KATA PENGANTAR
Aceh merupakan salah satu bagian
dari Provinsi NKRI. Dalam sejarahnya Aceh dipenuhi dengan berbagai warna, masa
Kerajaan Aceh di bawah Iskandar Muda, masyarakat Aceh mencapai kejayaannya hal
itu terus menurun setelah kepergian sang sultan hingga kedatangan penjajah
Belanda ke Aceh pada 1873. Aceh dalam mengisi kemerdekaan Indonesia memainkan
peran yang sangat penting dan menjadi daerah modal.
Pasca kemerdekaan Aceh dilanda
situasi tidak menentu, berbagai pergerakan lahir dari DI/TII dan diteruskan
oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Dr. M. Isa Sulaiman dalam bukunya yang
berjudul Aceh Merdeka berusaha menjelaskan kepada pembaca bagaimana GAM ini
lahir yang disebabkan oleh berbagai faktor dimulai dari keadaan politik dalam
negeri yang tidak menentu ditambah lagi dengan kesenjangan yang terjadi di
dalam wilayah Aceh yang sangat kaya akan SDA, di samping itu juga terdapat kaum
cendikiawan yang berfikir kritis terhadap keadaan masyarakat dan juga tanggapan
pemerintah yang seakan-akan mengabaikan suara rakyat Aceh yang menyebabkan
timbullah sebuah ide pergerakan yang dipelopori oleh Hasan Di Tiro. Hasan Di
Tiro merupakan pengikut Daud Bereueh dalam gerakan DI/TII. Alih-alih mengungkit
sejarah keturunan Tiro, Hasan Di Tiro mampu menampilkan dirinya sebagai penerus
perjuangan rakyat Aceh yang dijajah oleh Jakarta-Jawa. Selanjutnya penjelasan
tentang bagaimana eksistensi GAM dalam perjuangannya yang pasang-surut.
Dengan pengamatan yang baik Dr. M.
Isa Sulaiman mampu bersikap objektif dalam menelaah kasus ini, dan ini
merupakan hal yang ditakutkan oleh beliau terutama penulis berdarah Rencong. Dengan
pengalaman belajar yang didapatkan dari EHES (Ecole Des Hautes Etudes En Scinces Sociales) Paris, Perancis dalam
meraih gelar Doktor menjadikan buku ini sangat layak menjadi acuan untuk
dijadikan sebagai salah satu sumber karangan ilmiah dalam mengetahui Sejarah
Aceh pada era moderen.
ISI
BAB I : ACEH PADA MASA PERMULAAN
ORDE BARU DAN SOLUSINYA MENURUT HASAN DI TIRO
Pasca gerakan DI/TII daerah masih
sangat tertinggal dengan berbagai peninggalan kerusakan oleh perang ditambah
lagi dengan masih banyak wilayah pedesaan di Aceh yang tidak memiliki jalan
akses yang baik. Di bawah pemerintahan Orde Baru, pembangunan mulai digalakkan,
sensus pada tahun 1976 menunjukkan bahwa 2.279.147 jiwa penduduk aceh hidup
dari bercocok tanam terutama sawah dengan menggunakan irigasi sederhana. Pada
tahun 1974/1975 Aceh menghasilkan surplus dalam produksi persawahan namun ini
tidak berdampak pada petani karena harga beras di bawah kendali BULOG.
Program pembangunan Repelita membuat
SDA Aceh dieksploitasi, sejak 1960-an Pertamina mempercayakan perusahaan Kanada
untuk mengeksploitasi minyak di Aceh Timur, di tahun 1971 perusahaan Mobile Oil
Indonesia menemukan kandungan gas alam di kabupaten Aceh Utara, sehingga
mendorong Pertamina dan Mobile Oil membentuk LNG Arun. Dengan hasil eksploitasi
dari Aceh dengan hasil devisa yang sangat banyak, berasal dari perkebunan dan
hasil dalam bumi tidak membuat Aceh menjadi Provinsi yang makmur.
Bahkan pembangunan pabrik-pabrik ini
membuat keadaan masyarakat semakin terganggu dengan direbutnya lahan mereka
tanpa kejelasan ganti rugi, di samping itu juga limbah yang dihasilkan oleh
pabrik yang merusak tambak warga sekitar, walaupun Gebernur Aceh Muzakkir Walad
telah mengeluarkan SK namun itu tidaklah efektif. Keadaan politik yang mulai
beralih tangan kepada penguasa baru setelah kepemimpinan pemerintahan diganti
oleh Soeharto dengan kekuatan yang dimilikinya berhasil mengucilkan kaum
agamawan dari panggung politik. Melihat gelagat pemerintah yang tidak terlalu
menghiraukan rakyat Aceh, Hasan Di Tiro yang dilahirkan dari pasangan Tgk. Muhammad,
seorang alim desa di Bungong Tangjong. Mengirim sepucuk surat ultimatum kepada
P.M Ali, Hasan mengkritik pemerintah untuk menghentikan penumpasan gerakan
DI/TII pimpinan Daud Beureueh.
P.M. Ali mendengar ini sangat marah
sehingga mencabut paspor diplomatiknya di Amerika. Menurut Hasan Di Tiro
Pancasila bukanlah sebuah ideologi yang berada dalam masyarakat Indonesia,
tetapi Islamlah yang menjadi dasar ideologi rakyat namun tidak mengesampingkan
penganut agama lain. Selanjutnya Hasan mempertanyakan persoalan bangsa
Indonesia. Hasan mulai membangkitkan kembali semangat heroik perjuangan Aceh,
menurutnya Kerajaan Aceh tidak pernah menyerah kepada Belanda, namun persoalan pemimpin
Aceh yang mau ikut dalam Indonesia dikarenakan kebodohan pemimpin Aceh yang
telah lupa akan sejarah.
BAB II : PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN
PERLAWANAN FASE PERTAMA
Reaksi positif yang diberikan oleh
kerabat-kerabatnya membuat Hasan Di Tiro berani bertindak. Hasan Di Tiro
kembali lagi ke Aceh sacara diam-diam dengan perahu bot, Hasan disambut baik
oleh kerabatnya T. Zaini Abidin Tiro, kemudian Hasan Di Tiro dibawa ke Panton
Weng, sekita 4 km dari ibukota kecamatan Bandar Baru. Di tempat ini Hasan mulai
menerima para pengikutnya yang diawali oleh dr. Muchtar, A. Wahab Umar Di Tiro
dan Tgk. Usman Lampoh Awe. Di sinilah semuanya dipupuk kembangkan segala ide
dalam membentuk sebuah organisasi. Semuanya direalisasikan dalam Proklamasi
Negara Aceh Sumatra yang bertempat di Bukit Cokan, tanggal yang dipilih sengaja
pada 4 Desember yang mengingatkan pada perjuangan keluarga Tiro. Dengan
menggunakan nama Sumatra, Hasan berharap agar dunia tahu letak pergerakan
mereka. Gerakan pada mulanya hanya terbatas pada pendidikan untuk mencetak
kader-kader propaganda ideologi perjuangan. Di samping itu juga Hasan Di Tiro
mulai mengatur struktur jabatan dalam organisasi ini yang diisi oleh dr.
Muchtar Hasbi, Tgk. Ilyas Leube, dr. Zaini Abdullah dan lainnya. Hasan menggunakan
simbol bendera warisan dari Kerajaan Aceh dengan menambahkan beberapa garis
yang dianggap olehnya perlu sebagai penghormatan atas jasa pejuang Aceh dahulu.
Lambang Negara Aceh Sumatra terdiri atas seekor singa dan buraq yang saling
berhadapan. Kesulitan pertama yang dihadapi adalah dana, sehingga membuat Hasan
Di Tiro mengirimkan surat-surat kepada perusahaan untuk membayar pajak
kepada pihaknya.
Ikatan kekerabatan, persahabatan dan
ikatan daerah seasal membuat Hasan secara sukses menyebarkan ideologinya,
melihat hal ini Gebernur Muzakkir Walad membentuk sebuah tim dengan sandi
“Cerah Bahagia” yang bertujuan untuk
menangkis propaganda Hasan Di Tiro. Selanjutnya Kodam I Iskandar Muda Jenderal
R. A. Saleh menggelar operasi pemulihan dengan sandi Operasi Nanggala. Tokoh
masyarakat juga didekati untuk mengeluarkan fatwa agar tidak mendukung gerakan
GAM. Serangan yang semakin intensif memaksa Hasan Di Tiro untuk meninggalkan
Aceh menuju Singapura dan meneruskan perjuangannya melalui jalur diplomasi.
BAB III : PEMBANGUNAN DAN
REKONSOLIDASI ORGANISASI
Pemerintah sedang menggalakkan
pembangunan namun membutuhkan dana yang besar sehingga eksploitasi atas SDA
semakin dimaksimalkan terutama di wilayah Aceh, adanya bahan baku membuat
terbentuknya perusahaan-perusahaan baru yaitu PT AFF dan PT PIM dan PT KKA.
Namun hal ini juga tidak mendorong masyarakat untuk makmur, akibatnya
terbentuklah berbagai organisasi yang menuntut keadilan salah satunya LPLH
(Lembaga Pembela Lingkungan Hidup), di samping itu pengangguran yang cukup
tinggi walaupun di Aceh telah ada Lembaga Pendidikan yang bertaraf nasional
namun tidak terserap oleh perusahaan-perusahaan yang ada.
Dalam bidang militer Kodam I
Iskandar Muda dileburkan dalam Kodam I Bukit Barisan yang berpusat di Medan,
Orde Baru memanfaatkan anggota militer untuk mengendalikan kekuasaannya.
Pengamalan Pancasila yang banyak mendapat penolakan dari masyarakat dan juga
arus globalisasi yang dirasakan oleh masyarakat Aceh mendorong para ulama untuk
bertindak. MUI di bawah Ali Hasjmy menghimbau masyarakat agar waspada dengan
pengaruh luar yang melanggar syariat Islam.
Selanjutnya Hasan Di Tiro yang
berada di pengasingan mulai membangun kembali pergerakannya dengan menyebarkan
tulisan-tulisannya bersama dengan pengikut setianya yang juga telah berada di
pengasingan. Di sini Hasan mulai mempromosikan gerakannya ke dunia
internasional dan mengirimkan para pemuda simpatisannya untuk dilatih di Lybia
di samping itu juga melakukan kontak dengan sesama pergerakan perlawanan yang
tergabung dalam UNPO.
BAB IV : PERLAWANAN FASE KEDUA DAN
OPERASI JARINGAN MERAH
Seteleh para pejuang Aceh pulang
dari Lybia, Yusup Ali mempersiapkan rekan-rekannya semua untuk mengadakan kanduri
terhadap Gerakan Aceh Merdeka yang berlangsung di Kecamata Kuta Makmur, Aceh Utara
yang berlangsung pada tanggal 17 septemper 1989. Kemudian Yusup Ali menyusun
strategi dalam rangka perebutan senjata terhadap anggota ABRI yang bertugas di
pos-pos terpencil. Keberhasilan berbagai aksi tersebut semakin membangkitkan semangat
juang GAM. Aksi-aksi yang dilakukan oleh GAM tersebut sejak pertengahan
septemper 1989 cukup mengkhawatirkan Pangdam I Bukit Barisan Mayjen Joko
Pramono maupun Kol. Sofyan Effendi Komandan Korem 011 Lilawangsa. Gebernur Ibrahim Hasan yang merasa khawatir
melakukan konsultasi kepada Presiden beserta petinggi ABRI Jenderal Try
Sutrisno.
Soeharto menindak lanjuti dengan
mengirimkan berbagai personil pasukan tempur untuk membasmi pasukan GAM. Mayjen
H. R. Pramono yang baru dilantik mencari dukungan untuk menjalankan Operasi
Jaringan Merah dengan bermusyawarah terhadap tokoh masyarakat terutama ulama.
Operasi Jaringan Merah didukung oleh TPO (Tim Pembantu Operasi) yang direkrut
dari penduduk setempat atau bekas tawanan GAM dan secara resmi GAM dijuluki
sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Sulitnya membasmi gerakan GAM
dikarenakan sistem kekerabatan dengan penduduk ditambah lagi dengan wilayah
Aceh yang menyediakan tempat bergerilya kepada pasukan GAM hal inilah yang
menyebabkan Operasi Jaringan Merah atau DOM diperpanjang pada 1990. Dalam
menjalankan Operasi ini sangat banyak memakan korban sehingga menuai berbagai
protes menyangkut pelanggaran HAM.
Terbukanya keran demokrasi di bawah
B.J.Habibie membuat isu pelanggaran HAM di Aceh tersebar, berbagai organisasi
dibentuk untuk menguak kasus ini disertai dengan protes, seperti KARMA, SMUR,
dan FARMIDIA. Hal ini menyebabkan ABRI semakin buruk dalam pandangan
masyarakat. B.J.Habibie pada tanggal 7 Agustus 1999 mengutus Wiranto, selesai
shalat Jumat dia berpidato di Masjid Baiturrahman Lhoksemawe yang
mengisyaratkan bahwa Operasi Jaringan Merah berakhir.
BAB V : DEMOKRASI, HAM, DAN
KEBANGKITAN SIPUL ORGANISASI GAM
Dengan terbentuknya berbagai
kesatuan dalam masyarakat Aceh, mereka menuntut akan keadilan dari pemerintah
pusat, berbagai perkumpulan diadakan di samping itu juga semakin eksisnya
pengeksploitasian data terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak
militer, Munir juga ikut aktif dalam kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dengan
situasi yang sedemikian Hasan Di Tiro mengambil kesempatan ini dengan
membangkitkan kembali gerakannya.
Pembebasan terhadap tahanan GAM
mengakibatkan para tahanan kembali bersatu, beriringan dengan ide referendum
yang dikumandangkan, GAM semakin eksis di dalam kalangan masyarakat, timbul dua
golongan dalam masyarakat Aceh yaitu mereka yang meminta otonomi daerah dan
mereka yang menuntut referendum. Di samping itu juga dalam struktur GAM terjadi
perpecahan yang semakin nyata antara kubu dr. Zaini Abdullah dengan kubu dr.
Husaini Hasan.
KESIMPULAN
Ekplotasi SDA di wilayah Aceh yang
tidak diimbangi dengan pembangunan masyarakat meyebabkan berbagai gejala
sosial, akibatnya lahirlah GAM di bawah pemikiran Hasan Di Tiro yang dipupuk
oleh ideologi Islam dan sejarah masa lampau kejayaan Aceh. Di satu sisi GAM
mengalami kesulitannya sendiri dalam pergerakannya namun di sisi lain
pemerintah kurang mampu menumpas pergerakan ini, karena konsep kekerabatan yang
dijalankan oleh pihak GAM sangat sulit melacak keberadaan mereka yang berbaur
dalam masyarakat.
Akibatnya banyak terjadi
penyimpangan HAM dalam pelaksanaan operasi militer, hal inilah yang membuat
rakyat tergerak terutama kaum cendikiawan Aceh yang menuntut keadilan. Di bawah
kepemimpinan Abdullah Syafi’i semangat juang pasukan GAM berhasil bangkit,
kepemimpinan Gus Dur ditandai dengan semakin gencarnya penuntutan reformasi
dari masyarakat Aceh.
PENILAIAN DAN SARAN
Interpretasi yang dilakukan oleh
penulis bisa dikatakan objektif, karena Dr. Sulaiman tidak hanya melihat dari
satu sudut pandang. Dari segi bahasa buku ini sangat cocok dibaca oleh kalangan
umum dan tidak kita sadari seakan membaca novel sejarah, terutama pada bab-bab
awal yang menjelaskan proses terbentuknya GAM. Dari segi pengambilan sumber
buku ini telah memenuhi kriteria ilmiah dengan mengambil beberapa sumber primer
ditambah lagi dengan sumber sekunder. Namun yang disayangkan buku ini ditulis
dalam waktu dan dana terbatas sehingga buku ini juga tidakk luput dari beberapa
kekurangan. Untuk sekarang dalam mengenal Sejarah Aceh moderen tentunya sudah
tidak cukup dengan hanya membaca buku ini dikarenakan telah ada sejumlah
penulis lain yang menyediakan informasi lebih lengkap dengan jangkauan waktu
lebih panjang seperti buku Djumala Djamal, Yusuf Al-Qardhawy, Arifin, Munawar
Djalil, dan masih banyak yang lainnya guna melengkapi pengetahuan kita tentang
Sejarah Aceh terutama berkaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar