Jumat, 26 Januari 2018

PNI Baru (Partai Nasional Indonesia Baru)

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Segala perasaan yang berabad-abad tidur dalam hati rakyat itu, dan telah dihidup-hidupkan lagi dari jauh oleh Perhimpunan Indonesia, dari dekat oleh PNI sampai jadi kehidupan yang insaf, segala perasaan itu telah bernyala-nyala dengan hebat, bukan saja semasa hidupnya partai itu, tetapi juga sesudah partai itu bubar, tinggal tetap meliputi seluruh lapangan pergerakan. Cita-cita untuk mendapat persatuan dan cita-cita untuk mendapat kemerdekaan Indonesia (keduanya itu merupakan usaha menuju Indonesia merdeka, Indonesia mulia atau Indonesia Raya) terdapat dimana-mana saja.

Pada dasarnya lahirnya PNI Baru adalah usaha untuk menghilangkan ketidakpuasan atas pembubaran PNI dan berdirinya Partindo. golongan yang tidak puas itu berhimpun dalam kelompok Golongan merdeka yang ada di kota-kota besar di Jawa dan Sumatra. Kelompok itu menyebutkan dirinya klub pendidikan Nasional Indonesia yang menekankan pembinaan anggota-anggotanya yang terdidik baik dan berkesadaran politik yang tinggi.

Organisasi persatuan yang bernama Pendidikan Nasional Indonesia ini lahir pada tahun 1933 di Yogya merupakan organisasi yang berdasarkan nasionalisme dan demokrasi. Ia berpendapat, bahwa suatu Tanah Air yang merdeka akan tercapai dengan jalan mendidik Rakyat, menyiapkannya dan menganjurkannya dalam hal kebatinan dan keorganisasian hingga bisa diadakan suatu aksi rakyat  umum berdasarkan demokrasi untuk memperoleh kemerdekaan itu.           










BAB II
PEMBAHASAN



A.  Lahirnya PNI Baru

      Tidak adanya lagi aksi dari PNI (Partai Nasional Indonesia) selama waktu pemeriksaan perkaranya oleh hakim menimbulkan rasa kecewa pada pemimpin-pemimpin rendahan dan anggota-anggotanya yang aktif. Sartono yang pandangannya yang legalistic segera menginstruksikan agar semua kegiatan cabang sementara waktu dihentikan. Bahkan berusaha untk membubarkan PNI serta kemudian mendirikan partai baru. Tindakannya itu dimaksudkan agar dengan identitas baru organisasi baru tidaak menjadi sasaran dan buronan penguasa. Sikap seperti itu dikritik secara pedas oleh Moh. Hatta yang mengatakan bahwa PNI telah bunuh diri sebelum berhadapan benar-benar dengan lawannya.

      Ada sekelompok anggota PNI yang tidak mau mengikuti haluan Sartono, mereka mendirikan studieclub dibeberapa tempat antar lain di Batavia, Bandung, Surabaya, Semarang, Malang dan Palembang. Kemudian mereka mendirikan sendiri Golongan Merdeka, yang kemudian lebih terkenal sebagai PNI Baru.

      Menurut pandangan Moh. Hatta kesimpangsiuran dan kekacauan di kalangan kaum nasionalis adalah adanya manifestasi krisis ideology. Sesungguhnya meskipun gayanya berbeda-beda, isi perjuangan kaum nasionais seharusnya sama, sehingga banyak konflik dapat diatasi. Disinilah sebenarnya letak persatuan dan tidak seperti yang dikonsepsikan Soekarno tentang hakikat organisasi PPPKI. Seperti apa yang kemudian dirumuskan oleh Golongan Merdeka yang kemudian yang terhimpun dengan nama PNI Baru atau Pendidikan Nasional Indonesia ialah bahwa ideology politik harus berdasarkan Kebangsaan dan Kerakyatan (nasionalisme dan demokarasi).     

      Intervensi pemerintah  HB menimbulkan kejutan dikalangan anggota PNI dan banyak menyadari arti kritik yang dilancarkan oleh Moh. Hatta, antara lain politik agitasi lebih mudah dijalankan daripada menyusun organisasi yang baik dan melatih anggotanya untuk menjadi kader politik yang baik. Pidato-pidato yang bekobar-kobar adalah hal yang dangkal dan tidak mempunyai pengaruh mendalam. Pertumbuhan partai lewat partai lewat kaderisasi lebih mantap daripada lewat mobilisasi dan demagogi. Kegiatan kelompok-kelompok kecil lebih terarah pada aktvitas untuk meningkatkan kesejahteraan sosial rakyat, antara lain koperasi, kursus-kursus, dan lain sebagainya. Besarlah kekecewaan dikalangan PNI akan peristiwa intervensi  gubernurmen. Mereka yang tidak ikut ajakan Sartono mulai bergabung dengan nama Golongan Merdeka, antara lain dibawah pimpinan Soejadi. Kemudian terjadi ploriferasi dan di berbagai tempat didirikan perkumpulan-perkumpulan yang akhirnya dapat dihimpun dalam PNI Baru. 


B. Perkembangan
           
            Pada bulan Agustus 1932 Hatta pulang ke Tanah Air setelah sebelas tahun lamanya belajar di Belanda, ia mencoba memepengaruhi gerakan nasionalis dari jauh dan akhirnya ia terjun sendiri dalam gerakan yang diinginkannya. Hatta kemudian memegang pimpinan PNI Baru dan tidak lama kemudian jumlah anggotanya meningkat terutama di Jawa Barat dan di Jawa Timur. Ia membuat kursus kader yang didasarkan pada pamphlet yang ditulisnya sendiri bejudul kearah Indonesia merdeka yang mengambil tekanan pada kedaulatan Rakyat dan Kebangsaan. Ia tidak menghendaki pemerintahan yang di pimpin oleh ninggrat dan cendikiawan yang hanya menyokong dan mengurus kepentingan sendiri, tetapi menghendaki pemerintahan rakyat. Individualisme Barat dipertentangkannya dengan kolektivisme pedesaan. Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah yang ddukung oleh depresi ekonomi menyebabkan PNI Baru banyak mendapat pengikut di Indramayu, Cirebon dan Klaten. Organisasi itu akan membantu rakyat dan menjadi pelindungnya dalam menghadapi ketidakadilan pemerintah.

            Orang sering menyebut bahwa Partindo adalah partainya Soekarno dan PNI Baru partainya Hatta dan Syahrir. Rupanya hal ini dapat dibenarkan karena yang mendominasi partai-partai itu adalah soekarno di satu pihak dan Hatta Syahrir dipihak lain. Soekarno berpendidikan barat dan ia bukan satu-satunya yang berpengaru di Partindo tetapi ada pemimpin lain seperti Ali sastroamijoyo, Sartono, Iskaq, Sayudi, dll. Hatta dan Syahrir jelas berpendidikan barat dan penganut sosialisme dan demokrasi. Dilihat dari golongan social didalam masyarakat maka pemimpin Partindo berasal dari keluarga priyayi dan pemimpin PNI Baru berasal dari perangkat desa dan pegawai rendahan.

1.      Ideologi Politik

Dalam menjalankan sosialisasi politik para pemimpin partai nasionalis sebagai elite modern menghadapi masalah bagaimna mencapai dan memobilisasi massa, mengingat bahwa mereka terpisah oleh jarak sosial dari rakyat. Partindo atau PNI Baru sebagai organisasi nasionalis sekuler membutuhkan ideologi politik yang non religius. Soekarno banyak menyumbangkan konsepsi-konsepsi politik, antara lain konsep marchaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasinya.

Menurut Soekarno jalan untuk menghadapi kolonialisme dengan kapitalismenya tidak lain ialah dengan menggerakkan massa yang paling menderita sebagai korban sistem kolonial itu. Justru dalam hal ini PNI Baru mempunyai strategi yang berlawanan dengan Soekarno. Menurutnya kaderisasi dan pemantapan organisasi merupakan cara yang lebih tepat untuk meningkatkan proses politisasi itu. Strategi ini terbukti efektif sehingga membuat pengikut massa tidak berdaya sedikitpun. Setelah Soekarno dibebaskan tahun 1931, dia kembali terjun kembali ke gelanggang politik menggunakan paham lamanya.

Kekuasaan Partindo berbatas hanya di daerah Jawa saja, khususnya Jawa Barat dan Batavia. Di Jawa Timur sulit untuk dimasuki karena pengaruh PBI lebih besar disana.

Soekarno tampak mengadaptasi ideologi-ideologi Barat dan menerapkannya di Indonesia. Berbeda dengan ideologi sosialisme Hatta dan Sjahrir, menurut mereka perjuangan kaum nasionalis tida berbatas pada perjuangan melawan koloniaslisme Barat tapi juga menentang kaum Feodal dan Borjuis yang bekerjasama dengan kolonial. Perbedaan isi ideologi kedua belah pihak sebenarnya tidak terlalu nampak, tapi yang paling mencolok adalah gaya dan jiwa perjuangannya. Namun kalau diukur dalam jangka pendek, kepemimpinan Soekarno dapat menarik simpati rakyat apalagi anggota PPPKI mempercayakannya memegang peranan di lembaga itu.
Organisasi nonkooperasi masih terbatas perannya di kota-kota di daerah Jawa. Mereka adalah golongan elite antara lain kaum priyayi dan pamong praja (BB) yang sulit menerapkan pengaruhnya di pedesaan. Dipandang dari perspektif sosial, kaum inteligensia yang merupakan kaum elite priyayi dan pamong praja (BB) sulit menyatukan kekuatan untuk melawan kolonial karena perbedaan status sosial.

2.      Masalah Persatuan

Salah satu isu yang sangat berpengaruh terhadap penggalangan persatuan di antara organisasi-organisasi pergerakan nasional pada tahun tiga puluhan ialah sekitar soal konsepsi persatuan itu sendiri. Dalam hal ini yang menonjol ialah perdebatan dan pertentangan pendapar antara Partindo dan PNI Baru atau seperti yang umum digambarkan sebagai pertentangan antara golongan Soekarno dan Hatta seperti yang telah diterangkan di atas. Isu tersebut di atas mulai hangat lagi pada tahun 1932 dan 1933 sewaktu timbul gagasan untuk mempersatukan lagi Partindo dan PNI Baru. Kecuali pertentangan pandangan politik tersebut ketidakserasian hubungan antara pemimpin kedua partai itu merupakan faktor penghambat persatuan. Sjahrir yang sudah ada di Indonesia sejak awal 1932 berusaha keras menjajagi situasi politik untuk dapat mengarahkan PNI Baru.


C.    BERAKHIRNYA MASA NONKOOPERASI

Bagi PNI Baru, akhir yang tragis dari politik agitasi memang dalam kritiknya selalu dibayangkan akan terjadi; maka kejadian-kejadian itu memberi pembenaran bagi strateginya. Meskipun demikian, politik ketat sejak 1 Agustus itu tidak memberi ruang bergerak lagi kepada PNI Baru.

Politik Gubernur Jenderal de Jonge tidak bersifat setengah-setengah; maka dalam bulan Desember 1933 PNI Baru yang menjadi sasaran: Moh. Hatta dan Sjahrir, ditangkap dan PNI Baru dilarang. Dengan tangan besi Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan di HB, dan baginya dibayangkan bahwa dalam masa 300 tahun berikutnya pemerintah itu akan masih tetap tegak berdiri. Politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik nonkooperasi sama sekali.

Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno-menurut dokumen-dokumen arsip kolonial-telah menulis surat kepada pemerintah HB sapai empat kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang kesemuanya memuat pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi, bahkan selanjutnya tidak lagi akan melakukan kegiatan politik. Sudah barang tentu itu menggemparkan kalangan kaum nasionalis serta menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada yang penuh keheranan atau kekecewaan, adapula yang merasa jengkel atas perubahan sikap yang terbalik 180 derajat itu.

Terlepas dari berbagai tafsiran itu rupanya aliran nonkooperasi tidak berdaya lagi, lebih-lebih karena salah seorang perintis dan pelopornya telah mengingkari sendiri siap politik itu.
Pembuangan Soekarno ke Digul diperkirakan membawa risiko karena dapat mempengaruhi bekas anggota PKI yang dalam jumlah besar ada di sana. Akhirnya dipilih Flores sebagai tempat pembuangannya. Soekarno diberangkatkan pada Februari 1934.

Meskipun PNI Baru tidak menjalankan politik agitasi dan aksi massa, namun hubungannya dengan golongan komunis di Belanda dipakai sebagai alasan untuk menahan Hatta, Sjahrir, dan anggota Badan Pekerja PNI Baru dalam bulan Desember.





BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Hanyalah dengan usaha-tenaga rakyat sendiri kemerdekaan akan dapat direbut, maka itu juga untuk kepentingan rakyat itusendirilah kemerdekaan akan tercapai. Jika aksi rakyat umum yang bersifat kebangsaan dan demokrasi itu sudah mematahkan kekuasaan imperialism dan kapitalisme, akan dibangunkan demokrasi (politik) berdasarkan kedaulatan rakyat untuk menggantikan kekuasaan itu dan selain daripada itu akan ditimbulkan demokrasi ekonomi, saling kerja sama dan persamaan hak semua (colectivisme) untuk menggantikan kapitalisme yang sirna itu dan dengan jalan itu akan mestilah kesentosan didapat oleh rakyat.

Kelas-kelas manusia haruslah lenyap dan alat-alt untuk menghasilkan barang-barang (perusahaan-perusahaan produksi) haruslah digenggam oleh Negara. Perjuangan kemerdekaan itu bersifat perjuangan bangsa-bangsa (politik) serta perjuangan kelas-kelas (ekonomi) bersama-sama.













DAFTAR PUSTAKA





Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional.    
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Pringgodigdo, A.K.  1986.  Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.  Jakarta: Dian Rakyat.

Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Belajar.


1 komentar:

  1. PNI Baru itu Pendidikan Nasional Indonesia bukan Partai Nasional Indonesia

    BalasHapus