BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sutan Syahir merupakan seorang tokoh pergerakan nasional,
seorang keturunan bangsawan dari Sumatra Barat. Sutan Syahrir lahir pada 5
Maret 1909. Darah bangsawan mengalir dalam tubuhnya, sehingga keadaan kehidupan
Sutan Syahrir berbeda dengan anak pribumi lainnya. Ayahnya bernama Moh. Rasad
Gelar Maha Raja Soetan menjabat sebagai jaksa agung di Medan. Sedangkan ibunya
bernama Poetri Siti Rabiah, juga seorang bangsawan daerah Natal.
Melihat asal-usul keturunan Sutan Syahrir, maka sudah sepatutnya
dia hidup dalam serba kecukupan sebagai seorang bangsawan. Ketika masa mudanya,
ia disekolahkan ELS dan MULO di Medan. Kesempatan belajar ini digunakan
semaksimal mungkin untuk mempelajari berbagai hal, baik itu sejarah, filsafat,
dan lain sebagainya. Ketika menamatkan MULO Sutan Syahrir melanjutkan
pendidikannya ke pulau Jawa di Algemene
Middlebare School di Bandung. Kepribadian yang kritis mulai lahir dari
dalam pikirannya, disinilah Sutan Syahrir betul-betul sadar akan nasib bangsanya.
Hal ini membuatnya terjun ke dalam dunia politik ketika menjadi salah satu
perwakilan dari Sumatra untuk membentuk suatu perkumpulan pemuda Indonesia~Jong Indonesia~bersama dengan Muh. Yamin
dan M. Hatta.
Sutan Syahrir baru benar-benar terjun ke dalam kancah politik
bangsa ketika terjadi pemberontakan PKI di tahun 1926, dia sering di kejar oleh
petugas keamanan dikarenakan membaca berita pemberontakan PKI, karena tidak
boleh dikonsumsi oleh seorang siswa sepertinya. Setelah menyelesaikan studinya
di Bandung. Petualangan mencari ilmu diteruskan ke negeri induk yaitu Belanda,
pada Universitas Amsterdam. Sutan Syahrir sudah direncanakan untuk menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai jaksa agung di Medan. Menjadi seorang Mahasiswa di
Universitas Amsterdam, Syahrir mulai lebih dekat dengan Sosialis, ia masuk
dalam organisasi sosialis di sana di samping menjadi anggota Perhimpunan
Indonesia.
Hal ini jauh berbeda dengan lawan politik Syahrir nantinya yaitu
Tan Malaka. Dia merupakan seorang penggemar musik dan sepak bola di usia muda
bahkan termasuk ke dalam siswa yang nakal. Tan Malaka dilahirkan di desa Pandan
Gadang, tak jauh dari kecamatan Suliki Kabupaten Limopuluh koto, Payakumbuh,
Sumatra Barat pada tahun 1897. Beliau dilahirkan dengan nama Ibrahim Bin Rasad.
Ibunya bernama Rangkayo Sinah, putri dari salah satu orang yang disegani
didesanya.
Terdapat perbedaan pendapat tentang kelahiran Tan Malaka, namun
kita tidak memfokuskan kapan Tan Malaka lahir, lebih kepada isi dari pemikiran
Tan Malaka dalam mengisi kemerdekaan. Dengan kecerdasan dan kepandaian yang
dimiliki walaupun terlalu asik dalam dunia musik dan olah raga, Tan Malaka
mampu unggul dari teman-temannya di dunia pendidikan.
Pendidikan Tan Malaka di awali dengan sekolah rakyat, setelah
menyelesaikannya dilanjutkan dengan Sekolah Guru atau Kweekschool keduanya lulus dengan hasil yang sangat memuaskan.
Seorang guru eropa yang mengajarinya sangat tertarik atas pemikiran potensial
Malaka dan menyarankan agar Malaka meneruskan pendidikannya ke negeri Belanda
guna menempuh pendidikan lanjutan.
Tiba di negeri pada awalnya merupakan awal yang sulit bagi
Malaka, dia berusaha keras untuk berdaptasi dengan lingkungan baru baginya.
Malaka nyaris mengakhiri hidupnya akibat terserang penyakit paru-paru. Dalam memahami
mata pelajaran di perkuliahan tak kurang sulitnya bagi Malaka, karena dianggap
sangat jauh berbeda dan jauh dari manfaat bagi kehidupan di negerinya.
Untuk pertama kalinya Malaka mulai mengenal paham sosialisme
ketika dia tinggal bersama temannya orang Belanda yang sering membeli majalah
sosialis, dari situ ia mulai belajar dan tertarik atas pemikiran-pemikiran
sosialisme, sehingga dianggap begitu sesuai dengan kehidupan masyarakat
Indonesia ketika berada dalam belunggu penjajahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Dasar
Pemikiran Sutan Syahrir dan Tan Malaka Dalam Revolusi Indonesia
2.1.1 Sutan Syahrir
Sutan Syahrir merupakan
seorang tokoh bangsa lahir pada masa perjuangan. Banyak peneliti pemikiran
Syahrir mengatakan bahwa pemikirannya terlalu cerdas dan tidak sesuai dengan
zamannya, di mana orang secara garis
besar belum mampu untuk mencerna pemikiran beliau.
Pemikiran Syahrir identik dengan perpaduan pemikiran filsafat
sehingga agak sulit dimengerti ketika Syahrir mengidolakan paham sosialis namun
menentang keras bapak sosialis yaitu Marx. Pemikiran Marx dianggap olehnya
terlalu kaku dan diktator sehingga membuat manusia tidak merdeka dalam
bertindak dalam berbagai bidang kehidupan. Dia merupakan seorang tokoh humanis
yang menjunjung tinggi kebebasan individu dalam menjalankan kehidupan, di
samping itu juga seorang yang sangat menentang Fasisme, hal ini sangat jelas
ketika Syahrir menentang kegilaan dalam Nasionalisme sehingga dapat memunculkan
kebencian terhadap bangsa lain, disamping paham Kapitalisme, dan Kolonialisme.
Tidak hanya sampai disitu Syahrir juga sangat menentang
pemikiran dan pergerakan Lenin dan Stalin yang dianggap merusak martabat
manusia. Bagi Sjahrir pada akhirnya ajaran Leninisme dan Stalinisme telah menjadikan
manusiayang manusia asing, aneh dan memiliki rasa untuk tidak saling
mempercayai satu sama lain, jauh dari sikap sopan santun, kejujuran dan
kejernihan jiwa pada umumnya. Komunisme yang merupakan bentuk dari totalitarianisme
kiri telah menimbulkan sentralisme kekuasaan di dalam sebuah partai tunggal dan
menjadikan pimpinan partai bertindak sebagai seorang diktator. Sehingga sangat kecil
kemungkinan untuk melihat adanya sisi demokratis dari pemerintahan yang
dibangun di dalam alam komunisme. (Syahra, 2012:34)
Sjahrir tidak terombang-ambing dalam berbagai aliran
pemikiran, karena dia tetap berpegang pada satu fokus utama untuk menguji berbagai
pandangan dan pendapat yang dihadapinya. Cita-cita tentang kebebasan dan
kemandirian manusia inilah yang rupanya telah mendorong Sjahrir memilih
sosialisme sebagai paham politiknya, yang kemudian pada tahun 1948 dijadikan
dasar bagi partai politik yang didirikannya yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI).
(Syahra, 2012:32)
Pemikirannya yang cerdas membawa kedalam ranah politik
pergerakan nasional, Syahrir mengorbankan pendidikannya untuk memimpin
pergerakan PNI Baru. Di saat situasi politik reaksioner De Jonge sedang
dijalankan dan Syahrir merupakan korbannya, yaitu pengasingan ke Digul.
Masuknya Jepang ke Indonesia tidak membuat Syahrir tertarik untuk bekerja sama
dengan Jepang. Dia menyusun kekuatan di bawah tanah guna mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia yang menurutnya akan segera tiba.
Menurutnya kemerdekaan bukanlah arti dari segalanya bagi
Indonesia, namun kemerdekaan hanyalah menjadi sebagai alat untuk mencapai
kebebasan dalam kehidupan manusia. Menurut Sjahrir untuk menciptakan revolusi
dengan tepat dan teratur, dalam suatu negara haruslah ada suatu partai yang
revolusioner yang akan memimpin revolusi, yaitu mengurus segala kepentingan
masyarakat yang akan diperjuangkan, menetapkan strategi dan taktik perjuangan.
(Mulyana, 2014:34)
Pasca kemerdekaan Indonesia, Soekarno sebagai Presiden RI
menunjuk Syahrir sebagai perdana menteri. Syahrir langsung mengaplikasikan
ilmunya kedalam perjuangan revolusi Indonesia ketika menghadapi ancaman dari
Belanda. Untuk itu ia mengubah sistem presidensial menjadi sistem parlementer,
sebagaimana keyakinannya dalam pamfletnya bahwa kedaulatan harus ada di tangan
rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif yang dipilih melalui
pemilihan umum berasal dari partai politik. Partai-partai politik harus
dibentuk oleh mereka yang terdidik, berdisiplin, dan ber-pengetahuan modern
untuk membawa rakyat ke dalam revolusi. (Mulyana, 2014:34)
Syahrir menginginkan revolusi yang sedang berlangsung tidak
memakan korban jiwa bangsa Indonesia, Syahrir lebih menggunakan pendekatan Soft Power dalam penyelesaian masalah.
Kemerdekaan harus dicapai dengan cara yang elegan, dengan
cara-cara yang mengutamakan kemanusiaan, diplo-masi, dan tidak dengan perang
yang dipengaruhi oleh amarah. Untuk itu dalam setiap kebijakannya dalam
mencapai kemerdekaan, ia selalu mengutamakan jalan-jalan dialog dan diplomasi
dengan Belanda ataupun dengan sekutu untuk meraih simpati dunia dalam mendukung
tercapainya ke-merdekaan Indonesia. (Mulyana, 2014:38)
Syahrir sebagai tokoh perjuangan bangsa dalam menghadapi
revolusi kemerdekaan merupakan sosok yang sangat mengagungkan pemikiran
manusia, sehingga dengan jelas menolak perjuangan dalam bentuk kekerasan yang
membuat hilangnya kebebasan dan martabat manusia yang merdeka.
Keinginan Syahrir untuk mewujudkan cita-citanya yaitu
menginginkan suatu masyarakat sadar akan kehidupan dan nasibnya, mau berubah ke
dunia pemikiran rasional dan meninggalkan kebiasaan tradisional dengan
mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Ini dilakukan agar masyarakat dapat
didik dengan baik dan mempersiapkan pemimpin untuk benar-benar paham tentang
situasi bangsa. Dia menentang partai-partai massa dengan pemahaman minim
terhadap perjuangan rakyat sehingga cenderung tampak tidak efektif.
2.1.2 Tan Malaka
Mengutip kalimat Soekarno dengan menjuluki Tan Malaka adalah
sebagai Pecinta Sejati Republik Indonesia, dan juga terdapat M. Yamin ketika
menyamakan Malaka dengan Jefferson Washington, begitulah kejeniusan yang
dimiliki oleh anak bangsa pada masa itu.
Pemikiran Malaka dapat dibaca dengan sangat jelas, terutama
dengan berbagai karangan hasil tulisnya sendiri. Di negeri Belanda dia
menghabiskan waktu untuk mempelajari sosialis dan hampir sebagian usia
produktifnya dihabiskan dalam perantauan memperjuangkan Komunis di bawah
Komintern pusat.
Malaka baru kembali ke Indonesia setelah Belanda angkat kaki.
Dia juga seorang yang tak mau bekerja sama dengan Jepang. Terdapat beberapa
kesepakatan antara pemikiran Maxl dan Malaka yaitu mengenai prinsip revolusi
yaitu revolusi merupakan kejadian alami dalam kehidupan manusia, dan tidak ada
seorang manusia pun mampu untuk membuat revolusi.
Bagi Tan Malaka, revolusi tidak melahirkan diktator proletar
atau kediktatoran yang dilakukan oleh penguasa baru. Revolusi melahirkan sebuah
tatanan masyarakat baru yang beradab dan negara menghargai nilai kemanusiaan
dan hak politik warga negara. Bukan diktator proletar yang menindas rakyat. Ini
yang membedakan revolusi Tan Malaka dengan revolusi Karl Marx. Setelah negara
terbentuk, Tan Malaka mengusulkan sebuah negara yang berdasarkan hukum yang humanis,
tidak sarat dengan nilai diktator. (Faisal dan Syam. 2015)
Malaka baru benar-benar sadar ketika menjadi guru di Sumatra
tempat perkebunan buruh tembakau Deli, dia melihat perbedaan kelas yang sangat
mencolok antara pemodal dan pekerja, dia benar-benar sadar bahwa pertentangan
kelas harus dihapuskan di dalam kehidupan dengan revolusi. Selanjutnya dalam
pemikirannya mengenai perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia adalah dengan
cara menguasai seluruh aset negara, menguasai seluruh peralatan perang dari
Tangan Jepang dan selanjutnya, menyatakan “Merdeka 100%”.
Tan Malaka sangat menekankan perlunya pengakuan kemerdekaan
dari Belanda sebelum berunding dengan Indonesia karena ini merupakan hal mutlak
yang harus diakui baik oleh Belanda maupun negara lain, Malaka menginginkan
agar dunia tahu bahwa Indonesia mampu mengendalikan negerinya sendiri tanpa
bantuan tangan asing.
Dalam tulisan Faisal dan Syam ikut mengutip tulisan Malaka
yaitu Ide atau cita-cita ini ia tuangkan dalam buku Menuju Republik Indonesia. Ada sepuluh program ekonomi yang
diinginkannya, yakni, (1) Menasionalisasi pabrik-pabrik dan tambang- tambang
seperti tambang batu bara, timah, minyak dan tambang emas; (2) Menasionalisasi
hutan-hutan dan perusahaan-perusahaan modern, seperti perusahaan gula, karet,
teh, kopi, kina, kelapa, nila, dan tapioka; (3) Menasionalisasi
perusahaan-perisahaan lalulintas dan angkutan umum; (4) Menasionalisasi bank-bank,
perusahaanperusahaan perseorangan dan maskapaimaskapai perniagaan besar
lainnya; (5) Membangun industri-industri baru dengan bantuan negara; seperti
pabrik-pabrik mesin dan tekstil dan galangan kapal; (6)mendirikan koperasi-koperasi
rakyat dengan bantuan kredit yang murah oleh negara; (7) Memberikan bantuan
hewan dan alatalat kerja kepada kaum tani untuk memperbaiki pertaniannya dan
mendirikan kebun-kebun percontohan; (8) Transmigrasi; (9) pembagian lahan
produktif kepada petani yang tidak punya lahan serta bantuan bibit dan
keuangan, untuk mengusahakan tanah-tanah tersebut; dan (10) Menghapuskan
sisa-sisa tanah feodal dan tanah-tanah partikelir dan membagikan yang tersebut
belakangan ini kepada petani melarat dan proletar.
2.2
Pertentangan
Antara Sutan Syahrir dan Tan Malaka
Pada hakikatnya perbedaan yang terjadi antara kedua tokoh ini
menyangkut tentang pemikiran bagaimana cara berjuang menghadapi Belanda guna mempertahankan
kemerdekaan Indonesia untuk tidak lagi terjurumus ke dalam belenggu kolonial.
Di satu sisi Sutan Syahrir menganggap bahwa perjuangan ini harus diisi dengan
semangat perdamaian dan menghindari
kontak fisik, dikarenakan Sutan Syahrir sangat yakin bahwa perlengkapan militer
Indonesia jauh tertinggal dari Belanda yang disokong oleh Inggris, sehingga
jalan satu-satunya adalah dengan cara berdiplomasi dengan Belanda, disamping
itu juga tekad dari Sutan Syahrir yang menginginkan masalah Indonesia tidak
hanya menjadi masalah internal bagi negeri Belanda, tetapi menjadi pembicaraan
dunia internasional.
Zulhasri Nasir mengatakan (dalam Rizal, dkk) pertentangan Sutan
Sjahrir dan Tan Malaka bukanlah bersifat pribadi tetapi lebih pada garis dan
sikap perjuangan.
Di lain pihak terdapat Tan Malaka dengan keyakinan seratus
persen terhadap kekuatan bangsa. Tan Malaka tidak kalah kritis dalam menuangkan
idenya dalam mencapai kemerdekaan penuh. Tan Malaka mempertimbangkan secara
masak-masak cara untuk berjuang seperti halnya Syahrir.
Mengingat bahwa Indonesia memiliki 700 ribu
mil persegi daratan Indonesia dan 4,5 jta mil persegi daratan yang dipenuhi
dengan gunung, hutan, dan rimba-rimba, maka mustahil apabila dapat direbut oleh
100 ribu tentara Belanda itu. Syaratnya, 70 juta rakyat Indonesia tetap menolak
penjajah dan prajuritnya terus menerus menyerang sehingga kita berani
memutuskan bahwa siasat yang terbaiik bagi kita. (Malaka).
Inilah dasar dari perbedaan arah pergerakan dua tokoh bangsa
dalam memperjuangkan negaranya. Namun keberuntungan menyelimuti Syahrir, hal
ini tampak ketika ia memimpin sebagai perdana menteri, ditambah pula terdapat
kesamaan antara pemikiran Bung Karno dengan Syahrir dan juga Syahrir merupakan
orang kepercayaan dari Bung Hatta. Kedekatan ini membuat Syahrir lebih mendapat tempat.
Sedangkan Tan Malaka merupakan seorang pemuda yang menghabiskan
masa mudanya untuk merantau keliling dunia memperjuangkan paham Komunis,
sehingga dia kurang begitu dikenal oleh rakyat. Walaupun demikian Malaka mampu
menarik simpati masyarakat dengan membentuk Persatuan Perjuangan untuk
menentang kebijakan Syahrir pada masa itu.
Di satu sisi pertentangan ini membawa dampak positif, karena
memberikan kesadaran bagi rakyat untuk berjuang melawan penjajah yang ingin
menancapkan kembali kekuasaannya di Indonesia, di sisi lain terdapat segi
negatif yaitu membuat politik dalam negeri tidak stabil. Padahal yang
dibutuhkan saat itu adalah kesamaan pandangan guna memuluskan perjuangan
bangsa. Tan Malaka mengkritik secara habis-habisan kebijakan pemerintah
terutama masalah perundingan dengan Belanda, hal ini membuat Syahrir tiga kali
jatuh dari kabinet.
Republik, yang selama perundingan lebih dari setahun lamanya,
hanya menggantungkan diri dari pada hasil perundingan dan pembangunaan bersama
Belanda, tertipu dan terluka. Republik kehilangan Jawa Barat, sebagian Jawa
Tehgah dan Jawa Timur. Jarak belanda sekarang hanya sekitar 40 km dari Solo.
Pemerintah Republik, yang kena segap, tertipu dan terluka itu menerima begitu
saha permintaan PBB, untuk mengadakan’gencatan perang’ dan menerima KTN (Komisi
Tiga Negara) sebagai ‘badan perantara’. (Tan Malaka)
Walaupun begitu tajam dan kritis kritik dari pergerakan Tan
Malaka, Syahrir tetap yakin akan pendiriannya dan ini membuahkan hasil ketika
Belanda melanggar janjinya sendiri, sehingga permasalahan Indonesia menjadi
permasalah Internasional, di sinilah titik terang dari keyakinan dan pemikiran
Syahrir dalam menghadapi Belanda, walaupun begitu Syahrir tidak mempu membendung
pihak oposisi untuk menjatuhkannya.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Dari penulisan di atas dapat dikatakan bahwa kedua tokoh ini
yaitu Sutan Syahrir dan Tan Malaka merupakan seorang nasionalis sejati dan
sulit untuk menyangsikan keduanya, akibat dari pemikiran dan pengalaman yang
berbeda membawa mereka kedalam suatu pertentangan mengenai cara untuk
mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.
Dewasa ini kita harus lebih jernih dalam berfikir, kita harus
bisa memahami inti atau maksud diantara mereka kedua, sudah selayaknya mereka
berdua menjadi pahlawan nasional, karena pada masa ini tokoh perjuangan yang
menuliskan karya guna membangkitkan semangat ketahanan nasional hanyalah
Syahrir dan Malaka. Selain itu merekalah orang yang betul-betul kritis dalam
menghadapi tantangan bangsa dalam menghadapi Belanda.
Walaupun begitu pada akhirnya mereka bernasib sama yaitu mati
dalam sebagai tahanan politik. Untuk Tan Malaka masih terdapat simpang siur
mengenai kematiannya dan hingga saat ini jasadnya tidak diketahui keberdaannya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
BUKU:
Malaka, Tan. 2012. GERPOLEK. Depok:DIANDRA.
·
JURNAL:
Faisal
dan Firdaus, Syam. 2015. Tan Malaka,
Revolusi Indonesia Terkini. Jakarta:
Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan. Vol. 11, No. 1:1557-1587.
Maulana,
Eko.2014. Pemikiran Politik Sutan Syahrir
Dalam Revolusi. Jombang: Jurnal
Review Politik. Vol. 4,No. 1:31-41.
Rizal,
Niyus Anton. 2012. Gejolak Pemikiran Dua
Tokoh Indonesia Masa Revolusi
Kemerdekaan. Sumatra Barat : Jurnal Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI.
Syahra,
Cut Junianti. 2012. Pemikiran Politik
Soetan Sjahrir. Medan: Jurnal Dinamika
Politik. Vol. 1, No.2:31-36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar