BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara
yang dijajah oleh bangsa barat, dalam sejarahnya Indonesia atau sebelum
Indonesia disebut Hindia dijajah oleh Belanda. Berawal dari V.O.C~perserikatan
dagang Belanda, dilanjutkan oleh pemerintah Inggris dibawah pimpinan Letnan
Gebernur Jenderal Thomas Raffles.
Setelah keluarnya Perjanjian London, maka Indonesia
kembali menjadi negeri jajahan Belanda. Pada masa ini Belanda berhasil meredam
segala perlawanan dan bahkan memperluas wilayahnya ke seluruh Nusantara.
Alih-alih dengan konsep Pax Netherland, Belanda
ingin menyatukan seluruh Nusantara dalam satu naungan yaitu Hindia-Belanda.
Digantinya Van der Capellen sebagai Gebernur Jenderal, menandakan dimulainya
masa yang penuh kesengsaraan terhadap rakyat Hindia-Belanda.
Van de Bosch diangkat menjadi Gebernur Jenderal,
menggantikan Van der Capellen. Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda
mengangkat Gebernur Jenderal van den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk
meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah
yang berlangsung.[1]
Ketertarikan Pemerintah Belanda untuk mengangkat Van de Bosch karena konsep
yang diberikannya cukup sesuai dengan keadaan pada saat itu yang serba kesulitan.
Cultuur Stelsel merupakan
aturan-aturan dalam perkebunan yang dicetus olehnya guna mengisi kas negara
yang kosong, sekarang Cultuur Stelsel
bagi Bangsa Indonesia lebih dikenal sebagai Tanam Paksa yang diwajibkan kepada
seluruh penduduk Hindia Belanda.
Sebagai pengganti pajak tanah (‘sewa tanah’) yang tidak
lagi dapat diandalkan, pemerintah kolonial meminta para peduduk desa di Jawa
menanam produk-produk pertanian~terutama kopi, gula, dan indigo~untuk dijual di
pasar Internasional melalui Amsterdam.[2]
Ciri pokok dari sistem Tanam Paksa adalah pemungutan
pajak dari rakyat Indonesia dalam bentuk hasil-hasil pertanian rakyat.[3] Cultuur Stelsel membuat Belanda dapat
membangun kembali negerinya yang telah hancur pasca keruntuhan Republik Bataaf.
Karena kebijakan ini terlalu menyiksa rakyat maka mulai muncul pihak pro dan
kontra baik di negeri jajahan maupun di dalam parlemen Belanda terhadap
kebijakan ini.
Diawali oleh seorang pegawai Belanda yang bernama Douwes
Dekker, dengan menggunakan nama samaran Multatuli
menerbitkan sebuah buku yang berjudul Max
Havelaar. Selain itu juga terdapat sebuah pamflet dengan slogan Suiker Contracten berasal dari seorang
pemilik perkebunan bernama Fransen van der Putte. Di negeri Belanda sendiri muncul berbagai pertentangan dalam
parlemen antara golongan liberal dengan golongan konservatif. Dalam pada itu
beberapa tokoh Belanda menentang Tanam Paksa dan menganjurkan pembukaan
Indonesia untuk usaha swasta, seperti Baron van Hoevell, Vitalis, dan lainnya,
berkeyakinan bahwa perkembangan usaha swasta Belanda akan meningkatkan tingkat
kemakmuran rakyat Indonesia.[4]
Perdebatan ini dimenangkan oleh kaum liberal, sehingga
pada tahun 1865 secara bertahap Cultuur
Stelsel atau Tanam Paksa mulai dihapuskan di Hindia Belanda. Pada 1870
dikeluarkannya aturan Agrarische Wet
atau Undang-undang Agraria, membuat Hindia-Belanda terbuka bagi seluruh
perusahaan yang ingin menginvestasikan sahamnya. Masa inilah yang akan menjadi fokus
pembahasan kita, dimana Indonesia pada masa itu memasuki era baru dalam sejarah
kolonialnya, yaitu Politik Pintu Terbuka atau Masa Liberal.
Pada tahap awal dalam propaganda, golongan liberal sangat
berkeyakinan dapat memperbaiki kehidupan rakyat yang sangat sengsara, namun
dalam kenyataannya kebijakan mereka tidak kurang sengsaranya bagi rakyat,
walaupun data menunjukkan terjadi peningkatan kelahiran pada rakyat terutama di
Pulau Jawa. Kebijakan ini menjadikan rakyat tertekan langsung oleh para
penjajah dan penanam modal, banyak di antara mereka yang tertipu dengan kontrak
kerja, sehingga mereka terpaksa untuk terus menjadi kuli pabrik.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Apa
yang menyebabkan dihapuskannya Cultuur
Stelsel ?
2. Bagaimana
proses yang dilakukan untuk membuka Hindia-Belanda bagi pengusaha asing ?
3. Jelaskan
implementasi terhadap kebijakan Politik Pintu Terbuka ?
4. Dampak
yang diakibatkan oleh kebijakan Politik Pintu Terbuka terhadap rakyat ?
1.3.
Tujuan
1. Dapat
memahami pengertian dari kebijakan Politik Pintu Terbuka.
2. Dapat
membedakan antara kebijakan Cultuur Stelsel
dengan kebijakan Politik Pintu Terbuka.
3. Agar
mampu menjelaskan perkembangan pemerintahan kolonial Belanda di Hindia-Belanda.
4. Memenuhi
tugas perkuliahan Sejarah Abad II.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Azas-azas Liberalisme
Liberalisme merupakan suatu paham yang menginginkan
kebebasan dalam melakukan segala hal. Isme ini pertama kali muncul ketika
meledaknya Revolusi Perancis, ketika menggulingkan Raja Louis. Alih-alih untuk
menyebarkan ideologi negaranya, Perancis terlibat dalam Perang Koalisi pasukan
Eropa. Selanjutnya paham ini terus berkembang ke Eropa, terutama Eropa Barat,
ketika lahirnya sebuah penemuan mesin uap
oleh James Watt maka dimulailah Revolusi Industri di Inggris.
Awalnya paham ini hanya terbatas pada bidang
kepemerintahan dan kehidupan~setiap individu memiliki kebebasan dalam menjalani
hidupnya. namun dengan lahirnya Revolusi Industri dilengkapi dengan berbagai
temuan mesin yang bisa memproduksi barang lebih banyak dari hasil tangan
manusia, sehingga lahirlah berbagai kota industri di Inggris. Di samping itu
paham liberal juga ikut serta dalam perekonomian. Alih-alih agar dapat
menguasai seluruh perdagangan para pengusaha melakukan protes terhadap
keterlibatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi, di samping itu mereka juga mengikut
sertakan teori Adam Smith untuk memudahkan jalan mereka menguasai perdagangan.
Di sini pemerintah hanya berperan sebagai pengontrol
jalannya ekonomi, pemerintah dilarang untuk ikut campur dalam perekonomian.
Tidak lama kemudian paham ini terus menjalar ke seluruh Benua Eropa, termasuk
Belanda. Pada saat pesatnya perkembangan paham liberal di negeri Belanda,
bersamaan dengan pelaksanaan Cultuur
Stelsel, sedikit demi sedikit pihak liberal mulai menunjukkan
konsistensinya dalam parlemen Belanda. Munculnya berbagai kecaman dari golongan
humanis, salah satunya dengan karangan Multatuli yaitu Max Havelaar. Novel ini mengungkapkan korupsi dan eksploitasi
masyarakat Jawa.[5]
Menjadi angin segar yang dimanfaatkan oleh golongan liberal menentang golongan konservatif.
Ketika orang-orang liberal mencapai kemenangan politik di negeri Belanda
(setelah tahun 1850) mereka mencoba menerapkan azas-azas liberalisme di
koloni-koloni Belanda khususnya di Indonesia, sedikit-dikitnya di
wilayah-wilayah yang berada di dalam kekuasaan mereka.[6]
Orang-orang liberal berkeyakinan bahwa perkembangan
ekonomi yang pesat yang dicetuskan oleh kegiatan usaha swasta akan membawa
kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia tanpa tindakan khusus dari
pihak pemerintah Hindia Belanda.[7]
Satu-satunya tindakan yang diperlukan adalah memberikan perlindungan dasar
kepada orang-orang Indonesia agar kedudukan lemah mereka tidak disalah gunakan
sehingga merugikan kepentingan-kepentingan mereka, perlindungan dasar ini
adalah Undang-undang Agraria dari tahun 1870 yang menegaskan hak milik penduduk
pribumi atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik ini kepada orang-orang
bukan Indonesia.[8]
Berbagai pertentangan terus terjadi di dalam parlemen Belanda, kaum liberal
terus berusaha untuk meyakinkan pemerintah, dengan diterapkannya sistem
liberal, maka akan berdampak pada sistem ekonomi yang positif.
Di samping itu kebijakan sebelumnya yaitu Cultuur Stelsel terus menunjukkan
penurunan produktifitas akibat terkurasnya tenaga penduduk yang berdampak pada
peningkatan angka kematian, terutama pada masyarakaat Jawa. Di sini kita dapat
melihat, seakan-akan kaum liberal ingin memperbaiki kehidupan rakyat
Hindia-Belanda yang terkuras habis pada masa Tanam Paksa. Alih-alih dari semua
itu nyatanya ini hanya intrik yang digunakan dalam politik untuk mendapatkan
kekuasaan dalam bidang ekonomi.
Walaupun kaum liberal Belanda terus mengecam
kebijakan Tanam Paksa, terdapat kesamaan antara kaum liberal dan konservatif
yaitu mereka tetap memandang kawasan Hindia-Belanda sebagai suatu wilayah yang
dapat memberikan hasil bagi mereka, dengan kata lain mereka~kaum liberal~ingin
kawasan Hindia-Belanda sebagai ajang untuk mencari untung bagi pihak-pihak
swasta atau golongan pengusaha.
Selanjutnya, kedua belah pihak juga sama-sama ingin
mempertahankan politik Batig Slot
yaitu bagaimana caranya agar kawasan Hindia-Belanda dapat memberikan keuntungan
atau surplus bagi negara induk semaksimal mungkin. Batig Slot sangat berguna bagi Belanda, selain dapat membangun
negaranya juga dapat membangun perekonomian masyarakat Belanda. Walaupun nanti
di akhir masa liberal Batig Slot
mulai dihapuskan karena Pemeintah Belanda dengan sangat terpaksa harus
mengeluarkan biaya untuk membangun sarana penunjang perusahaan-perusahaan besar
yang terletak di daerah pedalam, seperti rel kereta api.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria dan
Undang-undang Gula pada 1870, Jawa mulai dibuka untuk perusahaan swasta. Maka,
dimulailah periode Liberal (1870-1900).[9]
Secara bertahap Tanam Paksa atau Cultuur
Stelsel pada tahun 1865 dihapus, dan pada tahun 1920 dapat dipastikan Tanam
Paksa benar-benar telah dihapus. Monopoli pemerintah terhadap tanaman ekspor
secara bertahap dihapuskan sejak 1860-an, pertama-tama terhadap tanaman yang
tidak menguntungkan dan terakhir tebu (akhirnya berakhir pada 1890) dan kopi
(daerah terakhir yang menerapkan tanam paksa kopi baru ditutup pada 1919).[10]
2.2.
Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda Pada Masa Liberal
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa diawalinya
liberalisme di Hindia-Belanda ditandai dengan penetapan kebijakan Undang-undang
Agraria pada tahun 1870. Adapun kebijakan tersebut sebagai berikut:
1.
Agrarische Wet
Salah satu masalah yang dihadapi adalah
bagaimana membuka pulau Jawa untuk investor swasta. Pada tahun 1854 lahir Regerings Reglement yang memungkinkan tanah disewa oleh pihak
swasta. Pasal 62 dari peraturan ini berbunyi :
a.
Gubernur
Jenderal tidak boleh menjual tanah.
b.
Larangan
ini tidak termasuk bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan kota-kota
atau desa-desa.
c.
Gubernur
Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan undang-undang yang nanti akan
dikeluarkan. Ini tidak meliputi tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia asli
atau tanah milik bersama dan tanah lain milik desa.[11]
Namun
kebijakan ini menuai pertentangan di dalam parlemen. Pasal 62 Regering Reglement tidak memuaskan para
pemilik modal sebab peraturan yang dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk
disewa tetapi untuk tidak lebih dari dua puluh tahun. Jangka waktu tersebut
dipandang tidak cukup untuk tanah sewa agar dapat digunakan sebagai jaminan
pinjaman. Lagi pula, tanah yang tersedia terletak di wilayah pedalaman dimana
tenaga kerja tidak cukup tersedia. Kaum pemodal meneruskan usaha mereka untuk
memperoleh tanah dengan menciptakan hukum agraria yang baru.[12]
Akibatnya pemerintah harus
menggantikan undang-undang ini. Pada tahun 1870 maka diterbitkan Undang-undang
Agraria yang menjadi pasal 51 the wet op Staatsinrichting van Nedherlands Indie (konstitusi Hindia-Belanda):
a.
Gebernur
Jenderal tidak boleh menjual tanah.
b.
Larangan
ini tidak berlaku bagi bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota atau
desa atau untuk pendirian perusahaan-perusahaan komersial (bukan pertanian dan
kerajinan).
c.
Gebernur
Jenderal boleh menyewakan tanah sesuai dengan undang-undang. Hak ini tidak
berlaku bagi tanah yang telah dibuka oeh penduduk asli atau terhadap yang
biasanya digunakan untuk pengembalaan atau meliputi wilayah perbatasan desa
untuk maksud-maksud lainnya.
d.
Sewa
menurut hukum dapat sampai masa 75 tahun.
e.
Dalam
memberikan hak sewa sedemikian itu, Gebernur Jenderal akan menghormati hak-hak
tanah penduduk asli.
f.
Gebernur
Jenderal tidak dapat menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli, atau
tanah yang biasa digunakan untuk pengembala, atau tanah yang termasuk wilayah
perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali : untuk
tujuan-tujuan kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk
pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat
diberikan.
g.
Tanah-tanah
yang dimiliki oleh penduduk asli dapat diberikan pada mereka berdasarkan hak
eigendom (hak milik), termasuk hak untuk menjual kepada pihak lain, penduduk
asli atau bukan penduduk asli.
h.
Sewa
tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai dengan
Undang-Undang.[13]
2.
Suiker
Wet
Suiker Wet merupakan undang-undang yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1870 untuk membebaskan para
pengusaha dalam menguasai perusahaan gula yang dimonopoli oleh pemerintah,
karena pada saat itu gula merupakan barang yang paling diincar di daratan eropa
selain kopi. Berikut isi dari Undang-undang Gula, di antaranya:
a.
Perusahaan-perusahaan
gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap.
b.
Pada
tahun 1891 semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah diambil oleh
pihak swasta.
c.
Sewa
hanya dapat dilakukan antara satu sampai dua tahun.
d.
Uang
sewa sebesar hasil dari satu kali panen, kalau tanah itu dikerjakan oleh
petani.
e.
Investor
asing wajib mengadakan perjanjian langsung atau kontrak dengan petani.[14]
3.
Agrarische
Besluit
Agrarische Besluit merupakan peraturan
yang ditetapkan oleh raja Belanda, undang-undang ini diatur guna menjelaskan
hal yang lebih spesifik terhadap Agrarische
Wet, Undang-undang Agraria atau Agrarische
Wet hanya menetapkan hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan Agrarische
Belsuit mengatur lebih terperinci tentang hak dan status kepemilikan tanah.
4.
Koelie
Ordonantie
Lahirnya
kebijakan Koelie Ordonantie atau
kontrak kerja yang dilakukan oleh pemerintah karena pembukaan lahan tembakau di
Sumatra Timur yang dicetuskan pertama kali oleh Jacobus Nienhuys. Pada masa itu
kawasan ini merupakan kawasan yang sedikit penduduk, ditambah lagi Belanda
belum terlalu memperhatikan kawasan ini.
Tembakau
yang berasal dari Deli, Sumatra Timur, terkenal dengan kualitasnya namun pada
saat itu kabar tentang tembakau Deli hanya terbatas pada pedagang-pedagang Arab
di Penang dan Sumatra. Alih-alih untuk mendapatkan keuntungan yang besar,
Nienhuys ingin membuka lahan di Deli.
Untuk
membuka lahan tersebut, Nienhuys membutuhkan banyak pekerja namun untuk
mendapatkan tenaga pekerja Nienhuys harus mengirim orang-orang Cina yang berada
di Malaya untuk bekerja di tempatnya, alih-alih untuk mendapatkan keuntungan
yang besar, perlakuan terhadap para pekerja sangat semena-mena, selanjutnya
juga sangat banyak pekerja yang tidak ahli dalam menjalankan tuganya. Ditambah
lagi dengan keengganan para penduduk untuk bekerja di pabrik membuat para
pekerja melarikan diri.
Untuk
mencegah larinya para pekerja dari pabrik-pabrik swasta, maka pemerintah
menetapkan aturan-aturan yang mengatur tentang kontrak kerja. Penggunaan
pekerja kontrak sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur mulai dilakukan sejak
maraknya perkebunan tembakau tahun 1863. Sistem pekerja kontrak menjadi sistem
yang relatif populer di kalangan pengusaha (planters).
Sebagian besar pekerja perkebunan di Sumatera Timur merupakan pekerja kontrak,
dan selebihnya adalah pekerja bebas. Pekerja yang terikat kontrak biasanya
berasal dari Cina, Jawa, dan India (Keling). Sementara itu pekerja lepas
berasal dari penduduk setempat, seperti suku Batak dan Melayu. Dalam tahun 1888
pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan
hubungan kerja kuli kontrak di Sumatra Timur yang disebut (Koeli Ordonnantie).[15]
Untuk
memberi kekuatan pada pada peraturan-peraturan dalam Koelie Ordonnantie, dimasukkan pula hukuman-hukuman yang dapat
dikenakan terhadap pelanggaran, baik daari pihak majikan maupun pihak pekerja.[16] Setelah
habis masa kontraknya sebagian besar pekerja kembali ke daerah asalnya.
Beberapa di antara para pekerja ada yang selamat tanpa menghabiskan uang
simpanannya di pesta pasar malam. Banyak para pekerja yang melarikan diri
karena tidak tahan menderita. Sebagian lainnya menetap di beberapa daerah di
Sumatera, karena mereka tidak punya ongkos kembali pulang ke daerah asalnya.
5.
Poenale
Sanctie
Poenalie Sanctie merupakan aturan yang
diberlakukan dalam Koelie Ordonantie,
yaitu berupa bermacam sistem penyiksaan yan diberlakukan terhadap para pekerja
yang melanggar aturan. Ancaman yang dapat dikenakan pada pekerja-pekerja
perkebunan yang melanggar ketentuan-ketentuan kontrak kerja kemudian terkenal
sebagai Poenale Sanctie. Poenale Sanctie membuat
ketentuan-ketentuan bahwa pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan-perkebunan
Sumatra Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan
dengan kekerasan jika mereka mengadakan perlawanan.[17]
2.3.
Dampak Dari Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda
1. Pembangunan
Prasarana
Pada
masa liberal, pemerintah menetapkap kebijakan-kebijakannya baik di negerinya
sendiri maupun pada negeri jajahan, sehingga memberikan dampak terhadap
kelangsungan kehidupan rakyat terutama dalam perekonomian. Pemerintah berusaha
untuk melancarkan jalannya perekonomian di Indonesia yaitu melalui pembangunan
berbagai sarana. Salah satu prasarana yang terpenting dalam hal ini adalah
waduk-waduk dan saluran-saluran irigasi untuk meningkatkan produktivitas.[18]
Di
samping itu dengan melakukan pembangunan fisik di negeri jajahan salah satunya
Indonesia maka surplus yang didatangkan kepada negeri Belanda menjadi
berkurang, dan ini merupakan awal dari penghapusan Batig Slot. Di samping pembangunan-pembangunan sarana-sarana
irigasi, selama masa ini pemerintah kolonial juga giat membangun jalan-jalan
raya, jaringan kereta api, dan jembatan-jembatan.[19]
Jalan-jalan
rel kereta api pertama dibangun antara Semarang dan daerah Kesultanan (Vorstenlanden) serta antara Batavia dan
Bogor.[20]
Namun pembangunan terjadi tidak hanya di pulau Jawa, di Aceh pada masa ini
masih dalam periode penaklukan, alih-alih untuk mendapatkan niat baik, Belanda
melakukan pembangunan di Aceh. Pada kenyataannya hal ini didorong oleh faktor
ekonomi Belanda dan sistem pertahanan Belanda di wilayah Aceh. Berdasarkan
surat keputusan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 26 Juni 1874 Nomor 4 di
pantai Ulee Lheue dibangun dermaga yang
bahan-bahannya dibuat dari tiang-tiang kokoh.[21]
Jalan rel kereta api Ulee Lheue sepanjang 5 km dibuka untuk lalu lintas umum
pada 12 November 1876.[22]
Selain
itu, pemerintah kolonial juga harus melakukan pembangunan dalam masyarakat,
karena pada saat itu semakin banyak pegawai yang diperlukan seiring dengan
bertambahnya perusahaan-perusahaan dan badan-badan dalam pemerintahan. Mereka
memerlukan banyak pegawai namun dapat digaji rendah. Baru selama zaman liberal
sistem pendidikan bagi penduduk Indonesia mengalami perkembangan yang lebih
pesat, suatu hal yang memang mencerminkan sikap kaum liberal mengenai
pentingnya penyebaran pendidikan bagi kalangan masyarakat luas.[23]
Namun
pada masa ini pendidikan yang diberikan masih sangat terbatas pada kaum
bangsawan, karena pemerintah kolonial masih sangat berberat hati untuk
mengurangi saldo keuntungan mereka, di samping itu juga pada akhir abad ke-19
banyak tanaman yang menjadi andalan ekspor Belanda mengalami penurunan harga di
pasaran dunia.
2. Kehidupan
Rakyat Pribumi
Dampak
yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial terlihat jelas dari
pemaparan di atas, kita dapat melihat walaupun secara tertulis kebijakan ini
sangat logis namun sangat jauh berbeda dari kenyataan yang didapatkan di
lapangan. Pada saat diberlakukannya Agrarische
Wet banyak penduduk yang terpaksa menyewakan tanahnya kepada pengusaha yang
dipaksa oleh pemerintah, selanjutnya akibat dari penetapan harga sewa tanah
yang tidak mencukupi biaya hidup mereka, dengan terpaksa penduduk harus bekerja
di pabrik-pabrik.
Alih-alih
untuk mencukupi penghidupan mereka malah menjadi malapetaka bagi rakyat dengan
penetapan Koelie Ordonanti dan Poenale Santci, maka mereka terus
terikat dalam kebijakan-kebijak pemerintah, munculnya sebutan lintah darat pada
masa ini yang banyak dipraktekkan oleh para pencari tenaga pekerja di pabrik-pabrik
membuat rakyat semakin menderita. Selain itu, kita juga dapat melihat dari data
yang menunjukkan peningkatan angka kelahiran terutama di pulau Jawa namun ini
hanya pada masa awal kebijakan liberal di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa
pada masa Politik Pintu Terbuka yang sangat merasakan penderitaan akibat
penjajahan adalah penduduk pulau Jawa.
Selama
abad ke sembilanbelas pemerintah Hindia Belanda menganut politik tidak campur
tangan (onthoudings politiek)
terhadap daerah-daerah luar Jawa yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagai
akibat politik ini, beban finansial untuk memerintah daerah ini, walaupun
secara tidak langsung, terpaksa ditanggung oleh Jawa, hal mana berarti bahwa
penduduk Jawalah yang harus menanggung segala beban untuk mengatur dan
memerintah daerah-daerah koloni di luar Jawa. Dengan demikian dana-dana yang
tersedia dari penghasilan expor tanaman-tanaman Jawa tidak dipergunakan oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk kesejahteraan penduduk Jawa sendiri, akan
tetapi untuk membiayai pemerintahan daerah-daerah koloni di luar Jawa.[24]
Dalam
pembangunan prasarana fisik guna mendukung kegiatan perekonomian, pemerintah
banyak merekrut para penduduk untuk kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memperkecil
pengeluaran kas Belanda. Di Sumatra Timur juga merupakan salah satu contoh
kawasan yang menjadi pusat penderitaan rakyat yang bekerja di pabrik-pabrik.
Banyak dari mereka yang disiksa dengan berbagai hukuman. Hanya sedikit dampak
positif yang didapatkan pada masa liberal, salah satunya dalam bidang
pendidikan dan ini juga masih sangat terbatas, kecuali bagi para penduduk asing
yang mendirikan sekolah sendiri seperti orang-orang Cina. Pada masa ini rakyat
langsung terlibat dalam kegiatan ekonomi kolonial dan di bawah perintah
Belanda, hal ini sangat berbeda pada masa sebelumnya dimana raja yang selalu
ditekan oleh Belanda, pada masa ini rakyatlah yang menjadi korban utama dari
kebijakan Belanda.
Namun,
hal paling menakjubkan tentang Indonesia adalah begitu sedikitnya orang Eropa
di sana~dan begitu suksesnya mereka memerintah serta mengeksploitasi jutaan
orang Indonesia. Mereka berhasil karena didukung keunggulan teknologi Eropa dan
abad ke-19 menjadi tanda pranasionalis. Kala itu, belum tumbuh semangat
ke-Indonesiaan atau gagasan bahwa masyarakat Indonesia dapat bersatu untuk
melawan kekuasaan Eropa.[25]
2.4. Kedatangan ke Negeri Belanda
Pada masa liberalisme di Indonesia yang
diterapkan oleh Belanda, dalam bidang sosial Belanda mulai membuka pandangannya
terhadap masyarakat kolonial, sehingga memberi kesempatan tehadap penduduk
pribumi untuk berkunjung ke negeri Belanda walaupun masih sangat terbatas,
namun yang sangat penting di sini adalah mulai terjalin suatu kontak yang
terbuka antara negeri penjajah dengan negeri yang dijajah.
Selanjutnya dampak yang ditimbulkan
oleh kontak ini dapat kita lihat dari dua sudut, pertama kita dapat melihat
dampak yang ditimbulkan terhadap penduduk pribumi, di sini mereka mulai
mengenal hal-hal baru salah satunya yang sangat penting adalah rasa
nasionalisme yang mulai sedikit demi sedikit berkembang walaupun sangat
terbatas, kedua dari pemerintah kolonial, mereka semakin sadar akan penduduk
pribumi yang unik sehingga di negeri Belanda diadakan suatu pameran kebudayaan
negeri jajahan terutama kebudayaan Jawa. Ini juga mencerminkan azas-azas dari
sistem politik liberal yang dijalankan oleh Belanda di Indonesia, dimana
keterbukaan yang dilakukan oleh pihak Belanda, namun dalam beberapa sisi masih
terdapat diskriminasi bagi penduduk pribumi.
Sasrokartono ialah orang pertama
dalam rombongan Indonesia yang datang ke negeri Belanda untuk belajar.[26]
Sarokartono merupakan abang kandung dari R.A. kartini yang meninggal saat
melahirkan anaknya. Selanjutnya terdapat Abdul Rivai, seorang yang lahir di
Sumatra Barat. Rivai bekerja pada pemerintah Belanda. Ia menempuh pendidikan
dokter Jawa dan memperoleh diploma tahun 1894, lalu di tempatkan di Deli
sebagai dokter pemerintah.[27]
Rivai adalah seorang yang sejatinya penulis, dia pergi ke negeri Belanda
setelah mengumpulkan gajinya. Di Belanda, Rivai mulai menulis berbagai artikel
yang memuat tentang penduduk pribumi dan Rivai juga menjadi orang Indonesia
pertama yang mencetuskan penyatuan terhadap negeri Belanda dengan
Hindia-Belanda, dalam beberapa artikelnya dalam surat kabar Wolanda, Rivai mengubah kata “penjajah”
menjadi “toeannja”. Pada masa inilah berbagai ide dan gagasan untuk suatu
konsep bangsa lahir, akibat terjadi kontak yang terbuka antara negeri terjajah
dan negeri penjajah yang mendorong terciptanya rasa nasionalisme Indonesia
dalam pelaksanaan Politik Etis.
Jika melihat jauh lebih ke belakang
sebelum masa liberal juga terdapat rombongan-rombongan pribumi yang melakukan
kunjungan ke negeri Belanda. Diantarnya diawali oleh utusan dari Kerajaan Aceh
Darussalam, dan diteruskan oleh kunjungan-kunjungan kerajaan Islam nusantara
lainnya.
Namun di samping kunjungan itu semua
hanya terbatas pada simbolik atau dukungan yang diberikan oleh para golongan bangsawan
untuk mendukung Belanda.[28]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada masa liberal di Indonesia atau
Politik Pintu Terbuka, Indonesia menjadi tempat penanaman modal oleh
perusahaan-perusahaan swasta, hal ini terjadi dilatarbelakangi oleh kemenangan
yang diraih golongan liberal dalam memperebutkan kursi parlemen Belanda yang
memandang bahwa pemerintah tidak berhak untuk ikut campur dalam kegiatan
ekonomi. Selain itu juga menurunnya efektivitas Tanam Paksa yang dijalankan
oleh pemerintah kolonial.
Dengan diberlakukannya Undang-undang
Agraria di tahun 1870 bersamaan dengan Undang-undang Gula menandakan awal dari
masa liberal di Indonesia. Alih-alih untuk menyejahterakan rakyat, namun yang
didapatkan pada kenyataan rakyat tidak lebih sejahtera dari sebelumnya malahan
rakyat semakin menderita dengan adanya Koelie
Ordonantie dan Poenale Sanctie
yang sangat mengikat.
Sisi positif dari masa ini terdapat
pada pembanguna sarana dan pendidikan walaupun masih sangat terbatas. Dalam
bidang pembangunan untuk pertama kalinya pemerintah kolonial memerhatikan
pembangunan bagi negeri jajahannya dan dengan sangat terpaksa harus mengurung
ambisi mereka dalam menjalankan Batig Slot,
walaupun ditujukan kepada pabrik-pabrik tidak dapat dipungkiri bahwa rakyat
juga ikut menikmatinya, selain itu dalam bidang pendidikan juga mulai
didirikannya beberapa lembaga pendidikan guna mencetak seorang pegawai yang
bergaji rendah. Pada masa ini juga untuk pertama kalinya penduduk pribumi
datang ke negeri Belanda untuk belajar, hal ini yang menjadi cikal bakal dari
rasa nasionalisme kebangsaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Poeze, A. Harry. (2014). DI NEGERI PENJAJAH. Cet. II,
diterjemahkan oleh: Haziel dan Toer.
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Poesponegoro, Marwati Djoened., Nugroho
Notosusanto. (1993). SEJARAH NASIONAL INDONESIA IV. Cet. VII.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Ricklefs, M.C., et,al. (2013). SEJARAH ASIA
TENGGARA. Cet. I, diterjemahkan oleh :
Komunitas Bambu. Jakarta: Komunitas Bambu.
Sudirman., et, al. (2007). SEJARAH PELABUHAN ULEE LHEUE. Banda Aceh:Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional.
B. Makalah
Rajagukguk, Erman. (2007). “INDONESIA: HUKUM TANAH PADA MASA PENJAJAHAN”. Makalah pada seminar
Antar Bangsa. “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi: Pengalaman
Malaysia dan Indonesia”, Dewan
Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia.
C. Internet
Pratiwi., et, al, “Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka”, diakses 14 Desember 2014 dari situs: http://www.g-excess.com.
[1] Poesponegoro
dan Nugroho., Sejarah Nasional Indonesia
IV., edisi ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 97.
[2] Ricklefs.,
et, al., Sejarah Asia Tenggara.(terjemahan
Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 333.
[3] Poesponegoro dan Nugroho., Sejarah Nasional Indonesia IV., edisi
ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 115.
[4] Ibid.
[5]
Ricklefs., et, al., Sejarah Asia Tenggara.(terjemahan
Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 335.
[6] Poesponegoro dan Nugroho., Sejarah Nasional Indonesia IV., edisi
ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 121.
[7] Ibid, hal. 123
[8] Ibid.
[9]
Ricklefs., et, al., Sejarah Asia Tenggara.(terjemahan
Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 335.
[10] Ibid.
[11] J. S.
Furnivall., dalam Rajagukguk., INDONESIA: HUKUM TANAH DI ZAMAN PENJAJAHAN.,
makalah pada seminar Antarbangsa “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi:
Pengalaman Malaysia dan Indonesia”, Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan
Tamadun Melayu (ATMA)., Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 4-5
Desember 2007, hal. 6.
[12] Ibid.
[13] Stbl.,
dalam Rajagukguk., op, cit, hal. 8-9.
[14]
Pratiwi., et, al. “Pelaksanaan Politik
Pintu Terbuka”, diakses dari http://www.g-excess.com/kebijakan-pemerintah-hindia-belanda-politik-pintu-terbuka.html, pada tanggal 14 Desember 2014.
[15]
Poesponegoro dan Nugroho., Sejarah
Nasional Indonesia IV., edisi ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 145.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid, hal. 132.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hal. 133.
[21]
Sudirman., et, al., SEJARAH PELABUHAN ULEE LHEUE., Banda
Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2007, hal. 11.
[22] Ibid, hal. 12.
[23]
Poesponegoro dan Nugroho., Sejarah
Nasional Indonesia IV., edisi ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 135.
[24] Ibid,
hal. 130.
[25]
Ricklefs., et, al., Sejarah Asia Tenggara.(terjemahan
Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 337.
[26] Poeze.,
DI NEGERI PENJAJAH. (terjemahan Tanzil dan Toer). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2014, hal. 31.
[27] Ibid,
hal. 34.
[28] Untuk
lebih jelas baca: Poeze., DI NEGERI PENJAJAH. (terjemahan Tanzil dan Toer).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014, hal. 1-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar