Tampilkan postingan dengan label Sejarah Asia Tenggara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Asia Tenggara. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Januari 2018

PNI Baru (Partai Nasional Indonesia Baru)

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Segala perasaan yang berabad-abad tidur dalam hati rakyat itu, dan telah dihidup-hidupkan lagi dari jauh oleh Perhimpunan Indonesia, dari dekat oleh PNI sampai jadi kehidupan yang insaf, segala perasaan itu telah bernyala-nyala dengan hebat, bukan saja semasa hidupnya partai itu, tetapi juga sesudah partai itu bubar, tinggal tetap meliputi seluruh lapangan pergerakan. Cita-cita untuk mendapat persatuan dan cita-cita untuk mendapat kemerdekaan Indonesia (keduanya itu merupakan usaha menuju Indonesia merdeka, Indonesia mulia atau Indonesia Raya) terdapat dimana-mana saja.

Pada dasarnya lahirnya PNI Baru adalah usaha untuk menghilangkan ketidakpuasan atas pembubaran PNI dan berdirinya Partindo. golongan yang tidak puas itu berhimpun dalam kelompok Golongan merdeka yang ada di kota-kota besar di Jawa dan Sumatra. Kelompok itu menyebutkan dirinya klub pendidikan Nasional Indonesia yang menekankan pembinaan anggota-anggotanya yang terdidik baik dan berkesadaran politik yang tinggi.

Organisasi persatuan yang bernama Pendidikan Nasional Indonesia ini lahir pada tahun 1933 di Yogya merupakan organisasi yang berdasarkan nasionalisme dan demokrasi. Ia berpendapat, bahwa suatu Tanah Air yang merdeka akan tercapai dengan jalan mendidik Rakyat, menyiapkannya dan menganjurkannya dalam hal kebatinan dan keorganisasian hingga bisa diadakan suatu aksi rakyat  umum berdasarkan demokrasi untuk memperoleh kemerdekaan itu.           










BAB II
PEMBAHASAN



A.  Lahirnya PNI Baru

      Tidak adanya lagi aksi dari PNI (Partai Nasional Indonesia) selama waktu pemeriksaan perkaranya oleh hakim menimbulkan rasa kecewa pada pemimpin-pemimpin rendahan dan anggota-anggotanya yang aktif. Sartono yang pandangannya yang legalistic segera menginstruksikan agar semua kegiatan cabang sementara waktu dihentikan. Bahkan berusaha untk membubarkan PNI serta kemudian mendirikan partai baru. Tindakannya itu dimaksudkan agar dengan identitas baru organisasi baru tidaak menjadi sasaran dan buronan penguasa. Sikap seperti itu dikritik secara pedas oleh Moh. Hatta yang mengatakan bahwa PNI telah bunuh diri sebelum berhadapan benar-benar dengan lawannya.

      Ada sekelompok anggota PNI yang tidak mau mengikuti haluan Sartono, mereka mendirikan studieclub dibeberapa tempat antar lain di Batavia, Bandung, Surabaya, Semarang, Malang dan Palembang. Kemudian mereka mendirikan sendiri Golongan Merdeka, yang kemudian lebih terkenal sebagai PNI Baru.

      Menurut pandangan Moh. Hatta kesimpangsiuran dan kekacauan di kalangan kaum nasionalis adalah adanya manifestasi krisis ideology. Sesungguhnya meskipun gayanya berbeda-beda, isi perjuangan kaum nasionais seharusnya sama, sehingga banyak konflik dapat diatasi. Disinilah sebenarnya letak persatuan dan tidak seperti yang dikonsepsikan Soekarno tentang hakikat organisasi PPPKI. Seperti apa yang kemudian dirumuskan oleh Golongan Merdeka yang kemudian yang terhimpun dengan nama PNI Baru atau Pendidikan Nasional Indonesia ialah bahwa ideology politik harus berdasarkan Kebangsaan dan Kerakyatan (nasionalisme dan demokarasi).     

      Intervensi pemerintah  HB menimbulkan kejutan dikalangan anggota PNI dan banyak menyadari arti kritik yang dilancarkan oleh Moh. Hatta, antara lain politik agitasi lebih mudah dijalankan daripada menyusun organisasi yang baik dan melatih anggotanya untuk menjadi kader politik yang baik. Pidato-pidato yang bekobar-kobar adalah hal yang dangkal dan tidak mempunyai pengaruh mendalam. Pertumbuhan partai lewat partai lewat kaderisasi lebih mantap daripada lewat mobilisasi dan demagogi. Kegiatan kelompok-kelompok kecil lebih terarah pada aktvitas untuk meningkatkan kesejahteraan sosial rakyat, antara lain koperasi, kursus-kursus, dan lain sebagainya. Besarlah kekecewaan dikalangan PNI akan peristiwa intervensi  gubernurmen. Mereka yang tidak ikut ajakan Sartono mulai bergabung dengan nama Golongan Merdeka, antara lain dibawah pimpinan Soejadi. Kemudian terjadi ploriferasi dan di berbagai tempat didirikan perkumpulan-perkumpulan yang akhirnya dapat dihimpun dalam PNI Baru. 


B. Perkembangan
           
            Pada bulan Agustus 1932 Hatta pulang ke Tanah Air setelah sebelas tahun lamanya belajar di Belanda, ia mencoba memepengaruhi gerakan nasionalis dari jauh dan akhirnya ia terjun sendiri dalam gerakan yang diinginkannya. Hatta kemudian memegang pimpinan PNI Baru dan tidak lama kemudian jumlah anggotanya meningkat terutama di Jawa Barat dan di Jawa Timur. Ia membuat kursus kader yang didasarkan pada pamphlet yang ditulisnya sendiri bejudul kearah Indonesia merdeka yang mengambil tekanan pada kedaulatan Rakyat dan Kebangsaan. Ia tidak menghendaki pemerintahan yang di pimpin oleh ninggrat dan cendikiawan yang hanya menyokong dan mengurus kepentingan sendiri, tetapi menghendaki pemerintahan rakyat. Individualisme Barat dipertentangkannya dengan kolektivisme pedesaan. Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah yang ddukung oleh depresi ekonomi menyebabkan PNI Baru banyak mendapat pengikut di Indramayu, Cirebon dan Klaten. Organisasi itu akan membantu rakyat dan menjadi pelindungnya dalam menghadapi ketidakadilan pemerintah.

            Orang sering menyebut bahwa Partindo adalah partainya Soekarno dan PNI Baru partainya Hatta dan Syahrir. Rupanya hal ini dapat dibenarkan karena yang mendominasi partai-partai itu adalah soekarno di satu pihak dan Hatta Syahrir dipihak lain. Soekarno berpendidikan barat dan ia bukan satu-satunya yang berpengaru di Partindo tetapi ada pemimpin lain seperti Ali sastroamijoyo, Sartono, Iskaq, Sayudi, dll. Hatta dan Syahrir jelas berpendidikan barat dan penganut sosialisme dan demokrasi. Dilihat dari golongan social didalam masyarakat maka pemimpin Partindo berasal dari keluarga priyayi dan pemimpin PNI Baru berasal dari perangkat desa dan pegawai rendahan.

1.      Ideologi Politik

Dalam menjalankan sosialisasi politik para pemimpin partai nasionalis sebagai elite modern menghadapi masalah bagaimna mencapai dan memobilisasi massa, mengingat bahwa mereka terpisah oleh jarak sosial dari rakyat. Partindo atau PNI Baru sebagai organisasi nasionalis sekuler membutuhkan ideologi politik yang non religius. Soekarno banyak menyumbangkan konsepsi-konsepsi politik, antara lain konsep marchaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasinya.

Menurut Soekarno jalan untuk menghadapi kolonialisme dengan kapitalismenya tidak lain ialah dengan menggerakkan massa yang paling menderita sebagai korban sistem kolonial itu. Justru dalam hal ini PNI Baru mempunyai strategi yang berlawanan dengan Soekarno. Menurutnya kaderisasi dan pemantapan organisasi merupakan cara yang lebih tepat untuk meningkatkan proses politisasi itu. Strategi ini terbukti efektif sehingga membuat pengikut massa tidak berdaya sedikitpun. Setelah Soekarno dibebaskan tahun 1931, dia kembali terjun kembali ke gelanggang politik menggunakan paham lamanya.

Kekuasaan Partindo berbatas hanya di daerah Jawa saja, khususnya Jawa Barat dan Batavia. Di Jawa Timur sulit untuk dimasuki karena pengaruh PBI lebih besar disana.

Soekarno tampak mengadaptasi ideologi-ideologi Barat dan menerapkannya di Indonesia. Berbeda dengan ideologi sosialisme Hatta dan Sjahrir, menurut mereka perjuangan kaum nasionalis tida berbatas pada perjuangan melawan koloniaslisme Barat tapi juga menentang kaum Feodal dan Borjuis yang bekerjasama dengan kolonial. Perbedaan isi ideologi kedua belah pihak sebenarnya tidak terlalu nampak, tapi yang paling mencolok adalah gaya dan jiwa perjuangannya. Namun kalau diukur dalam jangka pendek, kepemimpinan Soekarno dapat menarik simpati rakyat apalagi anggota PPPKI mempercayakannya memegang peranan di lembaga itu.
Organisasi nonkooperasi masih terbatas perannya di kota-kota di daerah Jawa. Mereka adalah golongan elite antara lain kaum priyayi dan pamong praja (BB) yang sulit menerapkan pengaruhnya di pedesaan. Dipandang dari perspektif sosial, kaum inteligensia yang merupakan kaum elite priyayi dan pamong praja (BB) sulit menyatukan kekuatan untuk melawan kolonial karena perbedaan status sosial.

2.      Masalah Persatuan

Salah satu isu yang sangat berpengaruh terhadap penggalangan persatuan di antara organisasi-organisasi pergerakan nasional pada tahun tiga puluhan ialah sekitar soal konsepsi persatuan itu sendiri. Dalam hal ini yang menonjol ialah perdebatan dan pertentangan pendapar antara Partindo dan PNI Baru atau seperti yang umum digambarkan sebagai pertentangan antara golongan Soekarno dan Hatta seperti yang telah diterangkan di atas. Isu tersebut di atas mulai hangat lagi pada tahun 1932 dan 1933 sewaktu timbul gagasan untuk mempersatukan lagi Partindo dan PNI Baru. Kecuali pertentangan pandangan politik tersebut ketidakserasian hubungan antara pemimpin kedua partai itu merupakan faktor penghambat persatuan. Sjahrir yang sudah ada di Indonesia sejak awal 1932 berusaha keras menjajagi situasi politik untuk dapat mengarahkan PNI Baru.


C.    BERAKHIRNYA MASA NONKOOPERASI

Bagi PNI Baru, akhir yang tragis dari politik agitasi memang dalam kritiknya selalu dibayangkan akan terjadi; maka kejadian-kejadian itu memberi pembenaran bagi strateginya. Meskipun demikian, politik ketat sejak 1 Agustus itu tidak memberi ruang bergerak lagi kepada PNI Baru.

Politik Gubernur Jenderal de Jonge tidak bersifat setengah-setengah; maka dalam bulan Desember 1933 PNI Baru yang menjadi sasaran: Moh. Hatta dan Sjahrir, ditangkap dan PNI Baru dilarang. Dengan tangan besi Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan di HB, dan baginya dibayangkan bahwa dalam masa 300 tahun berikutnya pemerintah itu akan masih tetap tegak berdiri. Politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik nonkooperasi sama sekali.

Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno-menurut dokumen-dokumen arsip kolonial-telah menulis surat kepada pemerintah HB sapai empat kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang kesemuanya memuat pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi, bahkan selanjutnya tidak lagi akan melakukan kegiatan politik. Sudah barang tentu itu menggemparkan kalangan kaum nasionalis serta menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada yang penuh keheranan atau kekecewaan, adapula yang merasa jengkel atas perubahan sikap yang terbalik 180 derajat itu.

Terlepas dari berbagai tafsiran itu rupanya aliran nonkooperasi tidak berdaya lagi, lebih-lebih karena salah seorang perintis dan pelopornya telah mengingkari sendiri siap politik itu.
Pembuangan Soekarno ke Digul diperkirakan membawa risiko karena dapat mempengaruhi bekas anggota PKI yang dalam jumlah besar ada di sana. Akhirnya dipilih Flores sebagai tempat pembuangannya. Soekarno diberangkatkan pada Februari 1934.

Meskipun PNI Baru tidak menjalankan politik agitasi dan aksi massa, namun hubungannya dengan golongan komunis di Belanda dipakai sebagai alasan untuk menahan Hatta, Sjahrir, dan anggota Badan Pekerja PNI Baru dalam bulan Desember.





BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Hanyalah dengan usaha-tenaga rakyat sendiri kemerdekaan akan dapat direbut, maka itu juga untuk kepentingan rakyat itusendirilah kemerdekaan akan tercapai. Jika aksi rakyat umum yang bersifat kebangsaan dan demokrasi itu sudah mematahkan kekuasaan imperialism dan kapitalisme, akan dibangunkan demokrasi (politik) berdasarkan kedaulatan rakyat untuk menggantikan kekuasaan itu dan selain daripada itu akan ditimbulkan demokrasi ekonomi, saling kerja sama dan persamaan hak semua (colectivisme) untuk menggantikan kapitalisme yang sirna itu dan dengan jalan itu akan mestilah kesentosan didapat oleh rakyat.

Kelas-kelas manusia haruslah lenyap dan alat-alt untuk menghasilkan barang-barang (perusahaan-perusahaan produksi) haruslah digenggam oleh Negara. Perjuangan kemerdekaan itu bersifat perjuangan bangsa-bangsa (politik) serta perjuangan kelas-kelas (ekonomi) bersama-sama.













DAFTAR PUSTAKA





Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional.    
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Pringgodigdo, A.K.  1986.  Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.  Jakarta: Dian Rakyat.

Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Belajar.


Senin, 22 Januari 2018

FILSAFAT SEJARAH

BAB I
PENDAHULUAN
1.1            Latar Belakang
     Perkembangan Ilmu Sejarah dewasa sudah cukup baik berkembang seiring dengan pemikiran ilmu sosial lain, banyak di antara ilmuwan yang meragukan tentang pentingnya sejarah dalam kehidupan disamping itu juga terdapat para ilmuwan yang memandang sejarah sebelah mata dengan alasan sejarah merupakan ilmu dengan keobjektifan rendah.
     Munculnya Filsfat Sejarah dengan pemikiran mencari hakikat tentang makna sejarah bagi manusia membuat sejarah semakin mampu menjawab kritikan ilmuwan lain. Banyak filosof memandang untuk memahami manusia maka kita harus memahami sejarah manusia dan berkembanglah pemikiran eksplanasi dan hermeneutika.
     Para tokoh pemikir seperti Ankersmit, Hegel,  dan Colingwood telah membagi-bagi bentuk sejarah. Hal ini membuat sejarah terbagi-bagi dalam beberapa bagian sesuai dengan pendapat para ahli, namun sejarah tetap merupakan kesatuan dan tidak bisa dipisahkan dari manusia.
     Aliran filsafat sejarah spekulatif memandang sejarah sebagai suatu peristiwa, sehingga menimbulkan banyak penafsiran dari para sejarawan dalam menganut pemahaman ini. Sekaligus dipandang sebagai keunikan sejarah sebagai suatu ilmu.
     Terdapat juga aliran filsafat sejarah kritis, yaitu memandang sejarah dari  segi teoritis dan mengutamakan keilmiahan, sehingga ilmu sejarah menemukan cara yang ilmiah guna memenuhi persyaratan sebagai suatu ilmu.
     Pada makalah ini akan difokuskan pembahasan mengenai pemikiran filsafat kritis dalam sejarah.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1            Pengertian
     Filsafat sejarah kritis pada dasarnya mengingin suatu pemahaman bagi seorang peneliti atau pemikir agar Ilmu Sejarah mampu memenuhi syarat suatu ilmu, dapat dikatakan bahwa filsafat sejarah kritis ini merupakan persamaan dari pencarian cara atau metode bagi sejarah.
     Filsafat sejarah kritis, seorang filsuf sejarah kritis meneliti sarana-sarana yang dipergunakan seorang ahli sejarah dalam melukiskan masa silam dengan cara yag dapat dipertanggung jawabkan. Kaitan filsafat sejarah kritis dan pengkajian sejarah , keduanya meneliti secara filsafati bagaimana proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan bagaimana proses itu dapat dibenarkan dari sudut pandang keilmuwan. Dalam pengkajian filsafat sejarah kritis norma dan nilai  dalam tulisan ahli sejarah melekat pada subyektivitas dan obyektivitas dalam pengkajian sejarah.
     Filsafat sejarah kritis memberikan jawaban kepada sejumlah pertanyaan tentang sejarah, pertama, terkait dengan apakah sejarah sebagai ilmu. Hal ini muncul karena adanya aliran positivisme yang mengatakan bahwa peristiwa sejarah tidak dapat dijelaskan dengan merujuk pada hukum-hukum alam, Sejarah memiliki paradigma sendiri dan tidak mengaitkan diri dengan ilmu kealaman. Kedua dan ketiga, sejarah membutuhkan rekonstruksi historis tentang sebuah peristiwa masa lampau yang dibangun diatas fakta sejarah, dasarnya adalah opini atau fakta sejarah yang memerlukan objektivitas dalam analisa sejarah, padahal menurut positivisme sejarah tidak pernah bersifat mutlak melainkan relative. Keempat, apakah hakekat teori-teori dan tafsiran sejarah itu? Ranke katakan, sejarawan tidak lebih melukiskan masa lampau sebagaimana terjadi. Khaldun katakan, sejarah menilai bahwa memihak kepada pendapat-pendapat, tradisi dan budaya tertentu merupakan cacat terhadap karyanya. Kelima, apakah ada yang disebut sebagai hukum-hukum sejarah? John Stuart Mill katakan, bahwa sejarah memiliki hukum-hukum sendiri karena adanya pemahaman yang berbeda dan tidak tunduk kepada hukum alam. Keadaan ini lebih lanjut menuntut sejarah untuk menghidupkan kembali peristiwa masa lampau dengan pemahaman.

2.2            Tujuan Filsafat Sejarah Kritis
     Pada dasar filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang ada di muka bumi, maka sangat tidak mungkin sejarah ketika dikatakan sebagai sebuah ilmu tidak memiliki landasan pemikiran filsafat. Di samping itu untuk mengesahkan sejarah sebagai sebuah ilmu.
     Jika secara implisit dapat kita lihat tujuan dari Filsafat Sejarah Kritis merupakan usaha untuk mendekatkan proses rekonstruksi masa lampau ke arah seobjektif mungkin, sering pula disebut sebagai analitis, skeptis, dan metodelogis. Apa saja yang dibutuhkan dalam mengungkap masa lampau? Inilah yang ingin diberikan atas pemekiran Filsafat Sejarah Kritis.
     Selanjutnya dalam sejarah tidak hanya memerlukan pemikiran kritis, tetapi menjadi pertanyaan bagaimana permasalahan itu bisa disampaikan kepada masyarakat agar bermanfaat. Latief mengatakan perlunya eksplansi, kausalitas, dan hermeneutika dalam penjelasan suatu permasalahan.
     Apa yang ingin disampaikan kepada masyarakat tercapai dengan menggunakan tiga teori di atas, namun tidak menutup kemungkinan dengan teori lain. Filsafat Sejarah Kritis selama ini telah menyumbang banyak hal dalam Ilmu Sejarah.
     Di Indonesia sendiri  penulisan atau histeriografi nasional masih sangat banyak kelemahan. Purwanto pada pidato pengukuhan dirinya sebagai guru besar mengkritik penulisan sejarah indonesia yang kritis dalam mencari kambing hitam di setiap tema kesejarahan. Sehingga Indonesia masih sangat perlu mengembangkan ilmu sejarah demi kepentingan masyarakat. Peran Sejarah bagi masyarakat Indonesia masih jauh dari harapan para perintis sejarah nasional.

2.3            Manusia dan Sejarah
     Manusia merupakan makhluk ciptaan tuhan, menurut Islam manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Sebelumn lebih jauh kita harus memahami definisi manusia, ini merupakan pembahasan menarik dan tidak pernah akan habis. Terjadi ambivalensi antara pendapat para filosof, sesuai dari pengalaman yang didapatkan.
     Untuk mengetahui manusia maka kita harus melihat asal-usul manusia tersebut, dan ini menandakan bahwa manusia sebagai makhluk sejarah. Kita harus membedakan antara sejarah manusia dengan manusia sejarah, karena terdapat subtansi yang berbeda. Pada dasarnya untuk mengerti tentang manusia seseorang harus paham betul mengenai sejarah manusia sendiri. Sehingga sejarah dengan manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
     Menyadari pentingnya sejarah bagi manusia membuat terbentuknya manusia yang sadar sejarah. Maksudnya bukanlah mereka yang banyak mengetahui tentang sejarah, tetapi adalah mereka yang mau belajar sejarah untuk masa depan manusia itu sendiri.



BAB III
KESIMPULAN

3.1            Kesimpulan
   Sejarah sebagai suatu ilmu penting bagi umat manusia, dibutuhkannya pemahaman kritis dalam menulis sejarah, sehingga menjadikan sejarah sebagai sebuah fakta masa lampau yang benar adanya. Kartono Sartodirjo mengatakan sejarah tidak sama dengan sastra. Sejarah merupakan ilmu ilmiah dari hasil interpretasi bukti sejaraha, sedangkan sastra merupakan hasil imajinasi seseorang akan keindahan.
   Perlunya Filsafat Sejarah Kritis dalam keilmuan sejarah untuk mencari jalan keilmiahan sejarah, sehingga muncullah sikap skeptis analitis di sini. Dengan adanya Filsafat Sejarah Kritis membuat sejarah mampu menjawab kritik dari para ahli ilmu lain yang menolak sejarah dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu.


DAFTAR PUSTAKA

Latief, Juraid Abdul. 2013. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: Bumi     Aksara.
Salam, Burhanuddin. 2012. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Herawatu. 2012. Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan dan         Kontribusi Bagi Kajian Sejarah Islam. Yogyakarta: Jurnal        TAQAFIYAT. Vol. 13. No.1.


Jumat, 19 Januari 2018

POLITIK PINTU TERBUKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang dijajah oleh bangsa barat, dalam sejarahnya Indonesia atau sebelum Indonesia disebut Hindia dijajah oleh Belanda. Berawal dari V.O.C~perserikatan dagang Belanda, dilanjutkan oleh pemerintah Inggris dibawah pimpinan Letnan Gebernur Jenderal Thomas Raffles.
            Setelah keluarnya Perjanjian London, maka Indonesia kembali menjadi negeri jajahan Belanda. Pada masa ini Belanda berhasil meredam segala perlawanan dan bahkan memperluas wilayahnya ke seluruh Nusantara. Alih-alih dengan konsep Pax Netherland, Belanda ingin menyatukan seluruh Nusantara dalam satu naungan yaitu Hindia-Belanda. Digantinya Van der Capellen sebagai Gebernur Jenderal, menandakan dimulainya masa yang penuh kesengsaraan terhadap rakyat Hindia-Belanda.
            Van de Bosch diangkat menjadi Gebernur Jenderal, menggantikan Van der Capellen. Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gebernur Jenderal van den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah yang berlangsung.[1] Ketertarikan Pemerintah Belanda untuk mengangkat Van de Bosch karena konsep yang diberikannya cukup sesuai dengan keadaan pada saat itu yang serba kesulitan. Cultuur Stelsel merupakan aturan-aturan dalam perkebunan yang dicetus olehnya guna mengisi kas negara yang kosong, sekarang Cultuur Stelsel bagi Bangsa Indonesia lebih dikenal sebagai Tanam Paksa yang diwajibkan kepada seluruh penduduk Hindia Belanda.
            Sebagai pengganti pajak tanah (‘sewa tanah’) yang tidak lagi dapat diandalkan, pemerintah kolonial meminta para peduduk desa di Jawa menanam produk-produk pertanian~terutama kopi, gula, dan indigo~untuk dijual di pasar Internasional melalui Amsterdam.[2]
Ciri pokok dari sistem Tanam Paksa adalah pemungutan pajak dari rakyat Indonesia dalam bentuk hasil-hasil pertanian rakyat.[3] Cultuur Stelsel membuat Belanda dapat membangun kembali negerinya yang telah hancur pasca keruntuhan Republik Bataaf. Karena kebijakan ini terlalu menyiksa rakyat maka mulai muncul pihak pro dan kontra baik di negeri jajahan maupun di dalam parlemen Belanda terhadap kebijakan ini.
            Diawali oleh seorang pegawai Belanda yang bernama Douwes Dekker,  dengan menggunakan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul Max Havelaar. Selain itu juga terdapat sebuah pamflet dengan slogan Suiker Contracten berasal dari seorang pemilik perkebunan bernama Fransen van der Putte. Di negeri Belanda sendiri muncul berbagai pertentangan dalam parlemen antara golongan liberal dengan golongan konservatif. Dalam pada itu beberapa tokoh Belanda menentang Tanam Paksa dan menganjurkan pembukaan Indonesia untuk usaha swasta, seperti Baron van Hoevell, Vitalis, dan lainnya, berkeyakinan bahwa perkembangan usaha swasta Belanda akan meningkatkan tingkat kemakmuran rakyat Indonesia.[4]
            Perdebatan ini dimenangkan oleh kaum liberal, sehingga pada tahun 1865 secara bertahap Cultuur Stelsel atau Tanam Paksa mulai dihapuskan di Hindia Belanda. Pada 1870 dikeluarkannya aturan Agrarische Wet atau Undang-undang Agraria, membuat Hindia-Belanda terbuka bagi seluruh perusahaan yang ingin menginvestasikan sahamnya.  Masa inilah yang akan menjadi fokus pembahasan kita, dimana Indonesia pada masa itu memasuki era baru dalam sejarah kolonialnya, yaitu Politik Pintu Terbuka atau Masa Liberal.
            Pada tahap awal dalam propaganda, golongan liberal sangat berkeyakinan dapat memperbaiki kehidupan rakyat yang sangat sengsara, namun dalam kenyataannya kebijakan mereka tidak kurang sengsaranya bagi rakyat, walaupun data menunjukkan terjadi peningkatan kelahiran pada rakyat terutama di Pulau Jawa. Kebijakan ini menjadikan rakyat tertekan langsung oleh para penjajah dan penanam modal, banyak di antara mereka yang tertipu dengan kontrak kerja, sehingga mereka terpaksa untuk terus menjadi kuli pabrik.

1.2. Rumusan Masalah
1.      Apa yang menyebabkan dihapuskannya Cultuur Stelsel ?
2.      Bagaimana proses yang dilakukan untuk membuka Hindia-Belanda bagi pengusaha asing ?
3.      Jelaskan implementasi terhadap kebijakan Politik Pintu Terbuka ?
4.      Dampak yang diakibatkan oleh kebijakan Politik Pintu Terbuka terhadap rakyat ?

1.3. Tujuan
1.      Dapat memahami pengertian dari kebijakan Politik Pintu Terbuka.
2.      Dapat membedakan antara kebijakan Cultuur Stelsel dengan kebijakan Politik Pintu Terbuka.
3.      Agar mampu menjelaskan perkembangan pemerintahan kolonial Belanda di Hindia-Belanda.
4.      Memenuhi tugas perkuliahan Sejarah Abad II.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Azas-azas Liberalisme
            Liberalisme merupakan suatu paham yang menginginkan kebebasan dalam melakukan segala hal. Isme ini pertama kali muncul ketika meledaknya Revolusi Perancis, ketika menggulingkan Raja Louis. Alih-alih untuk menyebarkan ideologi negaranya, Perancis terlibat dalam Perang Koalisi pasukan Eropa. Selanjutnya paham ini terus berkembang ke Eropa, terutama Eropa Barat, ketika lahirnya sebuah penemuan  mesin uap oleh James Watt maka dimulailah Revolusi Industri di Inggris.
            Awalnya paham ini hanya terbatas pada bidang kepemerintahan dan kehidupan~setiap individu memiliki kebebasan dalam menjalani hidupnya. namun dengan lahirnya Revolusi Industri dilengkapi dengan berbagai temuan mesin yang bisa memproduksi barang lebih banyak dari hasil tangan manusia, sehingga lahirlah berbagai kota industri di Inggris. Di samping itu paham liberal juga ikut serta dalam perekonomian. Alih-alih agar dapat menguasai seluruh perdagangan para pengusaha melakukan protes terhadap keterlibatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi, di samping itu mereka juga mengikut sertakan teori Adam Smith untuk memudahkan jalan mereka menguasai perdagangan.
            Di sini pemerintah hanya berperan sebagai pengontrol jalannya ekonomi, pemerintah dilarang untuk ikut campur dalam perekonomian. Tidak lama kemudian paham ini terus menjalar ke seluruh Benua Eropa, termasuk Belanda. Pada saat pesatnya perkembangan paham liberal di negeri Belanda, bersamaan dengan pelaksanaan Cultuur Stelsel, sedikit demi sedikit pihak liberal mulai menunjukkan konsistensinya dalam parlemen Belanda. Munculnya berbagai kecaman dari golongan humanis, salah satunya dengan karangan Multatuli yaitu Max Havelaar. Novel ini mengungkapkan korupsi dan eksploitasi masyarakat Jawa.[5] Menjadi angin segar yang dimanfaatkan oleh golongan liberal menentang golongan konservatif. Ketika orang-orang liberal mencapai kemenangan politik di negeri Belanda (setelah tahun 1850) mereka mencoba menerapkan azas-azas liberalisme di koloni-koloni Belanda khususnya di Indonesia, sedikit-dikitnya di wilayah-wilayah yang berada di dalam kekuasaan mereka.[6]
            Orang-orang liberal berkeyakinan bahwa perkembangan ekonomi yang pesat yang dicetuskan oleh kegiatan usaha swasta akan membawa kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia tanpa tindakan khusus dari pihak pemerintah Hindia Belanda.[7] Satu-satunya tindakan yang diperlukan adalah memberikan perlindungan dasar kepada orang-orang Indonesia agar kedudukan lemah mereka tidak disalah gunakan sehingga merugikan kepentingan-kepentingan mereka, perlindungan dasar ini adalah Undang-undang Agraria dari tahun 1870 yang menegaskan hak milik penduduk pribumi atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik ini kepada orang-orang bukan Indonesia.[8] Berbagai pertentangan terus terjadi di dalam parlemen Belanda, kaum liberal terus berusaha untuk meyakinkan pemerintah, dengan diterapkannya sistem liberal, maka akan berdampak pada sistem ekonomi yang positif.
Di samping itu kebijakan sebelumnya yaitu Cultuur Stelsel terus menunjukkan penurunan produktifitas akibat terkurasnya tenaga penduduk yang berdampak pada peningkatan angka kematian, terutama pada masyarakaat Jawa. Di sini kita dapat melihat, seakan-akan kaum liberal ingin memperbaiki kehidupan rakyat Hindia-Belanda yang terkuras habis pada masa Tanam Paksa. Alih-alih dari semua itu nyatanya ini hanya intrik yang digunakan dalam politik untuk mendapatkan kekuasaan dalam bidang ekonomi.
Walaupun kaum liberal Belanda terus mengecam kebijakan Tanam Paksa, terdapat kesamaan antara kaum liberal dan konservatif yaitu mereka tetap memandang kawasan Hindia-Belanda sebagai suatu wilayah yang dapat memberikan hasil bagi mereka, dengan kata lain mereka~kaum liberal~ingin kawasan Hindia-Belanda sebagai ajang untuk mencari untung bagi pihak-pihak swasta atau golongan pengusaha.
Selanjutnya, kedua belah pihak juga sama-sama ingin mempertahankan politik Batig Slot yaitu bagaimana caranya agar kawasan Hindia-Belanda dapat memberikan keuntungan atau surplus bagi negara induk semaksimal mungkin. Batig Slot sangat berguna bagi Belanda, selain dapat membangun negaranya juga dapat membangun perekonomian masyarakat Belanda. Walaupun nanti di akhir masa liberal Batig Slot mulai dihapuskan karena Pemeintah Belanda dengan sangat terpaksa harus mengeluarkan biaya untuk membangun sarana penunjang perusahaan-perusahaan besar yang terletak di daerah pedalam, seperti rel kereta api.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria dan Undang-undang Gula pada 1870, Jawa mulai dibuka untuk perusahaan swasta. Maka, dimulailah periode Liberal (1870-1900).[9] Secara bertahap Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel pada tahun 1865 dihapus, dan pada tahun 1920 dapat dipastikan Tanam Paksa benar-benar telah dihapus. Monopoli pemerintah terhadap tanaman ekspor secara bertahap dihapuskan sejak 1860-an, pertama-tama terhadap tanaman yang tidak menguntungkan dan terakhir tebu (akhirnya berakhir pada 1890) dan kopi (daerah terakhir yang menerapkan tanam paksa kopi baru ditutup pada 1919).[10]

2.2. Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda Pada Masa Liberal
            Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa diawalinya liberalisme di Hindia-Belanda ditandai dengan penetapan kebijakan Undang-undang Agraria pada tahun 1870. Adapun kebijakan tersebut sebagai berikut:
1.      Agrarische Wet
Salah satu masalah yang dihadapi adalah bagaimana membuka pulau Jawa untuk investor swasta. Pada tahun 1854 lahir Regerings Reglement yang memungkinkan tanah disewa oleh pihak swasta. Pasal 62 dari peraturan ini berbunyi :
a.       Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
b.      Larangan ini tidak termasuk bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan kota-kota atau desa-desa.
c.       Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan undang-undang yang nanti akan dikeluarkan. Ini tidak meliputi tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia asli atau tanah milik bersama dan tanah lain milik desa.[11]
            Namun kebijakan ini menuai pertentangan di dalam parlemen. Pasal 62 Regering Reglement tidak memuaskan para pemilik modal sebab peraturan yang dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk disewa tetapi untuk tidak lebih dari dua puluh tahun. Jangka waktu tersebut dipandang tidak cukup untuk tanah sewa agar dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Lagi pula, tanah yang tersedia terletak di wilayah pedalaman dimana tenaga kerja tidak cukup tersedia. Kaum pemodal meneruskan usaha mereka untuk memperoleh tanah dengan menciptakan hukum agraria yang baru.[12]
            Akibatnya pemerintah harus menggantikan undang-undang ini. Pada tahun 1870 maka diterbitkan Undang-undang Agraria yang menjadi pasal 51 the wet op Staatsinrichting van Nedherlands Indie (konstitusi Hindia-Belanda):
a.       Gebernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
b.      Larangan ini tidak berlaku bagi bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota atau desa atau untuk pendirian perusahaan-perusahaan komersial (bukan pertanian dan kerajinan).
c.       Gebernur Jenderal boleh menyewakan tanah sesuai dengan undang-undang. Hak ini tidak berlaku bagi tanah yang telah dibuka oeh penduduk asli atau terhadap yang biasanya digunakan untuk pengembalaan atau meliputi wilayah perbatasan desa untuk maksud-maksud lainnya.
d.      Sewa menurut hukum dapat sampai masa 75 tahun.
e.       Dalam memberikan hak sewa sedemikian itu, Gebernur Jenderal akan menghormati hak-hak tanah penduduk asli.
f.       Gebernur Jenderal tidak dapat menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli, atau tanah yang biasa digunakan untuk pengembala, atau tanah yang termasuk wilayah perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali : untuk tujuan-tujuan kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat diberikan.
g.      Tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk asli dapat diberikan pada mereka berdasarkan hak eigendom (hak milik), termasuk hak untuk menjual kepada pihak lain, penduduk asli atau bukan penduduk asli.
h.      Sewa tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai dengan Undang-Undang.[13]

2.      Suiker Wet
            Suiker Wet merupakan undang-undang yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1870 untuk membebaskan para pengusaha dalam menguasai perusahaan gula yang dimonopoli oleh pemerintah, karena pada saat itu gula merupakan barang yang paling diincar di daratan eropa selain kopi. Berikut isi dari Undang-undang Gula, di antaranya:
a.       Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap.
b.      Pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah diambil oleh pihak swasta.
c.       Sewa hanya dapat dilakukan antara satu sampai dua tahun.
d.      Uang sewa sebesar hasil dari satu kali panen, kalau tanah itu dikerjakan oleh petani.
e.       Investor asing wajib mengadakan perjanjian langsung atau kontrak dengan petani.[14]
3.      Agrarische Besluit
            Agrarische Besluit merupakan peraturan yang ditetapkan oleh raja Belanda, undang-undang ini diatur guna menjelaskan hal yang lebih spesifik terhadap Agrarische Wet, Undang-undang Agraria atau Agrarische Wet hanya menetapkan hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan  Agrarische Belsuit mengatur lebih terperinci tentang hak dan status kepemilikan tanah.
4.      Koelie Ordonantie
            Lahirnya kebijakan Koelie Ordonantie atau kontrak kerja yang dilakukan oleh pemerintah karena pembukaan lahan tembakau di Sumatra Timur yang dicetuskan pertama kali oleh Jacobus Nienhuys. Pada masa itu kawasan ini merupakan kawasan yang sedikit penduduk, ditambah lagi Belanda belum terlalu memperhatikan kawasan ini.
            Tembakau yang berasal dari Deli, Sumatra Timur, terkenal dengan kualitasnya namun pada saat itu kabar tentang tembakau Deli hanya terbatas pada pedagang-pedagang Arab di Penang dan Sumatra. Alih-alih untuk mendapatkan keuntungan yang besar, Nienhuys ingin membuka lahan di Deli.
            Untuk membuka lahan tersebut, Nienhuys membutuhkan banyak pekerja namun untuk mendapatkan tenaga pekerja Nienhuys harus mengirim orang-orang Cina yang berada di Malaya untuk bekerja di tempatnya, alih-alih untuk mendapatkan keuntungan yang besar, perlakuan terhadap para pekerja sangat semena-mena, selanjutnya juga sangat banyak pekerja yang tidak ahli dalam menjalankan tuganya. Ditambah lagi dengan keengganan para penduduk untuk bekerja di pabrik membuat para pekerja melarikan diri.
            Untuk mencegah larinya para pekerja dari pabrik-pabrik swasta, maka pemerintah menetapkan aturan-aturan yang mengatur tentang kontrak kerja. Penggunaan pekerja kontrak sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur mulai dilakukan sejak maraknya perkebunan tembakau tahun 1863. Sistem pekerja kontrak menjadi sistem yang relatif populer di kalangan pengusaha (planters). Sebagian besar pekerja perkebunan di Sumatera Timur merupakan pekerja kontrak, dan selebihnya adalah pekerja bebas. Pekerja yang terikat kontrak biasanya berasal dari Cina, Jawa, dan India (Keling). Sementara itu pekerja lepas berasal dari penduduk setempat, seperti suku Batak dan Melayu. Dalam tahun 1888 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kerja kuli kontrak di Sumatra Timur yang disebut (Koeli Ordonnantie).[15]
            Untuk memberi kekuatan pada pada peraturan-peraturan dalam Koelie Ordonnantie, dimasukkan pula hukuman-hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran, baik daari pihak majikan maupun pihak pekerja.[16] Setelah habis masa kontraknya sebagian besar pekerja kembali ke daerah asalnya. Beberapa di antara para pekerja ada yang selamat tanpa menghabiskan uang simpanannya di pesta pasar malam. Banyak para pekerja yang melarikan diri karena tidak tahan menderita. Sebagian lainnya menetap di beberapa daerah di Sumatera, karena mereka tidak punya ongkos kembali pulang ke daerah asalnya.
5.      Poenale Sanctie
            Poenalie Sanctie merupakan aturan yang diberlakukan dalam Koelie Ordonantie, yaitu berupa bermacam sistem penyiksaan yan diberlakukan terhadap para pekerja yang melanggar aturan. Ancaman yang dapat dikenakan pada pekerja-pekerja perkebunan yang melanggar ketentuan-ketentuan kontrak kerja kemudian terkenal sebagai Poenale Sanctie. Poenale Sanctie membuat ketentuan-ketentuan bahwa pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan-perkebunan Sumatra Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan dengan kekerasan jika mereka mengadakan perlawanan.[17]



2.3. Dampak Dari Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda
1.      Pembangunan Prasarana
            Pada masa liberal, pemerintah menetapkap kebijakan-kebijakannya baik di negerinya sendiri maupun pada negeri jajahan, sehingga memberikan dampak terhadap kelangsungan kehidupan rakyat terutama dalam perekonomian. Pemerintah berusaha untuk melancarkan jalannya perekonomian di Indonesia yaitu melalui pembangunan berbagai sarana. Salah satu prasarana yang terpenting dalam hal ini adalah waduk-waduk dan saluran-saluran irigasi untuk meningkatkan produktivitas.[18]
            Di samping itu dengan melakukan pembangunan fisik di negeri jajahan salah satunya Indonesia maka surplus yang didatangkan kepada negeri Belanda menjadi berkurang, dan ini merupakan awal dari penghapusan Batig Slot. Di samping pembangunan-pembangunan sarana-sarana irigasi, selama masa ini pemerintah kolonial juga giat membangun jalan-jalan raya, jaringan kereta api, dan jembatan-jembatan.[19]
            Jalan-jalan rel kereta api pertama dibangun antara Semarang dan daerah Kesultanan (Vorstenlanden) serta antara Batavia dan Bogor.[20] Namun pembangunan terjadi tidak hanya di pulau Jawa, di Aceh pada masa ini masih dalam periode penaklukan, alih-alih untuk mendapatkan niat baik, Belanda melakukan pembangunan di Aceh. Pada kenyataannya hal ini didorong oleh faktor ekonomi Belanda dan sistem pertahanan Belanda di wilayah Aceh. Berdasarkan surat keputusan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 26 Juni 1874 Nomor 4 di pantai Ulee Lheue  dibangun dermaga yang bahan-bahannya dibuat dari tiang-tiang kokoh.[21] Jalan rel kereta api Ulee Lheue sepanjang 5 km dibuka untuk lalu lintas umum pada 12 November 1876.[22]
            Selain itu, pemerintah kolonial juga harus melakukan pembangunan dalam masyarakat, karena pada saat itu semakin banyak pegawai yang diperlukan seiring dengan bertambahnya perusahaan-perusahaan dan badan-badan dalam pemerintahan. Mereka memerlukan banyak pegawai namun dapat digaji rendah. Baru selama zaman liberal sistem pendidikan bagi penduduk Indonesia mengalami perkembangan yang lebih pesat, suatu hal yang memang mencerminkan sikap kaum liberal mengenai pentingnya penyebaran pendidikan bagi kalangan masyarakat luas.[23]
            Namun pada masa ini pendidikan yang diberikan masih sangat terbatas pada kaum bangsawan, karena pemerintah kolonial masih sangat berberat hati untuk mengurangi saldo keuntungan mereka, di samping itu juga pada akhir abad ke-19 banyak tanaman yang menjadi andalan ekspor Belanda mengalami penurunan harga di pasaran dunia.

2.      Kehidupan Rakyat Pribumi
            Dampak yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial terlihat jelas dari pemaparan di atas, kita dapat melihat walaupun secara tertulis kebijakan ini sangat logis namun sangat jauh berbeda dari kenyataan yang didapatkan di lapangan. Pada saat diberlakukannya Agrarische Wet banyak penduduk yang terpaksa menyewakan tanahnya kepada pengusaha yang dipaksa oleh pemerintah, selanjutnya akibat dari penetapan harga sewa tanah yang tidak mencukupi biaya hidup mereka, dengan terpaksa penduduk harus bekerja di pabrik-pabrik.
            Alih-alih untuk mencukupi penghidupan mereka malah menjadi malapetaka bagi rakyat dengan penetapan Koelie Ordonanti dan Poenale Santci, maka mereka terus terikat dalam kebijakan-kebijak pemerintah, munculnya sebutan lintah darat pada masa ini yang banyak dipraktekkan oleh para pencari tenaga pekerja di pabrik-pabrik membuat rakyat semakin menderita. Selain itu, kita juga dapat melihat dari data yang menunjukkan peningkatan angka kelahiran terutama di pulau Jawa namun ini hanya pada masa awal kebijakan liberal di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa pada masa Politik Pintu Terbuka yang sangat merasakan penderitaan akibat penjajahan adalah penduduk pulau Jawa.
            Selama abad ke sembilanbelas pemerintah Hindia Belanda menganut politik tidak campur tangan (onthoudings politiek) terhadap daerah-daerah luar Jawa yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagai akibat politik ini, beban finansial untuk memerintah daerah ini, walaupun secara tidak langsung, terpaksa ditanggung oleh Jawa, hal mana berarti bahwa penduduk Jawalah yang harus menanggung segala beban untuk mengatur dan memerintah daerah-daerah koloni di luar Jawa. Dengan demikian dana-dana yang tersedia dari penghasilan expor tanaman-tanaman Jawa tidak dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kesejahteraan penduduk Jawa sendiri, akan tetapi untuk membiayai pemerintahan daerah-daerah koloni di luar Jawa.[24]
            Dalam pembangunan prasarana fisik guna mendukung kegiatan perekonomian, pemerintah banyak merekrut para penduduk untuk kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memperkecil pengeluaran kas Belanda. Di Sumatra Timur juga merupakan salah satu contoh kawasan yang menjadi pusat penderitaan rakyat yang bekerja di pabrik-pabrik. Banyak dari mereka yang disiksa dengan berbagai hukuman. Hanya sedikit dampak positif yang didapatkan pada masa liberal, salah satunya dalam bidang pendidikan dan ini juga masih sangat terbatas, kecuali bagi para penduduk asing yang mendirikan sekolah sendiri seperti orang-orang Cina. Pada masa ini rakyat langsung terlibat dalam kegiatan ekonomi kolonial dan di bawah perintah Belanda, hal ini sangat berbeda pada masa sebelumnya dimana raja yang selalu ditekan oleh Belanda, pada masa ini rakyatlah yang menjadi korban utama dari kebijakan Belanda.
            Namun, hal paling menakjubkan tentang Indonesia adalah begitu sedikitnya orang Eropa di sana~dan begitu suksesnya mereka memerintah serta mengeksploitasi jutaan orang Indonesia. Mereka berhasil karena didukung keunggulan teknologi Eropa dan abad ke-19 menjadi tanda pranasionalis. Kala itu, belum tumbuh semangat ke-Indonesiaan atau gagasan bahwa masyarakat Indonesia dapat bersatu untuk melawan kekuasaan Eropa.[25]

2.4. Kedatangan ke Negeri Belanda
            Pada masa liberalisme di Indonesia yang diterapkan oleh Belanda, dalam bidang sosial Belanda mulai membuka pandangannya terhadap masyarakat kolonial, sehingga memberi kesempatan tehadap penduduk pribumi untuk berkunjung ke negeri Belanda walaupun masih sangat terbatas, namun yang sangat penting di sini adalah mulai terjalin suatu kontak yang terbuka antara negeri penjajah dengan negeri yang dijajah.
            Selanjutnya dampak yang ditimbulkan oleh kontak ini dapat kita lihat dari dua sudut, pertama kita dapat melihat dampak yang ditimbulkan terhadap penduduk pribumi, di sini mereka mulai mengenal hal-hal baru salah satunya yang sangat penting adalah rasa nasionalisme yang mulai sedikit demi sedikit berkembang walaupun sangat terbatas, kedua dari pemerintah kolonial, mereka semakin sadar akan penduduk pribumi yang unik sehingga di negeri Belanda diadakan suatu pameran kebudayaan negeri jajahan terutama kebudayaan Jawa. Ini juga mencerminkan azas-azas dari sistem politik liberal yang dijalankan oleh Belanda di Indonesia, dimana keterbukaan yang dilakukan oleh pihak Belanda, namun dalam beberapa sisi masih terdapat diskriminasi bagi penduduk pribumi.
            Sasrokartono ialah orang pertama dalam rombongan Indonesia yang datang ke negeri Belanda untuk belajar.[26] Sarokartono merupakan abang kandung dari R.A. kartini yang meninggal saat melahirkan anaknya. Selanjutnya terdapat Abdul Rivai, seorang yang lahir di Sumatra Barat. Rivai bekerja pada pemerintah Belanda. Ia menempuh pendidikan dokter Jawa dan memperoleh diploma tahun 1894, lalu di tempatkan di Deli sebagai dokter pemerintah.[27] Rivai adalah seorang yang sejatinya penulis, dia pergi ke negeri Belanda setelah mengumpulkan gajinya. Di Belanda, Rivai mulai menulis berbagai artikel yang memuat tentang penduduk pribumi dan Rivai juga menjadi orang Indonesia pertama yang mencetuskan penyatuan terhadap negeri Belanda dengan Hindia-Belanda, dalam beberapa artikelnya dalam surat kabar Wolanda, Rivai mengubah kata “penjajah” menjadi “toeannja”. Pada masa inilah berbagai ide dan gagasan untuk suatu konsep bangsa lahir, akibat terjadi kontak yang terbuka antara negeri terjajah dan negeri penjajah yang mendorong terciptanya rasa nasionalisme Indonesia dalam pelaksanaan Politik Etis.
            Jika melihat jauh lebih ke belakang sebelum masa liberal juga terdapat rombongan-rombongan pribumi yang melakukan kunjungan ke negeri Belanda. Diantarnya diawali oleh utusan dari Kerajaan Aceh Darussalam, dan diteruskan oleh kunjungan-kunjungan kerajaan Islam nusantara lainnya.
            Namun di samping kunjungan itu semua hanya terbatas pada simbolik atau dukungan yang diberikan oleh para golongan bangsawan untuk mendukung Belanda.[28]   


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Pada masa liberal di Indonesia atau Politik Pintu Terbuka, Indonesia menjadi tempat penanaman modal oleh perusahaan-perusahaan swasta, hal ini terjadi dilatarbelakangi oleh kemenangan yang diraih golongan liberal dalam memperebutkan kursi parlemen Belanda yang memandang bahwa pemerintah tidak berhak untuk ikut campur dalam kegiatan ekonomi. Selain itu juga menurunnya efektivitas Tanam Paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial.
            Dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria di tahun 1870 bersamaan dengan Undang-undang Gula menandakan awal dari masa liberal di Indonesia. Alih-alih untuk menyejahterakan rakyat, namun yang didapatkan pada kenyataan rakyat tidak lebih sejahtera dari sebelumnya malahan rakyat semakin menderita dengan adanya Koelie Ordonantie dan Poenale Sanctie yang sangat mengikat.
            Sisi positif dari masa ini terdapat pada pembanguna sarana dan pendidikan walaupun masih sangat terbatas. Dalam bidang pembangunan untuk pertama kalinya pemerintah kolonial memerhatikan pembangunan bagi negeri jajahannya dan dengan sangat terpaksa harus mengurung ambisi mereka dalam menjalankan Batig Slot, walaupun ditujukan kepada pabrik-pabrik tidak dapat dipungkiri bahwa rakyat juga ikut menikmatinya, selain itu dalam bidang pendidikan juga mulai didirikannya beberapa lembaga pendidikan guna mencetak seorang pegawai yang bergaji rendah. Pada masa ini juga untuk pertama kalinya penduduk pribumi datang ke negeri Belanda untuk belajar, hal ini yang menjadi cikal bakal dari rasa nasionalisme kebangsaan Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

A.  Buku-buku
Poeze, A. Harry. (2014). DI NEGERI PENJAJAH. Cet. II, diterjemahkan oleh:      Haziel dan Toer. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Poesponegoro, Marwati Djoened., Nugroho Notosusanto. (1993). SEJARAH          NASIONAL INDONESIA IV. Cet. VII. Jakarta: Departemen Pendidikan           dan Kebudayaan.
Ricklefs, M.C., et,al. (2013). SEJARAH ASIA TENGGARA. Cet. I, diterjemahkan oleh : Komunitas Bambu. Jakarta: Komunitas Bambu.
Sudirman., et,  al. (2007). SEJARAH PELABUHAN ULEE LHEUE. Banda           Aceh:Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.
B.  Makalah
Rajagukguk, Erman. (2007). “INDONESIA: HUKUM TANAH PADA MASA         PENJAJAHAN”. Makalah pada seminar Antar Bangsa. “Tanah   Keterhakisan Sosial dan Ekologi: Pengalaman Malaysia dan Indonesia”,            Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia.
C.  Internet
Pratiwi., et, al, “Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka”, diakses 14 Desember 2014    dari situs: http://www.g-excess.com.
           




[1] Poesponegoro dan Nugroho., Sejarah Nasional Indonesia IV., edisi ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 97.
[2] Ricklefs., et, al., Sejarah Asia Tenggara.(terjemahan Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 333.
[3] Poesponegoro dan Nugroho., Sejarah Nasional Indonesia IV., edisi ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 115.
[4] Ibid.
[5] Ricklefs., et, al., Sejarah Asia Tenggara.(terjemahan Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 335.
[6] Poesponegoro dan Nugroho., Sejarah Nasional Indonesia IV., edisi ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 121.
[7] Ibid, hal. 123
[8] Ibid.
[9] Ricklefs., et, al., Sejarah Asia Tenggara.(terjemahan Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 335.
[10] Ibid.
[11] J. S. Furnivall., dalam Rajagukguk., INDONESIA: HUKUM TANAH DI ZAMAN PENJAJAHAN., makalah pada seminar Antarbangsa “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi: Pengalaman Malaysia dan Indonesia”, Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA)., Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 4-5 Desember 2007, hal. 6.
[12] Ibid.
[13] Stbl., dalam Rajagukguk., op, cit, hal. 8-9.
[14] Pratiwi., et, al. “Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka”, diakses dari http://www.g-excess.com/kebijakan-pemerintah-hindia-belanda-politik-pintu-terbuka.html, pada tanggal 14 Desember 2014.
[15] Poesponegoro dan Nugroho., Sejarah Nasional Indonesia IV., edisi ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 145.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid, hal. 132.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hal. 133.
[21] Sudirman., et, al., SEJARAH PELABUHAN ULEE LHEUE., Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2007, hal. 11.
[22] Ibid, hal. 12.
[23] Poesponegoro dan Nugroho., Sejarah Nasional Indonesia IV., edisi ke-4. Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993, hal. 135.
[24] Ibid, hal. 130.
[25] Ricklefs., et, al., Sejarah Asia Tenggara.(terjemahan Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 337.
[26] Poeze., DI NEGERI PENJAJAH. (terjemahan Tanzil dan Toer). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014, hal. 31.
[27] Ibid, hal. 34.
[28] Untuk lebih jelas baca: Poeze., DI NEGERI PENJAJAH. (terjemahan Tanzil dan Toer). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014, hal. 1-27.