BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pendudukan Jepang di
Indonesia merupakan masa sulit bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan diri
dari tekanan Jepang. Menjadi pertanyaan bagi kita sebagai manusia yang sadar
akan sejarah bangsa; Jepang berhasil menguasai Indonesia kurang dari 100 hari,
sebelumnya Belanda butuh bertahun-tahun
untuk menaklukkan bangsa ini.
Sebelumnya tentara
Hindia Belanda telah dipersiapkan untuk menyambut invasi Jepang, namun dengan
mudah Jepang mengusir pasukan ini. Jepang merupakan bangsa yang bangkit dari
ketertinggalan. Politik Isolasi telah menutup Jepang lebih dari 200 tahun,
namun ketika Comodor Mathiu Perry datang memaksa Jepang mengakhiri Politik
Isolasinya barulah lahir pembaharuan atau lebih dikenal dengan “Restorasi Meiji”,
karena pada masa ini beralihnya kekuasaan dari Shogun ke Kaisar, dan
terbentuklah struktur masyarakat baru Jepang.
Jepang mulai bangkit dan mulai menunjukkan taringnya di mata
dunia ketika mengalahkan Rusia sebagai kekuatan hebat dunia dalam perebutan Pulau
Sakalin, Amerika datang sebagai penengah, diakhiri dengan perjanjian Portsmoth.
Mendekati pecahnya perang dunia, Jepang mulai kesulitan untuk mengendalikan
komposisi penduduknya yang bertambah banyak, selain itu Jepang juga semakin
banyak membutuhkan bahan baku alam guna produksi industri.
Ajaran Hakko Ichiu memandang Jepang sebagai pemimpin di antara
bangsa Asia lainnya dengan delapan penjuru mata angin, inilah hakikat dari
keinginan Jepang menduduki wilayah Asia Pasifik, walaupun secara implisit
terdapat motif ekonomi dan pandangan fasisme. Hal ini membawa Jepang masuk ke
dalam blok poros di perang dunia.
Usaha Jepang untuk menarik simpati masyarakat dunia khususnya
Asia telah dilakukan dari tahun 1930an, ketika Jepang melakukan pendekatan terhadap
agama Islam. Jepang memandang pentingnya pendekatan terhadap agama Islam karena
penduduk di Asia khususnya Indonesia merupakan penduduk dengan komposisi
mayoritas muslim.
Jepang mengungkapkan bahwa bangsanya merupakan bangsa pelindung
bagi bangsa Asia lainnya dan juga bangsa penyelamat agama Islam yang tergusur
atas kebijakan pemerintah kolonial. Menarik untuk dikaji, bahwa pemimpin di
Indonesia mulai mempersiapkan diri terhadap kedatangan Jepang, karena sudah
dapat diramalkan kekalahan Hindia Belanda. Tidak terkecuali bagi golongan
Islam, baik di pulau Jawa maupun di pulau lain.
Jepang telah banyak belajar tentang pemerintahan kolonila,
sehingga Jepang berharap mampu mengendalikan rakyat dengan mudah. Perlunya
pendekatan kepada suatu golongan yang dianggap setia oleh Jepang, agar mampu
memuluskan jalan mereka dalam perang.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Menarik
Simpati Masyarakat Islam
Pada 7 Desember 1942, Jepang melakukan pengeboman terhadap
pelabuhan Amerika Serikat di Hawai yaitu Pearl Harbor. Pengeboman ini dilakukan
karena kebijakan Amerika untuk mengembargo seluruh hasil alam kepada Jepang.
Pada 8 Desember 1942 secara resmi dan dipimpin oleh Amerika, bahwa
negara-negara penjajah di Asia menyatakan perang terhadap Jepang.
Pada 10 Januari 1942, Jepang memasuki Kalimantan, dilanjutkan
dengan Palembang pada Februari. Pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan
kemenangan di pihak Jepang dalam waktu yang sangat singkat.(Poesponegoro dan
Notosusanto, 1993:3). Akhir dari usaha Jepang untuk mendapat seluruh Indonesia
ialah ketika menyerahnya Hindia Belanda kepada Jepang dengan Perjanjian
Kalijati pada 8 Maret 1942.
Jepang langsung bergerak cepat ketika secara de jure seluruh kekuasaan didapatkan. Karena
sadar bahwa perang akan berlangsung lama, sistem pemerintahan baru di Indonesia
mulai terbentuk di bawah pimpinan militer. Sebelum kedatangan Jepang ke
Indonesia, Jepang telah mengkaji komposisi penduduk Indonesia dan pergerakan
tokoh politik Indonesia.
Ketika Belanda menjajah Indonesia, para bangsawan mendapat
tempat yang istimewa dibandingkan dengan pribumi biasa, sehingga muncullah
kecemburuan sosial. Di samping itu, bagi tokoh agama, Belanda mengesampingkan
mereka, karena dianggap bukan kunci perlawanan terhadap kedudukan Belanda di
Indonesia. Di sinilah Jepang mulai memutar balik kebijakan dengan melakukan
pendekatan terhadap tokoh Islam di Indonesia.
Dalam rangka melukiskan kehidupan politik pada jaman pandudukan
Jepang, perlu golongan nasionalis Islam memperolah sorotan khusus karena telah
memperoleh perhatian istimewa dari pemerintah pendudukan Jepang.(Poesponegoro
dan Notosusanto, 1993:25)
Benda menjelaskan bahwa sejak awal di Indonesia, Jepang telah
menjadikan urusan keIslaman sebagai prioritas untuk ditangani. Bahkan sebelum
barisan propagandanya bergerak, sudah ada beberapa prajurit Jepang berseragam
mengikuti shalat Jum’at di sebuah Masjid di Jakarta, yang mengejutkan lagi
adalah Kolonel Horie berpidato di Masjid Kwitang dengan didampingi Muhammad
Abdul Muniam Inada, seorang Jepang beragama Islam.(Haris, 2012:141).
Jepang menganggap pendekatan kepada kaum nasionalis agama lebih
berhasil dari pada melakukan pendekatan kepada kaum nasionalis sekuler, di
karenakan kebencian kaum nasionalis agama dilatar belakangi oleh ideologi agama
yaitu agama Islam yang menentang kekuasaan kafir atau anti Barat.
Pendukakan Jepang di Indonesia memberikan kebebasan kepada kaum
agama untuk melakukan kegiatan namun tidak dalam hal politik. Jepang belajar
banyak dari Belanda ketika mengizinkan rakyat untuk berpolitik maka situasi
keamanan tidak kondusif.
Di Aceh kedudukan Belanda menjelang masuknya Jepang sudah sangat
kecil, sehingga rakyat lebih leluasa untuk bergerak. Jepang melakukan
pendekatan terhadap ulama Aceh di bawah Fujiwara, dia mengundang ulama Aceh
untuk berunding, dan kedatangan Jepang ke Aceh disambut dengan sangat baik oleh
seluruh masyarakat. Ulama Aceh turut membantu Jepang untuk mengejar sisa dari
pasukan kolonial di Aceh.
Di Pulau Jawa respon terhadap eksistensi Jepang membuat tokoh
agama Islam terutama petinggi NU menjunjung bangsa Jepang sebagai bangsa Asia
yang maju. Hal ini sesuai dengan kutipan dari Berita Nahdatul Ulama (dalam
Mawardi, 2008); Kekaguman masyarakat dan kia-kiai NU terhadap Jepang sudah
muncul sejak tahun 1936, Jepang disanjung-sanjung sebagai bangsa yang mempunyai
jiwa kuat dan bersifat gagah berani sehingga mampu dengan mudah menguasai
Tiongkok. Kolonel Horie sebagai pejabat yang manangani masalah-masalah
keagamaan terus untuk menggarap kyahi yang berada di daerah Jawa
Barat.(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993:25).
Agitasi yang dilakukan oleh Jepang terhadap dunia Islam
betul-betul memesonakan umat Islam Indonesia, terutama masyarakat NU dalam
tahun 1930-an, setelah K.H. Machfudz Siddiq pulang dari Jepang dengan membawa
pengalaman yang luar biasa mengenai perkembangan industri Jepang terutama
industri militer, maka masyarakat NU semakin meyakini bahwahanya kekuatan
Jepang-lah yang mampu membebaskan umat Islam Indonesia dari penjajahan Belanda.
(Mawardi, 2008). Tidak sampai di situ bahkan petinggi-petinggi NU menyerukan
agar masyarakat bersiap-siap dengan kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia. Ini
merupakan keberhasilan bangsa Jepang dalam melakukan pendekatan terhadap
rakyat.
Dalam rangka memberikan keistimewaan kepada golongan Islam,
pemerintah militer Jepang mengizinkan untuk tetap berdirinya MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia) dengan alasan bahwa MIAI merupakan pusat dari propaganda
Jepang terhadap rakyat. Kedudukan tokoh agama di pedesaan dianggap sangat
strategis karena merekalah yang mampu mencapai akar rumput masyarakat.
Mawardi menyatakan, kiai kampung pada masa pendudukan Jepang mempunyai
peran sangat penting dalam fungsinya sebagai jembatan untuk melakukan komunkasi
politik antara pemerintah pendudukan dengan rakyat. Dalam konteks pemerintah,
kiai kampung diharapkan mampu menjadi propagandais dalam rangka untuk
meningkatkan produksi dan kerjasama untuk dan kerjasama untuk kepentingan
perang sedangkan bagi rakyat kiai kampung adalah panutan dan pelindung yang
sangat diharapkan mampu menghindarkan mereka dari kebijakan keras Jepang.
Ketika MIAI berkembang dengan sangat pesat terdapat dua
penafsiran dari kebanyakan penulis sejarah Indonesia yaitu, pertama; MIAI
dianggap tidak efektif sebagai sebuah organisasi propaganda dan Jepang mulai
mengarahkan pendekatan politiknya kepada tokoh agama perkotaan terutam petinggi
NU, hampir semua dari masyarakat NU terhindar dari Romusha Jepang, kedua; MIAI berkembang dengan sangat pesat dalam
masyarakat Jawa, ditakutkan akan terjadi perlawanan massa yang dilakukan oleh
MIAI maka MIAI dibubarkan, selanjutnya digantikan oleh Masyumi.
Ketua Masyumi, K.H. Asyari diangkat menjadi penasehat Gunseikan,
dan di dalam badan-badan seperti Cuo
Sangi In maupun Syu Sangikai
banyak tokoh Islam yang duduk sebagai anggota. Bila dalam masa pemerintahan
Belanda, dalam badan legislatif yang terdiri dari 60 orang anggota, golongan
Islam hanya diwakili oleh seorang wakil, di jaman Jepang dalam Cuo
Sangi In yang beranggotaka 43 orang, golongan Islam diwakili oleh 6 orang
tokoh-tokoh Islam, yakni di antaranya K.H.A. Halim, ulama dari Cirebon, K.H.
Wahid Hasyim, ketua Nahdatul Ulama, dan K.H. Fachuffachman pimpinan
Muhammadiyah Jawa Timur.(Poesponegora dan Notosusanto, 1993:26)
Hary menjelaskan;selama awal tahun 1943 Shumubu banyak menghabiskan waktu untuk melakukan pendekatan kepada
kiai-kiai dan ulama pedesaan untuk dijadikan propagandais Jepang. Usaha ini
secara serius dilaksanakan setelah Gunseikan
mengalihkan kebijakan dengan pengakuan pemerintah militer Jepang terhadap
kiai-kiai dan ulama pedesaan sebagai faktor penting dalam masyarakat Indonesia.(Mawardi,
2008).
Hal ini tidak hanya terbatas di Pulau Jawa, tetapi sama halnya
dengan kepulauan lain di Indonesia. Sehingga ini merupakan suatu kebijakan yang
meninggalkan permasalahan internal rakyat Indonesia ketika Jepang angkat kaki.
Seperti yang terjadi di Aceh yaitu Perang Cumbok, bahkan hal ini berdampak pada
ideologi dasar negara yaitu Islam atau Pancasila, karena dianggap Islam sangat
berperan bagi kemerdekaan bangsa ini.
2.2
Respon
Kelompok Islam Terhadap Kebijakan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, kehidupan masyarakat
sangat sulit. Mereka terpaksa bekerja demi kepentingan Jepang. Bahkan pada masa
ini bahan untuk pembuatan baju pakai tidak cukup ditambah lagi dengan
ketidakmampuan rakyat untuk membelinya.
Pada awal mula masuknya Jepang ke Indonesia, rakyat seakan
sangat senang karena menganggap Jepang akan membawa Indonesia ke arah kemajuan
seperti bangsa lain. Ditambah pula dengan pendekatan Jepang melalui
pernyataan;Jepang sebagai saudara tua bangsa Indonesia, dan Jepang bermaksud
untuk mengangkat martabat bangsa Asia.
Bagi golongan Islam Indonesia tidak jauh berbeda sikapnya
terhadap Jepang saat awal mula pendudukan, hal ini terutama karena penyataan
Kolonel Horie, yaitu akan tetap menghormati sekaligus menjaga agama Islam,
namun hanya terbatas di bidang agama tidak untuk berpolitik, pernyataan ini
terealisasikan dengan pembentukan birokrasi bagian pengajaran dan kebudayaan.
Sikap istimewa Jepang kepada Islam ternyata dimanfaatkan dengan
sebaik mungkin oleh para tokoh Islam. Hal ini dikarenakan para tokoh Islam
ingin menaikkan status sosialnya dalam masyarakat, karena pada masa kolonial
tokoh agama hanya dipandang sebelah mata. Golongan Islam memanfaatkan
kesempatan ini dengan bekerja sama dengan Jepang, walaupun secara implisit
mereka memiliki tujuan sendiri.
Aboebakar menjelaskan, kolaborasi dalam bentuk kerja sama itu kemudian
memunculkan sikap manis muka, kemahiran bersandiwara politik umat Islam sangat
baik, di saat pemerintah militer membutuhkan dukungan rakyat maka setiap
kegiatan yang dilakukan untuk menyelamatkan keberagamaan umat Islam dan
kehancuran kehidupan rakyat dikatakan sebagai usaha dalam rangka menuju
kemenangan Asia Timur Raya.(Mawardi, 2008)
Menarik dilihat bahwa Nahdatul Ulama dapat dikatakan golongan
Islam yang sangat erat dengan pemerintah pendudukan. Zuhri menyatakan Sikap
kolaborasi dengan Jepang ini dibangun dari sebuah kesadaran bahwa akan lebih
baik apabila memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh Jepang untuk
memperkuat posisi NU dan menyelematkan warga akar rumput NU. (Mawardi, 2008).
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemaksaan kebudayaan Jepang
terhadap para golongan Islam telah menodai idelogi Islam, yaitu kegiatan yang
wajib dilakukan oleh rakyat untuk menghormati kaisar Jepang sebagai titisan
dewa matahari atau seikere. Kegiatan
wajib ini bertentangan dengan Islam karena dianggap seperti menyembah kaisar.
Akibat penetrasi kebudayaan yang bertentangan dengan agama, usaha-usaha untuk
menentang kebijakan Jepang dilakukan, terutama para ulama NU, dengan langsung mengeluarkan
fatwa haram terhadap kegiatan seikere.
Bahkan hal ini berujung kepada penangkapan tokoh NU.
Penentangan yang lebih keras dilakukan oleh K.H. Zainal Mustofa
di Tasikmalaya dan di Cot Pling dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil. Keadaan yang
semakin berbahaya membuat Jepang kewalahan dalam merespon perlawanan rakyat.
Ditambah pula dengan kekalahan-kekalahan pada perang pasifik membuat Jepang
harus lebih lunak kepada kaum agama. Pernyataan maaf langsung diutarakan oleh
pemerintah yang berdalih bahwa bangsa Jepang belum sepenuhnya paham tentang
Islam dan diterima oleh rakyat.
Kemenangan yang sangat nyata diperoleh kaum agama ketika K.H.
Mas Mansur dimasukkan ke dalam organisasi Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan
digabungkan bersama Ir. Seokarno, Moh. Hatta, dan Suwardi Suyaningrat dengan
julukan “Empat Serangkai”. Sebelumnya golongan Islam hampir tidak pernah
mendapatkan jabatan strategis pada masa kolonial.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia, Jepang telah
mempersiapkan pendekatan mantap untuk melakukan pendekatan kepada tokoh
pemimpin bangsa Indonesia agar mau mendukung Jepang dalam perang. Selain itu
Jepang juga berhasil membuat golongan nasionalis agama yaitu agama Islam untuk
mau bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Struktur sosial pada masa Kolonial
yang mementingkan golongan bangsawan dan mengesampingkan golongan agama segera
diubah oleh Jepang dengan memberikan keleluasaan kepada golongan agama
dibandingkan dengan golongan bangsawan.
Seikere merupakan
penyebab dari perlawanan golongan agama secara reaksioner kepada pemerintah
pendudukan Jepang karena bertentangan dengan ideologi agama Islam. Permintaan
maaf dari pihak Jepang direspon dengan baik oleh tokoh agama terutama di pulau
Jawa. Golongan agama memanfaatkan kesempatan rasa simpati Jepang secara
maksimal hingga melahirkan Masyumi sebagai salah satu organisasi politik
terbesar pasca kemerdekaan Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. SEJARAH NASIONAL INDONESIA IV. Cet,VII. Jakarta: Balai Pustaka.
Haris,
Munawir. 2012. Potret Partisipasi Politik NU Dalam Lintasan Sejarah. Sorong: Jurnal Review Politik. Vol. 2,
No.2:135-152.
Mawardi, Khalid.
2008. Komunikasi Politik Kiai NU Pada Masa Pendudukan Jepang. Purwokerto: Jurnal Komunika. Vol. 2, No.
2:233-249.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar