Rabu, 24 Januari 2018

PERBEDAAN PEMIKIRAN POLITIK SUTAN SUAHRIR DAN TAN MALAKA TERHADAP REVOLUSI INDONESIA 1945-1949

BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
     Sutan Syahir merupakan seorang tokoh pergerakan nasional, seorang keturunan bangsawan dari Sumatra Barat. Sutan Syahrir lahir pada 5 Maret 1909. Darah bangsawan mengalir dalam tubuhnya, sehingga keadaan kehidupan Sutan Syahrir berbeda dengan anak pribumi lainnya. Ayahnya bernama Moh. Rasad Gelar Maha Raja Soetan menjabat sebagai jaksa agung di Medan. Sedangkan ibunya bernama Poetri Siti Rabiah, juga seorang bangsawan daerah Natal.
     Melihat asal-usul keturunan Sutan Syahrir, maka sudah sepatutnya dia hidup dalam serba kecukupan sebagai seorang bangsawan. Ketika masa mudanya, ia disekolahkan ELS dan MULO di Medan. Kesempatan belajar ini digunakan semaksimal mungkin untuk mempelajari berbagai hal, baik itu sejarah, filsafat, dan lain sebagainya. Ketika menamatkan MULO Sutan Syahrir melanjutkan pendidikannya ke pulau Jawa di Algemene Middlebare School di Bandung. Kepribadian yang kritis mulai lahir dari dalam pikirannya, disinilah Sutan Syahrir betul-betul sadar akan nasib bangsanya. Hal ini membuatnya terjun ke dalam dunia politik ketika menjadi salah satu perwakilan dari Sumatra untuk membentuk suatu perkumpulan pemuda Indonesia~Jong Indonesia~bersama dengan Muh. Yamin dan M. Hatta.
     Sutan Syahrir baru benar-benar terjun ke dalam kancah politik bangsa ketika terjadi pemberontakan PKI di tahun 1926, dia sering di kejar oleh petugas keamanan dikarenakan membaca berita pemberontakan PKI, karena tidak boleh dikonsumsi oleh seorang siswa sepertinya. Setelah menyelesaikan studinya di Bandung. Petualangan mencari ilmu diteruskan ke negeri induk yaitu Belanda, pada Universitas Amsterdam. Sutan Syahrir sudah direncanakan untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai jaksa agung di Medan. Menjadi seorang Mahasiswa di Universitas Amsterdam, Syahrir mulai lebih dekat dengan Sosialis, ia masuk dalam organisasi sosialis di sana di samping menjadi anggota Perhimpunan Indonesia.
     Hal ini jauh berbeda dengan lawan politik Syahrir nantinya yaitu Tan Malaka. Dia merupakan seorang penggemar musik dan sepak bola di usia muda bahkan termasuk ke dalam siswa yang nakal. Tan Malaka dilahirkan di desa Pandan Gadang, tak jauh dari kecamatan Suliki Kabupaten Limopuluh koto, Payakumbuh, Sumatra Barat pada tahun 1897. Beliau dilahirkan dengan nama Ibrahim Bin Rasad. Ibunya bernama Rangkayo Sinah, putri dari salah satu orang yang disegani didesanya.
     Terdapat perbedaan pendapat tentang kelahiran Tan Malaka, namun kita tidak memfokuskan kapan Tan Malaka lahir, lebih kepada isi dari pemikiran Tan Malaka dalam mengisi kemerdekaan. Dengan kecerdasan dan kepandaian yang dimiliki walaupun terlalu asik dalam dunia musik dan olah raga, Tan Malaka mampu unggul dari teman-temannya di dunia pendidikan.
     Pendidikan Tan Malaka di awali dengan sekolah rakyat, setelah menyelesaikannya dilanjutkan dengan Sekolah Guru atau Kweekschool keduanya lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Seorang guru eropa yang mengajarinya sangat tertarik atas pemikiran potensial Malaka dan menyarankan agar Malaka meneruskan pendidikannya ke negeri Belanda guna menempuh pendidikan lanjutan.
     Tiba di negeri pada awalnya merupakan awal yang sulit bagi Malaka, dia berusaha keras untuk berdaptasi dengan lingkungan baru baginya. Malaka nyaris mengakhiri hidupnya akibat terserang penyakit paru-paru. Dalam memahami mata pelajaran di perkuliahan tak kurang sulitnya bagi Malaka, karena dianggap sangat jauh berbeda dan jauh dari manfaat bagi kehidupan di negerinya.
     Untuk pertama kalinya Malaka mulai mengenal paham sosialisme ketika dia tinggal bersama temannya orang Belanda yang sering membeli majalah sosialis, dari situ ia mulai belajar dan tertarik atas pemikiran-pemikiran sosialisme, sehingga dianggap begitu sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia ketika berada dalam belunggu penjajahan.


BAB II
PEMBAHASAN

  2.1        Dasar Pemikiran Sutan Syahrir dan Tan Malaka Dalam Revolusi Indonesia
               2.1.1  Sutan Syahrir
        Sutan Syahrir merupakan seorang tokoh bangsa lahir pada masa perjuangan. Banyak peneliti pemikiran Syahrir mengatakan bahwa pemikirannya terlalu cerdas dan tidak sesuai dengan zamannya, di mana orang secara  garis besar belum mampu untuk mencerna pemikiran beliau.
        Pemikiran Syahrir identik dengan perpaduan pemikiran filsafat sehingga agak sulit dimengerti ketika Syahrir mengidolakan paham sosialis namun menentang keras bapak sosialis yaitu Marx. Pemikiran Marx dianggap olehnya terlalu kaku dan diktator sehingga membuat manusia tidak merdeka dalam bertindak dalam berbagai bidang kehidupan. Dia merupakan seorang tokoh humanis yang menjunjung tinggi kebebasan individu dalam menjalankan kehidupan, di samping itu juga seorang yang sangat menentang Fasisme, hal ini sangat jelas ketika Syahrir menentang kegilaan dalam Nasionalisme sehingga dapat memunculkan kebencian terhadap bangsa lain, disamping paham Kapitalisme, dan Kolonialisme.
        Tidak hanya sampai disitu Syahrir juga sangat menentang pemikiran dan pergerakan Lenin dan Stalin yang dianggap merusak martabat manusia. Bagi Sjahrir pada akhirnya ajaran Leninisme dan Stalinisme telah menjadikan manusiayang manusia asing, aneh dan memiliki rasa untuk tidak saling mempercayai satu sama lain, jauh dari sikap sopan santun, kejujuran dan kejernihan jiwa pada umumnya. Komunisme yang merupakan bentuk dari totalitarianisme kiri telah menimbulkan sentralisme kekuasaan di dalam sebuah partai tunggal dan menjadikan pimpinan partai bertindak sebagai seorang diktator. Sehingga sangat kecil kemungkinan untuk melihat adanya sisi demokratis dari pemerintahan yang dibangun di dalam alam komunisme. (Syahra, 2012:34)
        Sjahrir tidak terombang-ambing dalam berbagai aliran pemikiran, karena dia tetap berpegang pada satu fokus utama untuk menguji berbagai pandangan dan pendapat yang dihadapinya. Cita-cita tentang kebebasan dan kemandirian manusia inilah yang rupanya telah mendorong Sjahrir memilih sosialisme sebagai paham politiknya, yang kemudian pada tahun 1948 dijadikan dasar bagi partai politik yang didirikannya yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI). (Syahra, 2012:32)
        Pemikirannya yang cerdas membawa kedalam ranah politik pergerakan nasional, Syahrir mengorbankan pendidikannya untuk memimpin pergerakan PNI Baru. Di saat situasi politik reaksioner De Jonge sedang dijalankan dan Syahrir merupakan korbannya, yaitu pengasingan ke Digul. Masuknya Jepang ke Indonesia tidak membuat Syahrir tertarik untuk bekerja sama dengan Jepang. Dia menyusun kekuatan di bawah tanah guna mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang menurutnya akan segera tiba.
        Menurutnya kemerdekaan bukanlah arti dari segalanya bagi Indonesia, namun kemerdekaan hanyalah menjadi sebagai alat untuk mencapai kebebasan dalam kehidupan manusia. Menurut Sjahrir untuk menciptakan revolusi dengan tepat dan teratur, dalam suatu negara haruslah ada suatu partai yang revolusioner yang akan memimpin revolusi, yaitu mengurus segala kepentingan masyarakat yang akan diperjuangkan, menetapkan strategi dan taktik perjuangan. (Mulyana, 2014:34)
        Pasca kemerdekaan Indonesia, Soekarno sebagai Presiden RI menunjuk Syahrir sebagai perdana menteri. Syahrir langsung mengaplikasikan ilmunya kedalam perjuangan revolusi Indonesia ketika menghadapi ancaman dari Belanda. Untuk itu ia mengubah sistem presidensial menjadi sistem parlementer, sebagaimana keyakinannya dalam pamfletnya bahwa kedaulatan harus ada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum berasal dari partai politik. Partai-partai politik harus dibentuk oleh mereka yang terdidik, berdisiplin, dan ber-pengetahuan modern untuk membawa rakyat ke dalam revolusi. (Mulyana, 2014:34)
        Syahrir menginginkan revolusi yang sedang berlangsung tidak memakan korban jiwa bangsa Indonesia, Syahrir lebih menggunakan pendekatan Soft Power dalam penyelesaian masalah.
        Kemerdekaan harus dicapai dengan cara yang elegan, dengan cara-cara yang mengutamakan kemanusiaan, diplo-masi, dan tidak dengan perang yang dipengaruhi oleh amarah. Untuk itu dalam setiap kebijakannya dalam mencapai kemerdekaan, ia selalu mengutamakan jalan-jalan dialog dan diplomasi dengan Belanda ataupun dengan sekutu untuk meraih simpati dunia dalam mendukung tercapainya ke-merdekaan Indonesia. (Mulyana, 2014:38)
        Syahrir sebagai tokoh perjuangan bangsa dalam menghadapi revolusi kemerdekaan merupakan sosok yang sangat mengagungkan pemikiran manusia, sehingga dengan jelas menolak perjuangan dalam bentuk kekerasan yang membuat hilangnya kebebasan dan martabat manusia yang merdeka.
        Keinginan Syahrir untuk mewujudkan cita-citanya yaitu menginginkan suatu masyarakat sadar akan kehidupan dan nasibnya, mau berubah ke dunia pemikiran rasional dan meninggalkan kebiasaan tradisional dengan mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Ini dilakukan agar masyarakat dapat didik dengan baik dan mempersiapkan pemimpin untuk benar-benar paham tentang situasi bangsa. Dia menentang partai-partai massa dengan pemahaman minim terhadap perjuangan rakyat sehingga cenderung tampak tidak efektif.


       
               2.1.2  Tan Malaka
        Mengutip kalimat Soekarno dengan menjuluki Tan Malaka adalah sebagai Pecinta Sejati Republik Indonesia, dan juga terdapat M. Yamin ketika menyamakan Malaka dengan Jefferson Washington, begitulah kejeniusan yang dimiliki oleh anak bangsa pada masa itu.
        Pemikiran Malaka dapat dibaca dengan sangat jelas, terutama dengan berbagai karangan hasil tulisnya sendiri. Di negeri Belanda dia menghabiskan waktu untuk mempelajari sosialis dan hampir sebagian usia produktifnya dihabiskan dalam perantauan memperjuangkan Komunis di bawah Komintern pusat.
        Malaka baru kembali ke Indonesia setelah Belanda angkat kaki. Dia juga seorang yang tak mau bekerja sama dengan Jepang. Terdapat beberapa kesepakatan antara pemikiran Maxl dan Malaka yaitu mengenai prinsip revolusi yaitu revolusi merupakan kejadian alami dalam kehidupan manusia, dan tidak ada seorang manusia pun mampu untuk membuat revolusi.
        Bagi Tan Malaka, revolusi tidak melahirkan diktator proletar atau kediktatoran yang dilakukan oleh penguasa baru. Revolusi melahirkan sebuah tatanan masyarakat baru yang beradab dan negara menghargai nilai kemanusiaan dan hak politik warga negara. Bukan diktator proletar yang menindas rakyat. Ini yang membedakan revolusi Tan Malaka dengan revolusi Karl Marx. Setelah negara terbentuk, Tan Malaka mengusulkan sebuah negara yang berdasarkan hukum yang humanis, tidak sarat dengan nilai diktator. (Faisal dan Syam. 2015)
        Malaka baru benar-benar sadar ketika menjadi guru di Sumatra tempat perkebunan buruh tembakau Deli, dia melihat perbedaan kelas yang sangat mencolok antara pemodal dan pekerja, dia benar-benar sadar bahwa pertentangan kelas harus dihapuskan di dalam kehidupan dengan revolusi. Selanjutnya dalam pemikirannya mengenai perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia adalah dengan cara menguasai seluruh aset negara, menguasai seluruh peralatan perang dari Tangan Jepang dan selanjutnya, menyatakan “Merdeka 100%”.
        Tan Malaka sangat menekankan perlunya pengakuan kemerdekaan dari Belanda sebelum berunding dengan Indonesia karena ini merupakan hal mutlak yang harus diakui baik oleh Belanda maupun negara lain, Malaka menginginkan agar dunia tahu bahwa Indonesia mampu mengendalikan negerinya sendiri tanpa bantuan tangan asing.
        Dalam tulisan Faisal dan Syam ikut mengutip tulisan Malaka yaitu Ide atau cita-cita ini ia tuangkan dalam buku Menuju Republik Indonesia. Ada sepuluh program ekonomi yang diinginkannya, yakni, (1) Menasionalisasi pabrik-pabrik dan tambang- tambang seperti tambang batu bara, timah, minyak dan tambang emas; (2) Menasionalisasi hutan-hutan dan perusahaan-perusahaan modern, seperti perusahaan gula, karet, teh, kopi, kina, kelapa, nila, dan tapioka; (3) Menasionalisasi perusahaan-perisahaan lalulintas dan angkutan umum; (4) Menasionalisasi bank-bank, perusahaanperusahaan perseorangan dan maskapaimaskapai perniagaan besar lainnya; (5) Membangun industri-industri baru dengan bantuan negara; seperti pabrik-pabrik mesin dan tekstil dan galangan kapal; (6)mendirikan koperasi-koperasi rakyat dengan bantuan kredit yang murah oleh negara; (7) Memberikan bantuan hewan dan alatalat kerja kepada kaum tani untuk memperbaiki pertaniannya dan mendirikan kebun-kebun percontohan; (8) Transmigrasi; (9) pembagian lahan produktif kepada petani yang tidak punya lahan serta bantuan bibit dan keuangan, untuk mengusahakan tanah-tanah tersebut; dan (10) Menghapuskan sisa-sisa tanah feodal dan tanah-tanah partikelir dan membagikan yang tersebut belakangan ini kepada petani melarat dan proletar.

  2.2        Pertentangan Antara Sutan Syahrir dan Tan Malaka
     Pada hakikatnya perbedaan yang terjadi antara kedua tokoh ini menyangkut tentang pemikiran bagaimana cara berjuang menghadapi Belanda guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia untuk tidak lagi terjurumus ke dalam belenggu kolonial. Di satu sisi Sutan Syahrir menganggap bahwa perjuangan ini harus diisi dengan semangat  perdamaian dan menghindari kontak fisik, dikarenakan Sutan Syahrir sangat yakin bahwa perlengkapan militer Indonesia jauh tertinggal dari Belanda yang disokong oleh Inggris, sehingga jalan satu-satunya adalah dengan cara berdiplomasi dengan Belanda, disamping itu juga tekad dari Sutan Syahrir yang menginginkan masalah Indonesia tidak hanya menjadi masalah internal bagi negeri Belanda, tetapi menjadi pembicaraan dunia internasional.
     Zulhasri Nasir mengatakan (dalam Rizal, dkk) pertentangan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka bukanlah bersifat pribadi tetapi lebih pada garis dan sikap perjuangan.
     Di lain pihak terdapat Tan Malaka dengan keyakinan seratus persen terhadap kekuatan bangsa. Tan Malaka tidak kalah kritis dalam menuangkan idenya dalam mencapai kemerdekaan penuh. Tan Malaka mempertimbangkan secara masak-masak cara untuk berjuang seperti halnya Syahrir.
   Mengingat bahwa Indonesia memiliki 700 ribu mil persegi daratan Indonesia dan 4,5 jta mil persegi daratan yang dipenuhi dengan gunung, hutan, dan rimba-rimba, maka mustahil apabila dapat direbut oleh 100 ribu tentara Belanda itu. Syaratnya, 70 juta rakyat Indonesia tetap menolak penjajah dan prajuritnya terus menerus menyerang sehingga kita berani memutuskan bahwa siasat yang terbaiik bagi kita. (Malaka).
     Inilah dasar dari perbedaan arah pergerakan dua tokoh bangsa dalam memperjuangkan negaranya. Namun keberuntungan menyelimuti Syahrir, hal ini tampak ketika ia memimpin sebagai perdana menteri, ditambah pula terdapat kesamaan antara pemikiran Bung Karno dengan Syahrir dan juga Syahrir merupakan orang kepercayaan dari Bung Hatta. Kedekatan ini  membuat Syahrir lebih mendapat tempat.
     Sedangkan Tan Malaka merupakan seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya untuk merantau keliling dunia memperjuangkan paham Komunis, sehingga dia kurang begitu dikenal oleh rakyat. Walaupun demikian Malaka mampu menarik simpati masyarakat dengan membentuk Persatuan Perjuangan untuk menentang kebijakan Syahrir pada masa itu.
     Di satu sisi pertentangan ini membawa dampak positif, karena memberikan kesadaran bagi rakyat untuk berjuang melawan penjajah yang ingin menancapkan kembali kekuasaannya di Indonesia, di sisi lain terdapat segi negatif yaitu membuat politik dalam negeri tidak stabil. Padahal yang dibutuhkan saat itu adalah kesamaan pandangan guna memuluskan perjuangan bangsa. Tan Malaka mengkritik secara habis-habisan kebijakan pemerintah terutama masalah perundingan dengan Belanda, hal ini membuat Syahrir tiga kali jatuh dari kabinet.
     Republik, yang selama perundingan lebih dari setahun lamanya, hanya menggantungkan diri dari pada hasil perundingan dan pembangunaan bersama Belanda, tertipu dan terluka. Republik kehilangan Jawa Barat, sebagian Jawa Tehgah dan Jawa Timur. Jarak belanda sekarang hanya sekitar 40 km dari Solo. Pemerintah Republik, yang kena segap, tertipu dan terluka itu menerima begitu saha permintaan PBB, untuk mengadakan’gencatan perang’ dan menerima KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai ‘badan perantara’. (Tan Malaka)
     Walaupun begitu tajam dan kritis kritik dari pergerakan Tan Malaka, Syahrir tetap yakin akan pendiriannya dan ini membuahkan hasil ketika Belanda melanggar janjinya sendiri, sehingga permasalahan Indonesia menjadi permasalah Internasional, di sinilah titik terang dari keyakinan dan pemikiran Syahrir dalam menghadapi Belanda, walaupun begitu Syahrir tidak mempu membendung pihak oposisi untuk menjatuhkannya.
  


BAB III
KESIMPULAN

3.1            Kesimpulan
     Dari penulisan di atas dapat dikatakan bahwa kedua tokoh ini yaitu Sutan Syahrir dan Tan Malaka merupakan seorang nasionalis sejati dan sulit untuk menyangsikan keduanya, akibat dari pemikiran dan pengalaman yang berbeda membawa mereka kedalam suatu pertentangan mengenai cara untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.
     Dewasa ini kita harus lebih jernih dalam berfikir, kita harus bisa memahami inti atau maksud diantara mereka kedua, sudah selayaknya mereka berdua menjadi pahlawan nasional, karena pada masa ini tokoh perjuangan yang menuliskan karya guna membangkitkan semangat ketahanan nasional hanyalah Syahrir dan Malaka. Selain itu merekalah orang yang betul-betul kritis dalam menghadapi tantangan bangsa dalam menghadapi Belanda.
     Walaupun begitu pada akhirnya mereka bernasib sama yaitu mati dalam sebagai tahanan politik. Untuk Tan Malaka masih terdapat simpang siur mengenai kematiannya dan hingga saat ini jasadnya tidak diketahui keberdaannya.



DAFTAR PUSTAKA

·         BUKU:
Malaka, Tan. 2012. GERPOLEK. Depok:DIANDRA.
·         JURNAL:
Faisal dan Firdaus, Syam. 2015. Tan Malaka, Revolusi Indonesia Terkini.        Jakarta: Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan. Vol. 11, No.           1:1557-1587.
Maulana, Eko.2014. Pemikiran Politik Sutan Syahrir Dalam Revolusi. Jombang: Jurnal Review Politik. Vol. 4,No. 1:31-41.
Rizal, Niyus Anton. 2012. Gejolak Pemikiran Dua Tokoh Indonesia Masa       Revolusi Kemerdekaan. Sumatra Barat : Jurnal Studi Pendidikan             Sejarah STKIP PGRI.
Syahra, Cut Junianti. 2012. Pemikiran Politik Soetan Sjahrir. Medan: Jurnal    Dinamika Politik. Vol. 1, No.2:31-36.

    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar