Rabu, 24 Januari 2018

Politik Jepang Terhadap Umat Islam 1942-1945

BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
     Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan masa sulit bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan diri dari tekanan Jepang. Menjadi pertanyaan bagi kita sebagai manusia yang sadar akan sejarah bangsa; Jepang berhasil menguasai Indonesia kurang dari 100 hari, sebelumnya  Belanda butuh bertahun-tahun untuk menaklukkan bangsa ini.
     Sebelumnya tentara Hindia Belanda telah dipersiapkan untuk menyambut invasi Jepang, namun dengan mudah Jepang mengusir pasukan ini. Jepang merupakan bangsa yang bangkit dari ketertinggalan. Politik Isolasi telah menutup Jepang lebih dari 200 tahun, namun ketika Comodor Mathiu Perry datang memaksa Jepang mengakhiri Politik Isolasinya barulah lahir pembaharuan atau lebih dikenal dengan “Restorasi Meiji”, karena pada masa ini beralihnya kekuasaan dari Shogun ke Kaisar, dan terbentuklah struktur masyarakat baru Jepang.
     Jepang mulai bangkit dan mulai menunjukkan taringnya di mata dunia ketika mengalahkan Rusia sebagai kekuatan hebat dunia dalam perebutan Pulau Sakalin, Amerika datang sebagai penengah, diakhiri dengan perjanjian Portsmoth. Mendekati pecahnya perang dunia, Jepang mulai kesulitan untuk mengendalikan komposisi penduduknya yang bertambah banyak, selain itu Jepang juga semakin banyak membutuhkan bahan baku alam guna produksi industri.
     Ajaran Hakko Ichiu memandang Jepang sebagai pemimpin di antara bangsa Asia lainnya dengan delapan penjuru mata angin, inilah hakikat dari keinginan Jepang menduduki wilayah Asia Pasifik, walaupun secara implisit terdapat motif ekonomi dan pandangan fasisme. Hal ini membawa Jepang masuk ke dalam blok poros di perang dunia.
     Usaha Jepang untuk menarik simpati masyarakat dunia khususnya Asia telah dilakukan dari tahun 1930an, ketika Jepang melakukan pendekatan terhadap agama Islam. Jepang memandang pentingnya pendekatan terhadap agama Islam karena penduduk di Asia khususnya Indonesia merupakan penduduk dengan komposisi mayoritas muslim.
     Jepang mengungkapkan bahwa bangsanya merupakan bangsa pelindung bagi bangsa Asia lainnya dan juga bangsa penyelamat agama Islam yang tergusur atas kebijakan pemerintah kolonial. Menarik untuk dikaji, bahwa pemimpin di Indonesia mulai mempersiapkan diri terhadap kedatangan Jepang, karena sudah dapat diramalkan kekalahan Hindia Belanda. Tidak terkecuali bagi golongan Islam, baik di pulau Jawa maupun di pulau lain.
     Jepang telah banyak belajar tentang pemerintahan kolonila, sehingga Jepang berharap mampu mengendalikan rakyat dengan mudah. Perlunya pendekatan kepada suatu golongan yang dianggap setia oleh Jepang, agar mampu memuluskan jalan mereka dalam perang.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1            Menarik Simpati Masyarakat Islam
     Pada 7 Desember 1942, Jepang melakukan pengeboman terhadap pelabuhan Amerika Serikat di Hawai yaitu Pearl Harbor. Pengeboman ini dilakukan karena kebijakan Amerika untuk mengembargo seluruh hasil alam kepada Jepang. Pada 8 Desember 1942 secara resmi dan dipimpin oleh Amerika, bahwa negara-negara penjajah di Asia menyatakan perang terhadap Jepang.
     Pada 10 Januari 1942, Jepang memasuki Kalimantan, dilanjutkan dengan Palembang pada Februari. Pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang dalam waktu yang sangat singkat.(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:3). Akhir dari usaha Jepang untuk mendapat seluruh Indonesia ialah ketika menyerahnya Hindia Belanda kepada Jepang dengan Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942.
     Jepang langsung bergerak cepat ketika secara de jure seluruh kekuasaan didapatkan. Karena sadar bahwa perang akan berlangsung lama, sistem pemerintahan baru di Indonesia mulai terbentuk di bawah pimpinan militer. Sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia, Jepang telah mengkaji komposisi penduduk Indonesia dan pergerakan tokoh politik Indonesia.
     Ketika Belanda menjajah Indonesia, para bangsawan mendapat tempat yang istimewa dibandingkan dengan pribumi biasa, sehingga muncullah kecemburuan sosial. Di samping itu, bagi tokoh agama, Belanda mengesampingkan mereka, karena dianggap bukan kunci perlawanan terhadap kedudukan Belanda di Indonesia. Di sinilah Jepang mulai memutar balik kebijakan dengan melakukan pendekatan terhadap tokoh Islam di Indonesia.
     Dalam rangka melukiskan kehidupan politik pada jaman pandudukan Jepang, perlu golongan nasionalis Islam memperolah sorotan khusus karena telah memperoleh perhatian istimewa dari pemerintah pendudukan Jepang.(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:25)
     Benda menjelaskan bahwa sejak awal di Indonesia, Jepang telah menjadikan urusan keIslaman sebagai prioritas untuk ditangani. Bahkan sebelum barisan propagandanya bergerak, sudah ada beberapa prajurit Jepang berseragam mengikuti shalat Jum’at di sebuah Masjid di Jakarta, yang mengejutkan lagi adalah Kolonel Horie berpidato di Masjid Kwitang dengan didampingi Muhammad Abdul Muniam Inada, seorang Jepang beragama Islam.(Haris, 2012:141).
     Jepang menganggap pendekatan kepada kaum nasionalis agama lebih berhasil dari pada melakukan pendekatan kepada kaum nasionalis sekuler, di karenakan kebencian kaum nasionalis agama dilatar belakangi oleh ideologi agama yaitu agama Islam yang menentang kekuasaan kafir atau anti Barat.
     Pendukakan Jepang di Indonesia memberikan kebebasan kepada kaum agama untuk melakukan kegiatan namun tidak dalam hal politik. Jepang belajar banyak dari Belanda ketika mengizinkan rakyat untuk berpolitik maka situasi keamanan tidak kondusif.
     Di Aceh kedudukan Belanda menjelang masuknya Jepang sudah sangat kecil, sehingga rakyat lebih leluasa untuk bergerak. Jepang melakukan pendekatan terhadap ulama Aceh di bawah Fujiwara, dia mengundang ulama Aceh untuk berunding, dan kedatangan Jepang ke Aceh disambut dengan sangat baik oleh seluruh masyarakat. Ulama Aceh turut membantu Jepang untuk mengejar sisa dari pasukan kolonial di Aceh.
     Di Pulau Jawa respon terhadap eksistensi Jepang membuat tokoh agama Islam terutama petinggi NU menjunjung bangsa Jepang sebagai bangsa Asia yang maju. Hal ini sesuai dengan kutipan dari Berita Nahdatul Ulama (dalam Mawardi, 2008); Kekaguman masyarakat dan kia-kiai NU terhadap Jepang sudah muncul sejak tahun 1936, Jepang disanjung-sanjung sebagai bangsa yang mempunyai jiwa kuat dan bersifat gagah berani sehingga mampu dengan mudah menguasai Tiongkok. Kolonel Horie sebagai pejabat yang manangani masalah-masalah keagamaan terus untuk menggarap kyahi yang berada di daerah Jawa Barat.(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:25).
     Agitasi yang dilakukan oleh Jepang terhadap dunia Islam betul-betul memesonakan umat Islam Indonesia, terutama masyarakat NU dalam tahun 1930-an, setelah K.H. Machfudz Siddiq pulang dari Jepang dengan membawa pengalaman yang luar biasa mengenai perkembangan industri Jepang terutama industri militer, maka masyarakat NU semakin meyakini bahwahanya kekuatan Jepang-lah yang mampu membebaskan umat Islam Indonesia dari penjajahan Belanda. (Mawardi, 2008). Tidak sampai di situ bahkan petinggi-petinggi NU menyerukan agar masyarakat bersiap-siap dengan kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia. Ini merupakan keberhasilan bangsa Jepang dalam melakukan pendekatan terhadap rakyat.
     Dalam rangka memberikan keistimewaan kepada golongan Islam, pemerintah militer Jepang mengizinkan untuk tetap berdirinya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dengan alasan bahwa MIAI merupakan pusat dari propaganda Jepang terhadap rakyat. Kedudukan tokoh agama di pedesaan dianggap sangat strategis karena merekalah yang mampu mencapai akar rumput masyarakat.
     Mawardi menyatakan, kiai kampung pada masa pendudukan Jepang mempunyai peran sangat penting dalam fungsinya sebagai jembatan untuk melakukan komunkasi politik antara pemerintah pendudukan dengan rakyat. Dalam konteks pemerintah, kiai kampung diharapkan mampu menjadi propagandais dalam rangka untuk meningkatkan produksi dan kerjasama untuk dan kerjasama untuk kepentingan perang sedangkan bagi rakyat kiai kampung adalah panutan dan pelindung yang sangat diharapkan mampu menghindarkan mereka dari kebijakan keras Jepang.
     Ketika MIAI berkembang dengan sangat pesat terdapat dua penafsiran dari kebanyakan penulis sejarah Indonesia yaitu, pertama; MIAI dianggap tidak efektif sebagai sebuah organisasi propaganda dan Jepang mulai mengarahkan pendekatan politiknya kepada tokoh agama perkotaan terutam petinggi NU, hampir semua dari masyarakat NU terhindar dari Romusha Jepang, kedua; MIAI berkembang dengan sangat pesat dalam masyarakat Jawa, ditakutkan akan terjadi perlawanan massa yang dilakukan oleh MIAI maka MIAI dibubarkan, selanjutnya digantikan oleh Masyumi.
     Ketua Masyumi, K.H. Asyari diangkat menjadi penasehat Gunseikan, dan di dalam badan-badan seperti Cuo Sangi In maupun Syu Sangikai banyak tokoh Islam yang duduk sebagai anggota. Bila dalam masa pemerintahan Belanda, dalam badan legislatif yang terdiri dari 60 orang anggota, golongan Islam hanya diwakili oleh seorang wakil, di jaman Jepang dalam  Cuo Sangi In yang beranggotaka 43 orang, golongan Islam diwakili oleh 6 orang tokoh-tokoh Islam, yakni di antaranya K.H.A. Halim, ulama dari Cirebon, K.H. Wahid Hasyim, ketua Nahdatul Ulama, dan K.H. Fachuffachman pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur.(Poesponegora dan Notosusanto, 1993:26)
     Hary menjelaskan;selama awal tahun 1943 Shumubu banyak menghabiskan waktu untuk melakukan pendekatan kepada kiai-kiai dan ulama pedesaan untuk dijadikan propagandais Jepang. Usaha ini secara serius dilaksanakan setelah Gunseikan mengalihkan kebijakan dengan pengakuan pemerintah militer Jepang terhadap kiai-kiai dan ulama pedesaan sebagai faktor penting dalam masyarakat Indonesia.(Mawardi, 2008).
     Hal ini tidak hanya terbatas di Pulau Jawa, tetapi sama halnya dengan kepulauan lain di Indonesia. Sehingga ini merupakan suatu kebijakan yang meninggalkan permasalahan internal rakyat Indonesia ketika Jepang angkat kaki. Seperti yang terjadi di Aceh yaitu Perang Cumbok, bahkan hal ini berdampak pada ideologi dasar negara yaitu Islam atau Pancasila, karena dianggap Islam sangat berperan bagi kemerdekaan bangsa ini.

2.2            Respon Kelompok Islam Terhadap Kebijakan Jepang
     Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, kehidupan masyarakat sangat sulit. Mereka terpaksa bekerja demi kepentingan Jepang. Bahkan pada masa ini bahan untuk pembuatan baju pakai tidak cukup ditambah lagi dengan ketidakmampuan rakyat untuk membelinya.
     Pada awal mula masuknya Jepang ke Indonesia, rakyat seakan sangat senang karena menganggap Jepang akan membawa Indonesia ke arah kemajuan seperti bangsa lain. Ditambah pula dengan pendekatan Jepang melalui pernyataan;Jepang sebagai saudara tua bangsa Indonesia, dan Jepang bermaksud untuk mengangkat martabat bangsa Asia.
     Bagi golongan Islam Indonesia tidak jauh berbeda sikapnya terhadap Jepang saat awal mula pendudukan, hal ini terutama karena penyataan Kolonel Horie, yaitu akan tetap menghormati sekaligus menjaga agama Islam, namun hanya terbatas di bidang agama tidak untuk berpolitik, pernyataan ini terealisasikan dengan pembentukan birokrasi bagian pengajaran dan kebudayaan.
     Sikap istimewa Jepang kepada Islam ternyata dimanfaatkan dengan sebaik mungkin oleh para tokoh Islam. Hal ini dikarenakan para tokoh Islam ingin menaikkan status sosialnya dalam masyarakat, karena pada masa kolonial tokoh agama hanya dipandang sebelah mata. Golongan Islam memanfaatkan kesempatan ini dengan bekerja sama dengan Jepang, walaupun secara implisit mereka memiliki tujuan sendiri.
     Aboebakar menjelaskan, kolaborasi dalam bentuk kerja sama itu kemudian memunculkan sikap manis muka, kemahiran bersandiwara politik umat Islam sangat baik, di saat pemerintah militer membutuhkan dukungan rakyat maka setiap kegiatan yang dilakukan untuk menyelamatkan keberagamaan umat Islam dan kehancuran kehidupan rakyat dikatakan sebagai usaha dalam rangka menuju kemenangan Asia Timur Raya.(Mawardi, 2008)
     Menarik dilihat bahwa Nahdatul Ulama dapat dikatakan golongan Islam yang sangat erat dengan pemerintah pendudukan. Zuhri menyatakan Sikap kolaborasi dengan Jepang ini dibangun dari sebuah kesadaran bahwa akan lebih baik apabila memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh Jepang untuk memperkuat posisi NU dan menyelematkan warga akar rumput NU. (Mawardi, 2008).
     Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemaksaan kebudayaan Jepang terhadap para golongan Islam telah menodai idelogi Islam, yaitu kegiatan yang wajib dilakukan oleh rakyat untuk menghormati kaisar Jepang sebagai titisan dewa matahari atau seikere. Kegiatan wajib ini bertentangan dengan Islam karena dianggap seperti menyembah kaisar. Akibat penetrasi kebudayaan yang bertentangan dengan agama, usaha-usaha untuk menentang kebijakan Jepang dilakukan, terutama para ulama NU, dengan langsung mengeluarkan fatwa haram terhadap kegiatan seikere. Bahkan hal ini berujung kepada penangkapan tokoh NU.
     Penentangan yang lebih keras dilakukan oleh K.H. Zainal Mustofa di Tasikmalaya dan di Cot Pling dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil. Keadaan yang semakin berbahaya membuat Jepang kewalahan dalam merespon perlawanan rakyat. Ditambah pula dengan kekalahan-kekalahan pada perang pasifik membuat Jepang harus lebih lunak kepada kaum agama. Pernyataan maaf langsung diutarakan oleh pemerintah yang berdalih bahwa bangsa Jepang belum sepenuhnya paham tentang Islam dan diterima oleh rakyat.
     Kemenangan yang sangat nyata diperoleh kaum agama ketika K.H. Mas Mansur dimasukkan ke dalam organisasi Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan digabungkan bersama Ir. Seokarno, Moh. Hatta, dan Suwardi Suyaningrat dengan julukan “Empat Serangkai”. Sebelumnya golongan Islam hampir tidak pernah mendapatkan jabatan strategis pada masa kolonial.
    
    


BAB III
KESIMPULAN

3.1            Kesimpulan
     Sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia, Jepang telah mempersiapkan pendekatan mantap untuk melakukan pendekatan kepada tokoh pemimpin bangsa Indonesia agar mau mendukung Jepang dalam perang. Selain itu Jepang juga berhasil membuat golongan nasionalis agama yaitu agama Islam untuk mau bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Struktur sosial pada masa Kolonial yang mementingkan golongan bangsawan dan mengesampingkan golongan agama segera diubah oleh Jepang dengan memberikan keleluasaan kepada golongan agama dibandingkan dengan golongan bangsawan.
     Seikere merupakan penyebab dari perlawanan golongan agama secara reaksioner kepada pemerintah pendudukan Jepang karena bertentangan dengan ideologi agama Islam. Permintaan maaf dari pihak Jepang direspon dengan baik oleh tokoh agama terutama di pulau Jawa. Golongan agama memanfaatkan kesempatan rasa simpati Jepang secara maksimal hingga melahirkan Masyumi sebagai salah satu organisasi politik terbesar pasca kemerdekaan Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. SEJARAH          NASIONAL INDONESIA IV. Cet,VII. Jakarta: Balai Pustaka.
Haris, Munawir. 2012. Potret Partisipasi Politik NU Dalam Lintasan Sejarah.   Sorong: Jurnal Review Politik. Vol. 2, No.2:135-152.

Mawardi, Khalid. 2008. Komunikasi Politik Kiai NU Pada Masa Pendudukan            Jepang. Purwokerto: Jurnal Komunika. Vol. 2, No. 2:233-249.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar