan Maja pahit. Patih Gajah Mada sangat marah dan memerintahkan untuk menyerang raja Taming dan menjadikan abu Kota Benua.
            Laksaman Kantommana bergelar “Hantom Manoe” karena tidak pernah mandi dan memiliki ilmu yang tinggi dan kuat segera memerintah prajuritnya untuk menyerang. Pada pertempuran keduanya berhadapan langsung antara kapal Patih Gajah Mada dengan kapal Laksaman Kantommana dalam pertempuran ini Raja Muda Sedia dibantu oleh sultan Samudra Pasai, akhirnya pasukan Majapahit mulai melemah dan mereka mndur berlayar sampai keteluk Haru (pangkalan susu).
            Kemudian Tentara Majapahit menyusun kekuatan baru diteluk Haru, mengetahui rencana Majapahit, Raja Muda Sedia memerintahkan rakyat istana untuk membuat kapal perang (bahtera) yang besar dan menemukan sepohon kayu medang ara yang besar, raja memerintahkan untuk menebang pohon tersebut dengan syarat menyembelih seekor kerbau tetapi selama tujuh hari tidak bisa ditebang oleh kapak dan beliung konon ada seorang datuk mentri yang berkemah ditempat itu bermimpi didatangi seseorang yang tua dan berjenggot putih dan mengatakan “Janganlah kamu menebang pohon tersebut karena pohon ini adalah pelindung Negeri Tamiang dan apabila ditebang niscaya kerajaan Tamiang akan sengsara dan dilanggar musuh dari luar serta Kota Benua yang jaya akan menjadi abu rata dengan tanah”.
            Meskipun mimpi tersebut telah disampaikan kepada raja, tetapi raja tidak memperdulikannya. Ternyata mimpi datuk tersebut menjadi kenyataan, pada suatu malam jumat datanglah angin sepoi-sepoi dengan rintik hujan serta semerbak harum wewangian yang membuat orang yang menciumnya tertidur pulas. Dalam kesepian tersebut kayu medang ara tumbang perlahan-lahan dan menuju kelaut. Kayu tersebut hanyut dan terdampar ditempat Gajah Mada berkemah. Konon, Gajah Mada bermimpi dan diperintahkan agar membuat bahtera perang dari kayu tersebut lalu menyerang Tamiang.
            Setelah sampai disungai Kampung Durian kira-kira tiga kilometer lagi dari Kota Benua mereka melakukan penyerangan darat sampai ke Kampung Landoh yang merupakan pintu gerbang Kota Benua. Panglima Lela Kaum yang berjaga disitu melaporkan kepada raja yang sedang bermain catur dan tidak memberi tanggapan karena dianggap sebagai suatu hal yang mustahil, Namun sebelum tiba dimarkas Panglima Lela sudah berhadapan langsung dengan Tentara Majapahit yang telah memasuki komplek istana dengan memanjat tembok dengan menggunakan tangga (sige). Ketika Pasukan Majapahit tembok istana, maka terjadilah peperangan yang dasyat, Panglima Lela beserta prajurit lainnya tewas. Melihat kejadian tersebut Raja Muda Sedia beserta ratu dan anaknya menjadi panik dan raja pun melemparkan anak catur dan papan catur yang terbuat dari emas serta uang emas kehalaman istana. Kemudian ketika Tentara Majapahit sibuk berebut mas tersebut raja beserta ratu dan beberapa orang pengawal lari melewati pintu belakang dan tiba di Kota Lintang sementara putrinya bersembunyi dibalik gong yang besar terletak diistana. Raja terus berangkat kehulu Sungai Simpang Kanan, raja memerintahkan Datuk Cendana untuk melihat “Ketike” (Nujum) guna mengetahui keadaan Putri Mega Geuma.
            Kemudian raja melanjutkan perjalanannya dan melewati kampung-kampung, lalu menceritakan tentang penyerangan Tentara Majapahit di Kota Benua yang telah membakar habis kota dan menawan Putri Mega Geuma. Raja beserta rombongan akhitnya tiba di Sungai Tampur untuk bertapa guna mencari ridha Allah SWT agar kelak dapat melawan musuh kembali. Seluruh rakyat bergotong royong membendung Sungai Tampur untuk menjaga raja dan keluarga dari serangan musuh. Sementara itu disaat raja bertapa ia dinyatakan telah raip sementara permainsuri ada yang berpendapat kembali dan meninggal didaerah Sungai Simpang Kiri, cerita yang lain mengatakan permaisuri kembali ke Kreuto Pasai Aceh. Tentara Majapahit menerobos istana dan masuk kedalam memeriksa seluruh isi istana maka didapatilah Putri Mega Geuma tersebut dan disandra. Kota Benua tersebut dibakar ingga menjadi abu.
            Pada tahun 1352 M, ketika Raja Muda Sedia hilang ghaib (dianggap mangkat) sehingga pucuk kepemimpinan digantikan oleh Raja Muda Sedinu (anak dari Raja Po Temo). Raja tersebut menyusun kembali sisa-sisaa tentara kerajaan lalu melakukan pengejaran dan serangan terhadap Tentara Majapahit yang tinggal didarat. Patih Gajah Mada beserta rombongan dan Putri Mega Gema pergi berlayar meninggalkan kota tersebut. Tuanku Ampon Tuan merupakan tunangan dari ttuanku Putri Mega Gema.  Tuanku Ampon yang telah menyusun pemerintahan dan kekuatan bersama dengan Mangku Bumi Raja Sedinu, dibatu bedulang tersebut membawa pasukannya untuk melakukan perlawanan terhadap Patih Gajah Mada guna membebaskan Putri Mega Gema bersama tawanan lainnya. Usaha tersebut berhasil ketika pasukan Ampon Tuan tiba ditempat perkemahan Gajah Mada ia membuat semua rombongan Gajah Mada tertidur pulas dan membawa Putri Mega Gema.
            Dengan perasaan kecewa rombongan Majapahit berlayarterus melewati Benteng Arun yang masih dijaga oleh Laksamana Kantommana beserta tentaranya. Laksamana segera melakukan perlawanan terhadap Tentara Majapahit tersebut. Selang beberapa lama kemudian setelah peperangan selesai datanglah bala tentara dari Samudra Pasai berenca hendak membantu Kerajaan Tamiang. Mereka terkejut ketika melihat Benua telah musnah menjadi abu. Tentara Samudra membuat markas dipulau Kampai untuk bergabung dengan Tentara Tamiang yang masih tersisa. Pasukan Majapahit mendatangkan bantuan tentara dari Jawa untuk melawan Tentara Tamiang yang kekuatannya telah bertambah. Setelah Tentara Samudra bergabung barulah dilakukan serangan terhadap pasukan Majapahit. Peperangan ini terjadi sangat seru dan dahsyar, banyak korban yang berjatuhan, karena banyaknya korban sehingga tidak sanggup dikuburkan lagi maka ditumpuk layaknya menyusun kayu dalam pertempuran ini Patih Gajah Mada tewas, dimana badannya dibawa kembali ke Jawa sementara kepalanya tinggal sebagai bukti bagi rakyat Tamiang yang telah menaklukkannya, jasadnyalah yang dibawa kembali ke Majapahit dan raib berdasarkan kepercayaan orang Jawa.
           
           
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar