Sabtu, 20 Januari 2018

ACEH MERDEKA oleh ISA SULAIMAN

KATA PENGANTAR

            Aceh merupakan salah satu bagian dari Provinsi NKRI. Dalam sejarahnya Aceh dipenuhi dengan berbagai warna, masa Kerajaan Aceh di bawah Iskandar Muda, masyarakat Aceh mencapai kejayaannya hal itu terus menurun setelah kepergian sang sultan hingga kedatangan penjajah Belanda ke Aceh pada 1873. Aceh dalam mengisi kemerdekaan Indonesia memainkan peran yang sangat penting dan menjadi daerah modal.
            Pasca kemerdekaan Aceh dilanda situasi tidak menentu, berbagai pergerakan lahir dari DI/TII dan diteruskan oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Dr. M. Isa Sulaiman dalam bukunya yang berjudul Aceh Merdeka berusaha menjelaskan kepada pembaca bagaimana GAM ini lahir yang disebabkan oleh berbagai faktor dimulai dari keadaan politik dalam negeri yang tidak menentu ditambah lagi dengan kesenjangan yang terjadi di dalam wilayah Aceh yang sangat kaya akan SDA, di samping itu juga terdapat kaum cendikiawan yang berfikir kritis terhadap keadaan masyarakat dan juga tanggapan pemerintah yang seakan-akan mengabaikan suara rakyat Aceh yang menyebabkan timbullah sebuah ide pergerakan yang dipelopori oleh Hasan Di Tiro. Hasan Di Tiro merupakan pengikut Daud Bereueh dalam gerakan DI/TII. Alih-alih mengungkit sejarah keturunan Tiro, Hasan Di Tiro mampu menampilkan dirinya sebagai penerus perjuangan rakyat Aceh yang dijajah oleh Jakarta-Jawa. Selanjutnya penjelasan tentang bagaimana eksistensi GAM dalam perjuangannya yang pasang-surut.
            Dengan pengamatan yang baik Dr. M. Isa Sulaiman mampu bersikap objektif dalam menelaah kasus ini, dan ini merupakan hal yang ditakutkan oleh beliau terutama penulis berdarah Rencong. Dengan pengalaman belajar yang didapatkan dari EHES (Ecole Des Hautes Etudes En Scinces Sociales) Paris, Perancis dalam meraih gelar Doktor menjadikan buku ini sangat layak menjadi acuan untuk dijadikan sebagai salah satu sumber karangan ilmiah dalam mengetahui Sejarah Aceh pada era moderen.


ISI

BAB I : ACEH PADA MASA PERMULAAN ORDE BARU DAN SOLUSINYA MENURUT HASAN DI TIRO
            Pasca gerakan DI/TII daerah masih sangat tertinggal dengan berbagai peninggalan kerusakan oleh perang ditambah lagi dengan masih banyak wilayah pedesaan di Aceh yang tidak memiliki jalan akses yang baik. Di bawah pemerintahan Orde Baru, pembangunan mulai digalakkan, sensus pada tahun 1976 menunjukkan bahwa 2.279.147 jiwa penduduk aceh hidup dari bercocok tanam terutama sawah dengan menggunakan irigasi sederhana. Pada tahun 1974/1975 Aceh menghasilkan surplus dalam produksi persawahan namun ini tidak berdampak pada petani karena harga beras di bawah kendali BULOG.
            Program pembangunan Repelita membuat SDA Aceh dieksploitasi, sejak 1960-an Pertamina mempercayakan perusahaan Kanada untuk mengeksploitasi minyak di Aceh Timur, di tahun 1971 perusahaan Mobile Oil Indonesia menemukan kandungan gas alam di kabupaten Aceh Utara, sehingga mendorong Pertamina dan Mobile Oil membentuk LNG Arun. Dengan hasil eksploitasi dari Aceh dengan hasil devisa yang sangat banyak, berasal dari perkebunan dan hasil dalam bumi tidak membuat Aceh menjadi Provinsi yang makmur.
            Bahkan pembangunan pabrik-pabrik ini membuat keadaan masyarakat semakin terganggu dengan direbutnya lahan mereka tanpa kejelasan ganti rugi, di samping itu juga limbah yang dihasilkan oleh pabrik yang merusak tambak warga sekitar, walaupun Gebernur Aceh Muzakkir Walad telah mengeluarkan SK namun itu tidaklah efektif. Keadaan politik yang mulai beralih tangan kepada penguasa baru setelah kepemimpinan pemerintahan diganti oleh Soeharto dengan kekuatan yang dimilikinya berhasil mengucilkan kaum agamawan dari panggung politik. Melihat gelagat pemerintah yang tidak terlalu menghiraukan rakyat Aceh, Hasan Di Tiro yang dilahirkan dari pasangan Tgk. Muhammad, seorang alim desa di Bungong Tangjong. Mengirim sepucuk surat ultimatum kepada P.M Ali, Hasan mengkritik pemerintah untuk menghentikan penumpasan gerakan DI/TII pimpinan Daud Beureueh.
            P.M. Ali mendengar ini sangat marah sehingga mencabut paspor diplomatiknya di Amerika. Menurut Hasan Di Tiro Pancasila bukanlah sebuah ideologi yang berada dalam masyarakat Indonesia, tetapi Islamlah yang menjadi dasar ideologi rakyat namun tidak mengesampingkan penganut agama lain. Selanjutnya Hasan mempertanyakan persoalan bangsa Indonesia. Hasan mulai membangkitkan kembali semangat heroik perjuangan Aceh, menurutnya Kerajaan Aceh tidak pernah menyerah kepada Belanda, namun persoalan pemimpin Aceh yang mau ikut dalam Indonesia dikarenakan kebodohan pemimpin Aceh yang telah lupa akan sejarah.

BAB II : PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN PERLAWANAN FASE PERTAMA
            Reaksi positif yang diberikan oleh kerabat-kerabatnya membuat Hasan Di Tiro berani bertindak. Hasan Di Tiro kembali lagi ke Aceh sacara diam-diam dengan perahu bot, Hasan disambut baik oleh kerabatnya T. Zaini Abidin Tiro, kemudian Hasan Di Tiro dibawa ke Panton Weng, sekita 4 km dari ibukota kecamatan Bandar Baru. Di tempat ini Hasan mulai menerima para pengikutnya yang diawali oleh dr. Muchtar, A. Wahab Umar Di Tiro dan Tgk. Usman Lampoh Awe. Di sinilah semuanya dipupuk kembangkan segala ide dalam membentuk sebuah organisasi. Semuanya direalisasikan dalam Proklamasi Negara Aceh Sumatra yang bertempat di Bukit Cokan, tanggal yang dipilih sengaja pada 4 Desember yang mengingatkan pada perjuangan keluarga Tiro. Dengan menggunakan nama Sumatra, Hasan berharap agar dunia tahu letak pergerakan mereka. Gerakan pada mulanya hanya terbatas pada pendidikan untuk mencetak kader-kader propaganda ideologi perjuangan. Di samping itu juga Hasan Di Tiro mulai mengatur struktur jabatan dalam organisasi ini yang diisi oleh dr. Muchtar Hasbi, Tgk. Ilyas Leube, dr. Zaini Abdullah dan lainnya. Hasan menggunakan simbol bendera warisan dari Kerajaan Aceh dengan menambahkan beberapa garis yang dianggap olehnya perlu sebagai penghormatan atas jasa pejuang Aceh dahulu. Lambang Negara Aceh Sumatra terdiri atas seekor singa dan buraq yang saling berhadapan. Kesulitan pertama yang dihadapi adalah dana, sehingga membuat Hasan Di Tiro mengirimkan surat-surat kepada perusahaan untuk membayar pajak kepada  pihaknya.
            Ikatan kekerabatan, persahabatan dan ikatan daerah seasal membuat Hasan secara sukses menyebarkan ideologinya, melihat hal ini Gebernur Muzakkir Walad membentuk sebuah tim dengan sandi “Cerah Bahagia” yang  bertujuan untuk menangkis propaganda Hasan Di Tiro. Selanjutnya Kodam I Iskandar Muda Jenderal R. A. Saleh menggelar operasi pemulihan dengan sandi Operasi Nanggala. Tokoh masyarakat juga didekati untuk mengeluarkan fatwa agar tidak mendukung gerakan GAM. Serangan yang semakin intensif memaksa Hasan Di Tiro untuk meninggalkan Aceh menuju Singapura dan meneruskan perjuangannya melalui jalur diplomasi.

BAB III : PEMBANGUNAN DAN REKONSOLIDASI ORGANISASI
            Pemerintah sedang menggalakkan pembangunan namun membutuhkan dana yang besar sehingga eksploitasi atas SDA semakin dimaksimalkan terutama di wilayah Aceh, adanya bahan baku membuat terbentuknya perusahaan-perusahaan baru yaitu PT AFF dan PT PIM dan PT KKA. Namun hal ini juga tidak mendorong masyarakat untuk makmur, akibatnya terbentuklah berbagai organisasi yang menuntut keadilan salah satunya LPLH (Lembaga Pembela Lingkungan Hidup), di samping itu pengangguran yang cukup tinggi walaupun di Aceh telah ada Lembaga Pendidikan yang bertaraf nasional namun tidak terserap oleh perusahaan-perusahaan yang ada.
            Dalam bidang militer Kodam I Iskandar Muda dileburkan dalam Kodam I Bukit Barisan yang berpusat di Medan, Orde Baru memanfaatkan anggota militer untuk mengendalikan kekuasaannya. Pengamalan Pancasila yang banyak mendapat penolakan dari masyarakat dan juga arus globalisasi yang dirasakan oleh masyarakat Aceh mendorong para ulama untuk bertindak. MUI di bawah Ali Hasjmy menghimbau masyarakat agar waspada dengan pengaruh luar yang melanggar syariat Islam.
            Selanjutnya Hasan Di Tiro yang berada di pengasingan mulai membangun kembali pergerakannya dengan menyebarkan tulisan-tulisannya bersama dengan pengikut setianya yang juga telah berada di pengasingan. Di sini Hasan mulai mempromosikan gerakannya ke dunia internasional dan mengirimkan para pemuda simpatisannya untuk dilatih di Lybia di samping itu juga melakukan kontak dengan sesama pergerakan perlawanan yang tergabung dalam UNPO.

BAB IV : PERLAWANAN FASE KEDUA DAN OPERASI JARINGAN MERAH
            Seteleh para pejuang Aceh pulang dari Lybia, Yusup Ali mempersiapkan rekan-rekannya semua untuk mengadakan kanduri terhadap Gerakan Aceh Merdeka yang berlangsung di Kecamata Kuta Makmur, Aceh Utara yang berlangsung pada tanggal 17 septemper 1989. Kemudian Yusup Ali menyusun strategi dalam rangka perebutan senjata terhadap anggota ABRI yang bertugas di pos-pos terpencil. Keberhasilan berbagai aksi tersebut semakin membangkitkan semangat juang GAM. Aksi-aksi yang dilakukan oleh GAM tersebut sejak pertengahan septemper 1989 cukup mengkhawatirkan Pangdam I Bukit Barisan Mayjen Joko Pramono maupun Kol. Sofyan Effendi Komandan Korem  011 Lilawangsa.  Gebernur Ibrahim Hasan yang merasa khawatir melakukan konsultasi kepada Presiden beserta petinggi ABRI Jenderal Try Sutrisno.
            Soeharto menindak lanjuti dengan mengirimkan berbagai personil pasukan tempur untuk membasmi pasukan GAM. Mayjen H. R. Pramono yang baru dilantik mencari dukungan untuk menjalankan Operasi Jaringan Merah dengan bermusyawarah terhadap tokoh masyarakat terutama ulama. Operasi Jaringan Merah didukung oleh TPO (Tim Pembantu Operasi) yang direkrut dari penduduk setempat atau bekas tawanan GAM dan secara resmi GAM dijuluki sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Sulitnya membasmi gerakan GAM dikarenakan sistem kekerabatan dengan penduduk ditambah lagi dengan wilayah Aceh yang menyediakan tempat bergerilya kepada pasukan GAM hal inilah yang menyebabkan Operasi Jaringan Merah atau DOM diperpanjang pada 1990. Dalam menjalankan Operasi ini sangat banyak memakan korban sehingga menuai berbagai protes menyangkut pelanggaran HAM.
            Terbukanya keran demokrasi di bawah B.J.Habibie membuat isu pelanggaran HAM di Aceh tersebar, berbagai organisasi dibentuk untuk menguak kasus ini disertai dengan protes, seperti KARMA, SMUR, dan FARMIDIA. Hal ini menyebabkan ABRI semakin buruk dalam pandangan masyarakat. B.J.Habibie pada tanggal 7 Agustus 1999 mengutus Wiranto, selesai shalat Jumat dia berpidato di Masjid Baiturrahman Lhoksemawe yang mengisyaratkan bahwa Operasi Jaringan Merah berakhir.

BAB V : DEMOKRASI, HAM, DAN KEBANGKITAN SIPUL ORGANISASI GAM
            Dengan terbentuknya berbagai kesatuan dalam masyarakat Aceh, mereka menuntut akan keadilan dari pemerintah pusat, berbagai perkumpulan diadakan di samping itu juga semakin eksisnya pengeksploitasian data terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak militer, Munir juga ikut aktif dalam kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dengan situasi yang sedemikian Hasan Di Tiro mengambil kesempatan ini dengan membangkitkan kembali gerakannya.
            Pembebasan terhadap tahanan GAM mengakibatkan para tahanan kembali bersatu, beriringan dengan ide referendum yang dikumandangkan, GAM semakin eksis di dalam kalangan masyarakat, timbul dua golongan dalam masyarakat Aceh yaitu mereka yang meminta otonomi daerah dan mereka yang menuntut referendum. Di samping itu juga dalam struktur GAM terjadi perpecahan yang semakin nyata antara kubu dr. Zaini Abdullah dengan kubu dr. Husaini Hasan.


KESIMPULAN
            Ekplotasi SDA di wilayah Aceh yang tidak diimbangi dengan pembangunan masyarakat meyebabkan berbagai gejala sosial, akibatnya lahirlah GAM di bawah pemikiran Hasan Di Tiro yang dipupuk oleh ideologi Islam dan sejarah masa lampau kejayaan Aceh. Di satu sisi GAM mengalami kesulitannya sendiri dalam pergerakannya namun di sisi lain pemerintah kurang mampu menumpas pergerakan ini, karena konsep kekerabatan yang dijalankan oleh pihak GAM sangat sulit melacak keberadaan mereka yang berbaur dalam masyarakat.
            Akibatnya banyak terjadi penyimpangan HAM dalam pelaksanaan operasi militer, hal inilah yang membuat rakyat tergerak terutama kaum cendikiawan Aceh yang menuntut keadilan. Di bawah kepemimpinan Abdullah Syafi’i semangat juang pasukan GAM berhasil bangkit, kepemimpinan Gus Dur ditandai dengan semakin gencarnya penuntutan reformasi dari masyarakat Aceh.

PENILAIAN DAN SARAN
            Interpretasi yang dilakukan oleh penulis bisa dikatakan objektif, karena Dr. Sulaiman tidak hanya melihat dari satu sudut pandang. Dari segi bahasa buku ini sangat cocok dibaca oleh kalangan umum dan tidak kita sadari seakan membaca novel sejarah, terutama pada bab-bab awal yang menjelaskan proses terbentuknya GAM. Dari segi pengambilan sumber buku ini telah memenuhi kriteria ilmiah dengan mengambil beberapa sumber primer ditambah lagi dengan sumber sekunder. Namun yang disayangkan buku ini ditulis dalam waktu dan dana terbatas sehingga buku ini juga tidakk luput dari beberapa kekurangan. Untuk sekarang dalam mengenal Sejarah Aceh moderen tentunya sudah tidak cukup dengan hanya membaca buku ini dikarenakan telah ada sejumlah penulis lain yang menyediakan informasi lebih lengkap dengan jangkauan waktu lebih panjang seperti buku Djumala Djamal, Yusuf Al-Qardhawy, Arifin, Munawar Djalil, dan masih banyak yang lainnya guna melengkapi pengetahuan kita tentang Sejarah Aceh terutama berkaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar